Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa istighfar memiliki dua macam, yaitu istighfar dalam bentuk doa dan permohonan, dan istighfar yang berkaitan dengan taubat. Maka masing masing dari istighfar tersebut memiliki syaratnya masing-masing. Adapun istighfar dalam bentuk doa dan permohonan, maka dalam istighfar tersebut terdapat syarat sebagaimana ketaatan pada umumnya, seperti itu juga syarat dalam doa. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa sungguh Allah biasanya tidak mengabulkan doa yang keluar dari hati yang tidak konsentrasi dan lalai.” (Hadits riwayat Tirmidzi no. 3479)
Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah berkata,
وَالْحَسَنَاتُ كُلُّهَا مَشْرُوطٌ فِيهَا الْإِخْلَاصُ لِلَّهِ، وَمُوَافَقَةُ أَمْرِهِ بِاتِّبَاعِ رَسُولِهِ وَالِاسْتِغْفَارِ مِنْ أَكْبَرِ الْحَسَنَاتِ
“Semua kebaikan mempunyai syarat yaitu ikhlas kepada Allah, selaras dengan perintah-Nya dengan mengikuti Rasul-Nya. Dan istighfar adalah kebaikan yang paling besar.” (Majmu’ Fatawa 11/693)
Imam Ibnu Abi Jamrah berkata sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari,
مِنْ شُرُوطِ الِاسْتِغْفَارِ صِحَّةُ النِّيَّةِ، وَالتَّوَجُّهُ، وَالْأَدَبُ
“Dari syarat istighfar adalah niat yang benar, menghadirkan hati, dan dengan adab yang baik.”
Oleh karena itu, syarat dari istighfar ini bisa disimpulkan dengan harus adanya niat yang benar, sesuai dengan sunnah, bebas dari makanan yang haram, menghadirkan hati dan khusyu’, dan beradab kepada Allah ketika beristighfar.
Adapun istighfar yang dalam bentuk taubat, maka disyaratkan dengan apa-apa yang menjadikan taubat itu sahih dan benar. Orang yang beranggapan bahwa istighfar harus dengan taubat, mereka menjadikan orang yang beristighfar akan tetapi terus melaksanakan dosa sebagai pembohong yang tidak diterima istighfarnya.
Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah,
وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imar: 135)
Maka disyaratkan dalam istighfar yang berkenaan dengan taubat dengan tidak adanya keinginan untuk terus melaksanakan dosa. Berkata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya,
الِاسْتِغْفَارُ الْمَطْلُوبُ هُوَ الَّذِي يَحُلُّ عُقَدَ الْإِصْرَارِ، وَيَثْبُتُ مَعْنَاهُ فِي الْجَنَانِ، لَا التَّلَفُّظُ بِاللِّسَانِ. فَأَمَّا مَنْ قَالَ بِلِسَانِهِ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ ، وَقَلْبُهُ مُصِرٌّ عَلَى مَعْصِيَتِهِ؛ فَاسْتِغْفَارُهُ ذَلِكَ يَحْتَاجُ إِلَى اسْتِغْفَارٍ ، وَصَغِيرَتُهُ لَاحِقَةٌ بِالْكَبَائِرِ
“Istighfar yang diperintahkan adalah istighfar yang dapat menguraikan ikatan-ikatan dari dosa yang berkesinambungan, dan menetapkan maknanya dalam hati, tidak hanya sebatas mengucapkan di lisan saja. Adapun orang yang yang berkata dengan lisannya ‘Astaghfirullah’ sedangkan hatinya masih saja berlaku maksiat, maka istighfar yang dia lakukan harus di-istighfari (memohon ampunan dari istighfar pertama karena mengandung kebohongan) dan dosa kecil yang ia lakukan digolongkan sebagai dosa besar.” (Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an 4/210)
Dalam kitab Madarijus Salikin, Imam Ibnu Qayim menerangkan tentang keterkaitan antara taubat dan istighfar. Beliau berkata,
أَمَّا الِاسْتِغْفَارُ فَهُوَ نَوْعَانِ: مُفْرَدٌ ، وَمَقْرُونٌ بِالتَّوْبَةِ
فَالِاسْتِغْفَارُ الْمُفْرَدُ: كَالتَّوْبَةِ ، بَلْ هُوَ التَّوْبَةُ بِعَيْنِهَا ، مَعَ تَضَمُّنِهِ طَلَبَ الْمَغْفِرَةِ مِنَ اللَّهِ ، وَهُوَ مَحْوُ الذَّنْبِ وَإِزَالَةُ أَثَرِهِ ، وَوِقَايَةُ شَرِّهِ
وَأَمَّا مَنْ أَصَرَّ عَلَى الذَّنْبِ ، وَطَلَبَ مِنَ اللَّهِ مَغْفِرَتَهُ ، فَهَذَا لَيْسَ بِاسْتِغْفَارٍ مُطْلَقٍ ، وَلِهَذَا لَا يَمْنَعُ الْعَذَابَ فَالِاسْتِغْفَارُ يَتَضَمَّنُ التَّوْبَةَ ، وَالتَّوْبَةُ تَتَضَمَّنُ الِاسْتِغْفَارَ
“Istighfar terbagi menjadi dua, istighfar berbentuk tunggal tanpa disertai taubat hanya sebatas ibadah dan doa, dan istighfar dalam bentuk taubat… Sedangkan istighfar tunggal, maka dia serupa dengan taubat, bahkan dia adalah taubat itu sendiri. Karena ia mengandung di dalamnya permohonan ampun kepada Allah. Istighfar ini dapat menghapus dosa, menghilangkan efek-efeknya, dan melindungi dari keburukan dosa tersebut… Adapun orang yang beristighfar akan tetapi tanpa ada keinginan untuk berhenti dari dosa, maka itu bukanlah istighfar secara mutlak. Oleh karena itu, kalimat istighfar yang dia ucapkan tidak dapat mencegah datangnya adzab. Istighfar mengharuskan adanya taubat, dan taubat mengharuskan adanya istighfar.” (Madarijus Salikin 1/135)
Maka dalam istighfar tercakup tiga perkara, yaitu istighfar sebagai amal shalih, sebagai doa dan permohonan, dan sebagai taubat. Maka dalam istighfar disyaratkan dengan hal-hal yang disyaratkan dalam tiga perkara tersebut, yaitu ikhlas, sesuai dengan sunnah karena ia termasuk amal shalih, halal dalam makanan karena ia termasuk dalam doa, dan doa tidak diterima jika terdapat makanan yang haram, hadirnya hari dan khusyu’ karena termasuk dari doa, dan disyaratkan juga untuk berhenti dari dosa, menyesal, tidak mengulangi, dan mengembalikan hak-hak orang lain jika berkenaan dengan hal tersebut karena istighfar adalah taubat itu sendiri.
Sumber: Diterjemahkan dan diringkas dari
https://islamqa.info/ar/answers/ 366413/انواع-الاستغفار-وشروطه