Seseorang tidak seharusnya bernadzar, walaupun nadzar tersebut ditujukan untuk taat kepada Allah dan menghindari kemaksiatan. Hukum asal dari nadzar adalah makruh, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang ber-nadzar, beliau bersabda,
إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ، إِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ
“Ia tidak mendatangkan kebaikan, ia hanya dikeluarkan oleh orang bakhil.” (Hadits riwayat Muslim 1639)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Aku menasehati saudaraku agar tidak menjadikan nazar sebagai cara untuk meninggalkan kemaksiatan, karena ia akan terbiasa dengan hal tersebut sehingga ia tidak akan bisa meninggalkan keharaman kecuali dengan nazar. Allah berfirman,
وَاَقْسَمُوْا بِاللّٰهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْ لَىِٕنْ اَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّۗ قُلْ لَّا تُقْسِمُوْاۚ طَاعَةٌ مَّعْرُوْفَةٌ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh, bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah (Muhammad), “Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta) adalah ketaatan yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur: 53)
“Maksudnya, taatlah tanpa harus bersumpah, berjanji, dan bernazar. Bertekadlah dengan tekad yang kuat untuk meninggalkan maksiat tanpa harus bernazar. Ini lebih utama dan lebih baik.” (Al-Liqa Ash-Syahri)
Barangsiapa yang bernazar untuk tidak berbuat kemaksiatan, kemudian ia mengerjakannya, maka hal pertama yang harus ia kerjakan adalah bertaubat atas kemaksiatan yang ia kerjakan. Dan karena ia tidak menepati nazar yang telah ia ucapkan, maka ia harus membayar kafaratul yamin. Yaitu bisa dengan memilih salah satu dari tiga hal:
- Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin.
- Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin
- Membebaskan satu orang budak.
Jika seseorang tidak mampu untuk melaksanakan salah satu dari tiga hal di atas, maka ia harus mengerjakan puasa tiga hari.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Jika engkau bernazar untuk tidak berbuat maksiat, kemudian engkau berbuat maksiat, maka engkau wajib beristighfar kepada Allah, bertaubat dan bertekad untuk tidak mengulangi kembali. Dan wajib bagimu untuk membayar kafarahnya, yaitu memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberikan pakaian kepada mereka, atau membebaskan satu orang budak. Memberi makan kepada mereka dengan apa yang biasa dimakan oleh keluarga kita. Allah berfirman,
مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ
“Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (Al-Maedah: 89)
“Dan apa yang biasa dimakan oleh keluarga kita pada zaman sekarang adalah nasi. Jika engkau berkehendak, maka bagikan beras yang belum dimasak dan daging sebagai lauknya. Jika engkau tidak mampu memberikan makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberikan pakaian kepada mereka, atau membebaskan budak, maka wajib bagimu untuk berpuasa tiga hari berturut-turut. Itulah kafarah dari nazar.” (Al-Liqa Ash-Syahri)
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyalahi nazarnya maka ia harus membayar kafarahnya. Dan kafarah didahulukan yang tiga (memberi makan, memberi pakaian, membebaskan budak), jika tidak mampu barulah puasa tiga hari berturut-turut.
Wallahu A’lam Bish Shawab
Diterjemahkan dan diringkas dari
https://islamqa.info/ar/answers/194203/نذر-ان-لا-يفعل-معصية-ثم-لم-يوف-بنذره-فما-الحكم