Hukum Mengucapkan “Setelah Minum Obat Ini, Aku Sembuh”

Tidak masalah bagi seorang muslim untuk menyandarkan sesuatu kepada sebab terjadinya, dengan syarat ia tidak lupa bahwa Allah lah yang menghendaki hal tersebut.

Obat adalah sebab kesembuhan, maka tidak mengapa menyandarkan kesembuhan kepada obat. Namun, harus diyakini bahwa yang menyembuhkan bukanlah obat itu sendiri, melainkan sesuai dengan takdir Allah ta’ala dan kenikmatan-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Obat hanya sebagai sebab tercapainya tujuan, yaitu sembuh. Sedangkan yang menyembuhkan pada hakikatnya adalah Allah ta’ala. Dialah yang memberikan keutamaan kepada seorang hamba dan menjadikan obat tersebut bermanfaat baginya.

Berapa banyak orang yang berobat namun tidak sembuh? Hal tersebut karena Allah tidak menghendakinya. Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya, “Apakah perkataan seperti ini benar, ‘Karena keutamaan dia, perkara ini jadi mudah’ atau ‘Karena kesungguhan dia, masalah ini jadi terselesaikan?”

Beliau menjawab, “Perkataan seperti itu benar, jika apa yang disebutkan tersebut memang mempunyai pengaruh dalam tercapainya hal tersebut. Sungguh seseorang memiliki keutamaan atas sebagian yang lain. Jadi jika seseorang memiliki pengaruh nyata dalam hal ini, maka tidak mengapa dikatakan ‘Ini berkat keutamaan fulan’ ‘Ini berkat kesungguhan fulan’ atau yang lain sebagainya. Menyandarkan sesuatau kepada penyebab terjadinya yang sudah diketahui adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam syariat. Di dalam shahih Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata tentang pamannya, yaitu Abu Thalib,

وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ

“Seandainya bukan karena aku, dia tentu sudah berada di dasar neraka”. (Hadits riwayat Muslim 209)

“Adapun menyandarkan sesuatu kepada penyebab terjadinya, namun ternyata hal itu bukanlah penyebabnya, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Hal ini terkadang bisa membawa kepada kesyirikan. Seperti menyandarkan sesuatu kepada makhluk, padalah hanya Allah lah yang dapat melaksanakannya atau dengan menyandarkan sesuatu kepada orang mati bahwa orang matilah yang membawanya kepada hasil yang telah dicapai. Hal ini termasuk kesyirikan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 3/89)

Berkata Aun bin Abdillah,

لولا فلان لم يكن كذا

“Kalaulah bukan karena fulan, pasti tidak akan terjadi seperti itu.”

Syiakh Ibnu Utsaimin mengomentari, “Perkataan ini dapat dirinci dengan beberapa perincian. Pertama, jika seseorang mengatakannya dengan tujuan sebagai kabar berita, dan berita tersebut sebagaimana adanya, cocok dan sesuai dengan kenyataan, maka tidak mengapa. Kedua, jika yang dimaksud adalah alasan atau sebab terjadinya, maka ada tiga kemungkinan

  1. Jika sebab tersebut tersembunyi dan tidak memberikan pengaruh secara mutlak, seperti seseorang berkata, “Kalaulah bukan karena wali yang ini atau yang itu, maka hal ini dan itu tidak akan terjadi.” Ini adalah syirik besar, karena ia percaya bahwa wali tersebut dapat memberikan pengaruh akan terjadinya sesuatu sedangkan ia telah mati. Maka inilah yang dimaksud dengan sebab tersembunyi yang tidak diketahui.
  2. Menyandarkan kepada sebab yang benar dan ditetapkan baik secara syar’i maupun yang sesuai dengan panca indra. Maka hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak diyakini bahwa sebab tersebut tidak menjadi faktor utama terjadinya sesuatu melainkan Allah ta’ala.
  3. Menyandarkan kepada sebab yang jelas, namun penetapannya sebagai sebab bukan ditinjau dari syar’i maupun dari akal sehat. Maka ini termasuk syirik kecil. Seperti orang yang menggantungkan jimat dan kalung, kemudian ia berkata, “Sesungguhnya ia mencegah dari penyakit.” Ia menjadikannya sebab, sementara Allah tidak. Maka dia terhitung melakukan kesyirikan kepada Allah dalam hal penetapan sebab. (Al-Qaul Al-Mufid 2/144)

Maka seseorang yang menyandarkan kesembuhan kepada obat dengan mengatakan, “Saya minum obat ini, kemudian sembuh.”, orang tersebut memiliki dua kemungkinan. Pertama, itu adalah kabar berita yang sesuai dengan kenyataannya, maka tidak mengapa. Kedua, ia menjadikan obat sebagai sebab kesembuhannya. Maka hal ini tidak mengapa dengan syarat ia tidak menjadikan obat tersebut sebagai penyebab utama, dan ia harus meyakini bahwa Allah lah yang menyembuhkannya.

Wallahu A’lam bish Shawab