Cara Terlepas dari Suuzan

Ada beberapa hal yang dapat ditempuh oleh kita agar bisa terlepas dari jerat prasangka buruk. Di antara hal-hal yang dapat membantu kita adalah sebagai berikut:

  1. Meminta perlindungan dari Allah agar berhenti dari mengikuti prasangka buruk. Jika prasangka buruk tersebut berkaitan dengan hak Allah, maka terdapat hadits yang menerangkan tentang obat prasangka tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 يَأتِي الشَّيْطَانٌ أَحَدَكُمْ فَيَقُوْلُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتىّٰ يَقُوْلُ مَنْ خَلَقَ رَبّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ وَلْيَنْتَهِ

 “Setan akan datang pada salah seorang kamu, lalu berkata: ‘Siapakah yang menciptakan demikian? Siapakah yang menciptakan demikian? Siapakah yang menciptakan demikian?’ Sehingga dia bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan Tuhanmu?’ Apabila sampai demikian, maka hendaklah memohon perlindungan kepada Allah dan menghentikannya.” (Hadits riwayat Bukhari, no. 3276 dan Muslim, no. 134)

  1. Memperdalam pengatahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah dan makna yang terkandung di dalamnya. Tatkala seseorang mengetahui bahwa Allah tidak akan menyelisihi nama dan sifat-Nya, maka seorang hamba akan selalu berhusnuzan kepada-Nya. Yang sering terjadi adalah seorang hamba tidak mengenali nama-nama Allah sehingga ia meragukan sifat yang terkandung di dalamnya. Atau seorang hamba tidak memahami makna dari sifat-sifat Allah yang mulia sehingga dia lebih mengedepankan prasangka buruk terhadap-Nya.

Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Kebanyakan manusia berprasangka kepada Allah dengan prasangka yang buruk. Dan tidak ada yang selamat dari prasangka buruk tersebut kecuali dia yang mengenal Allah dan mengetahui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan mengetahui perlunya pujian dan kebijaksanaan-Nya. Barangsiapa yang berpustus asa dari rahmat-Nya, maka dia telah berprasangka buruk kepada-Nya.” (Zaadul Ma’ad, 3/206)

  1. Berprasangka buruk kepada diri sendiri.

Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Hendaknya seorang hamba berprasangka buruk kepada dirinya sendiri. Hal tersebut lantaran dirinya adalah tempat tinggal segala kejelekan, sumber segala keburukan, dan kendaraan yang dinaiki oleh kebodohan dan kezaliman. Bersuuzan kepada diri sendiri lebih utama baginya daripada berprasangka buruk kepada Dzat yang paling adil, paling penyayang, yang suci dari segala bentuk keburukan dan kejelekan.” (Zaadul Ma’ad, 3/211)

  1. Selalu bermuhasabah dan beristigfar.

Dengan bermuhasabah, maka seseorang akan melihat kekurangan pada dirinya sendiri sebelum melihat kekurangan pada orang lain. Hal tersebut akan menjadikan pikirannya terbuka sehingga dia tidak mudah menyalahkan orang lain. Tatkala ia melihat orang lain berbuat salah, atau terjatuh kepada sesuatu yang tidak baik, maka ia akan mampu mengedepankan prasangka baik. Dari muhasabah pada diri sendiri, seseorang akan mampu menghilangkan prasangka buruk kepada orang lain. Maimun bin Mihran, beliau berkata,

لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ

“Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya.”

  1. Tidak mencari pembenaran terhadap prasangka buruk jika ia hadir di dalam hati. Allah berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Surah Al-Hujarat: 12)

  1. Menakwilkan apa yang nampak buruk dan selalu memberi udzur.

Berkata Imam Al-Ghazali,

فإن المؤمن يطلب المعاذير والمنافق يطلب العيوب

“Sesungguhnya seorang mukmin selalu mencari udzur (ketika melihat orang lain berbuat salah), sedangkan orang munafik selalu mencari kesalahan orang lain.” (Ihya’ Ulumudin, 3/36)

Umar bin Khattab juga berkata,

لا يحل لامرئٍ مسلم سمع من أخيه كلمة أن يظنَّ بها سوءًا، وهو يجد لها في شيء من الخير مخرجًا

“Tidak halal bagi seorang muslim tatkala ia mendengar suatu perkataan dari saudaranya, kemudian dia berburuk sangka lantaran perkataan tersebut. Maka hendaknya ia mencari jalan keluar yang baik (uzur) untuknya.” (At-Tamhid, 18/20)

  1. Tidak berteman dengan orang yang terbiasa berprasangka buruk kepada orang lain. Berkata Abu Hatim, “Menjadi kewajiban bagi orang yang berakal adalah untuk tidak berteman dengan orang yang sering ragu kepada orang lain, agar dirinya tidak menjadi orang yang penuh keraguan atas orang lain.” (Raudhatul Aqala’, 1/100)
  2. Menjauhkan diri dari tempat-tempat yang bisa membuat orang lain berprasangka buruk. Hal tersebut dikarenakan seseorang tidak punya pilihan lain selain berprasangka buruk kepada orang yang menjatuhkan dirinya sendiri pada perkara yang buruk. Maka jangan salahkan orang lain jika mereka berprasangka buruk kepada kita, bisa jadi hal tersebut dikarenakan kita yang terlebih dahulu terjatuh pada tempat yang mengakibatkan orang lain berburuk sangka kepada kita.

Semoga Allah selalu menjaga diri kita dari sifat dan perilaku yang buruk.

Wallahu A’lam Bish Shawab