Larangan Mendatangi Isteri Sepulang dari Berpergian Pada Malam Hari

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. membenci seorang laki-laki yang mendatangi isteri sepulangnya dari berpergian pada malam hari,” (HR Bukhari [5243]).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika salah seorang dari kamu berpergian dalam waktu lama maka sepulangnya dari berpergian janganlah mendatangi isteri pada malam hari,” (HR Bukhari [5244] dan Muslim [715]).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika engkau pulang malam hari dari berpergian maka janganlah temui keluargamu (isterimu) sehingga si isteri mencukur bulu kemaluan dan menyisir rambutnya,” (HR Bukhari [5146] dan Muslim [715]).

Diriwayatkan dari Anas r.a, ia berkata, “Rasulullah tidak pernah mendatangi isterinya pada malam hari apabila beliau baru pulang dari safar. Beliau mendatanginya pada pagi hari atau sore hari,” (HR Bukhari [1800] dan Muslim [1928]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah datangi isteri sepulang dari safar pada malam hari,” (Shahihul Jaamiush Shaghir (7362]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya mendatangi isteri sepulangnya dari safat pada malam hari. Ath-Thuruq adalah pulang dari safar pada malam hari atau pada waktu-waktu penghuni rumah sedang lengah. 
  2. Ada beberapa hikmah syari’at yang terkandung dalam larangan ini sebagai berikut:
    1. Supaya isteri dapat bersiap-siap apabila suami hendak berhubungan intim dengannya. Hal itu dapat dipetik dari sabda Nabi, “Sehingga si isteri yang sudah ditinggal lama dapat mencukur bulu kemaluan dan menyisir rambutnya.” 
    2. Supaya si suami tidak mencari-cari kesalahan isterinya atau mencurigainya sehingga timbullah dalam hatinya dorongan untuk menceraikannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir, “Nabi saw. melarang seorang suami mendatangi isterinya pada malam hari sepulangnya ia dari safar untuk mencurigainya atau mencari-cara kesalahannya,” (HR Muslim [III/1528]).

    Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (VI/367), “Hikmah dilarangnya para musafir mendatangi isteri pada malam hari sepulang mereka dari safar karena kemungkinan ia mendapati isterinya yang tak menyadari kedatangannya dalam keadaan tidak siap membersihkan diri dan bersolek yang ditekankan atas seorang isteri sehingga hal itu menjadi sebab munculnya kebencian diantara keduanya.” 

  3. Larangan ini terkait dengan orang yang lama bersafar. Ini merupakan illat hukum dan jatuhnya hukum ini bergantung kepada ada tidaknya illat tersebut. Barangsiapa yang tidak bersafar dalam waktu yang lama misalnya orang yang keluar pada siang hari untuk suatu keperluan atau untuk bekerja dan pulang pada malam hari. Atau orang yang telah mengabarkan kepada isterinya waktu kedatangannya dari safar maka ia tidak terkena larangan tersebut, wallahua’lam.

Beberapa Kandungan Hadits-Hadits Bab:

  1. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (IX/340), “Dapat dipetik dari hadits di atas makruhnya bercampur bersama isteri dalam kondisinya tidak bersih. Agar ia tidak melihat hal-hal yang dapat menyebabkan kebencian terhadapnya. 
  2. Ibnu Hajar mengatakan (IX/340), “Hadits ini berisi anjuran menciptakan rasa cinta dan sayang khususnya antara suami isteri. Karena syari’at sangat memperhatikan maslahat hubungan antara suami isteri yang mana keduanya dapat melihat apa yang biasanya ditutupi sehingga biasanya tidak tersembunyi lagi apa yang menjadi kekurangan pasangannya, namun demikian syari’at melarang suami mendatangi isterinya pada malam hari sepulangnya dari safar panjang agar tidak terlihat olehnya sesuatu yang dapat menumbuhkan kebencian dalam hatinya terhadap isterinya. Dan menjaga hal itu terhadap sesama manusia selain pasangan suami isteri tentu ditekankan lagi.” 
  3. Ibnu Hajar mengatakan (IX/341), “Dalam hadits ini terdapat anjuran meninggalkan sesuatu yang bisa menimbulkan buruk sangka terhadap sesama muslim.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/50-52.