Larangan Memakan Daging Biawak

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syubul r.a, ia berkata, Rasulullah saw. telah melarang memakan daging biawak,” (Shahih, HR Abu Dawud [3796]).

Kandungan Bab: 

Dalam beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menunjukkan bolehnya memakan daging dhab. Daging hewan ini pernah disantpa di hidangan Rasulullah saw. Jika daging tersebut haram, tentunya beliau telah memberitahukannya. Diantara hadits tersebut:

  1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, dengan sanad yang marfu’, “Aku tidakmakan daging dhab dan aku juga tidak mengharamkannya.” 
  2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Khalid bin al-Walid bahwa ia bersama Rasulullah saw. masuk ke rumah Maimunah lalu dihidangkan daging dhab bakar. Ketika Rasulullah saw. hendak mengambilnya, beberapa orang wanita berkata, “Beritahu kepada Rasulullah saw. jenis daging yang akan ia makan.” Maka mereka berakta, “Ya Rasulullah saw. ini daging dhab.” Lalu beliau tidak jadi mengambilnya. Aku bertanya, “Apakah daging ini haram ya Rasulullah? Beliau menjawab, “Tidak, Hanya saja daging ini tidak ada di kampungku sehingga aku tidak menyukainya.” Khalid berkata, “Lantas aku mengambil dan menyantap daging tersebut sementara Rasulullah saw. hanya memperhatikannya.”

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits bab walaupun hadits ini lebih shahih dan lebih terang menjelaskan bolehnya memakan daging dhab, sebab kedua hadits ini dapat dikompromikan.

Setelah al-Hafidz Ibnu Hajar menghasankan sanad hadits bab ini dan membantah orang yang mendhoifkannya, lalu ia memberikan komentarnya dalam kitab Fathul Baari (IX/666), “Hadits-hadits yang lalu dengan tegas menghalalkan dan mengisyaratkannya secara implisit dan eksplisist. Untuk mengkompromikan antara hadits yang membolehkan dan hadits yang melarang, caranya, larangan diartikan sebagai pembolehan, sebab pada keadaan pertama hewan ini adalah hewan rubahan dar makhluk lain. Oleh karena itu diperintahkan untuk menumpahkan isi periuk. Lalu beliau bersikap diam dan tidak menyuruh dan tidak pula melarang. Pada keadaan kedua adanya pemberian izin setelah diketahui bahwa hewan rubahan dari makhluk lain itu tidak memiliki keturunan. Disamping itu beliau juga merasa jijik sehingga tidak memakannya dan tidak mengharamkannya. Menyantap daging ini di hidangan Rasulullah saw. menunjukkan pembolehan, makruh bagi orang yang jijik dan mubah bagi orang yang tidak jijik. Dengan demikian hukumnya bukan makruh secara mutlak.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/130-131.