Ruqyah Dengan Mensyaratkan Kesembuhan

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa seseorang boleh mengambil upah dari meruqyah. Dan para para ulama telah sepakat akan hal tersebut. Berkata Imam Ibnu Taimiyah,

 لَا بَأْسَ بِجَوَازِ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى الرُّقْيَةِ

“Tidak masalah untuk mengambil upah dari kegiatan ruqyah.” (Al-Fatawa Al-Kubra 5/405)

Begitu pula dengan Imam An-Nawawy, beliau berkata,

هَذَا تَصْرِيح بِجَوَازِ أَخْذ الْأُجْرَة عَلَى الرُّقْيَة بِالْفَاتِحَةِ وَالذِّكْر , وَأَنَّهَا حَلَال لَا كَرَاهَة فِيهَا

“Ini adalah suatu kejelasan yang menunjukkan bolehnya mengambil upah dari ruqyah menggunakan surah Al-Fatehah dan dengan dzikir. Sesungguhnya upah dari ruqyah tersebut halal dan tidak dimakruhkan.” (Syarhu Shahih Muslim Lin-Nawawy 14/188)

Hal ini juga disampaikan oleh Ibnu Hazm. Beliau berkata,

وَالإِجَارَةُ جَائِزَةٌ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ, وَعَلَى تَعْلِيمِ الْعِلْمِ مُشَاهَرَةً وَجُمْلَةً, وَكُلُّ ذَلِكَ جَائِز،ٌ وَعَلَى الرَّقْيِ; لأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ فِي النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ نَصٌّ, بَلْ قَدْ جَاءَتْ الإِبَاحَةُ فذكر حديث ابن عباس وقال: وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ, وَالشَّافِعِيِّ, وَأَبِي سُلَيْمَانَ

“Mengambil upah diperbolekan dalam pengajaran Al-Qur’an, mengajarkan ilmu yang bersifat bulanan maupun beberapa waktu, maka semua itu adalah boleh. Seperti itu juga dalam ruqyah. Hal ini karena tidak ada nash secara eksplisit yang melarang hal tersebut. Bahkan terdapat nash yang membolehkan dari Abdullah Ibnu Abbas. Dan ini adalah pendapat yang diambil oleh Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Sulaiman.” (Al-Muhalla Li Ibni Jazm 8/194)

Namun apa hukumnya jika orang yang meminta untuk diruqyah mensyaratkan dengan kesembuhan.  Maka dalam masalah ini, para ulama membagi ruqyah dalam dua pembagian. Yang pertama adalah ruqyah dalam bentuk ijarah. Seperti orang yang mengatakan, “Ruqyahlah saya dengan Al-Qur’an atau dengan dzikir.” Maka ini adalah bentuk ijarah karena permintaan tersebut adalah permintaan dengan amalan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu membaca Al-Qur’an. Namun apabila seseorang mensyaratkan adanya kesembuhan, maka ruqyah tersebut masuk dalam bentuk ju’alah atau sayembara. Karena akad awal tersebut mengharuskan adanya manfaat yang nyata, yaitu kesembuhan, walaupun terkadang dengan amalan yang tidak diketahui.

Dalam ruqyah berbentuk ijarah, maka si peruqyah berhak untuk mendapat upah, baik orang sakit tersebut berhasil sembuh ataukah tidak. Dan ia dapat mengambil upah baik sebelum atau sesudah meruqyah. Sedangkan ruqyah berbentuk ju’alah, maka si peruqyah tidak berhak untuk mendapatkan upah kecuali ia telah berhasil menyembuhkan orang yang sakit tersebut. Apabila orang yang sakit tersebut tak kunjung sembuh, maka si peruqyah tidak berhak untuk mendapatkan upah.

Dalam bentuk ju’alah, para ulama berbeda pendapat berkenaan boleh tidaknya mengambil upah. Sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkannya. Sedangkan sebagian dari Malikiyah dan Hanabilah tidak memperbolehkannya. Dalam masalah ini, yang lebih rajih adalah pendapat yang membolehkan. Berkata Sulaiman Asy-Syafi’i,

إنْ جَعَلَ الشِّفَاءَ غَايَةً لِذَلِكَ، كَلِتُدَاوِينِي إلَى الشِّفَاءِ أَوْ لِتَرْقِيَنِي إلَى الشِّفَاءِ، فَإِنْ فَعَلَ وَوُجِدَ الشِّفَاءُ اسْتَحَقَّ الْجُعْلَ، وَإِنْ فَعَلَ وَلَمْ يَحْصُلْ الشِّفَاءُ لَمْ يَسْتَحِقَّ شَيْئًا؛ لِعَدَمِ وُجُودِ الْمُجَاعَلِ عَلَيْهِ، وَهُوَ الْمُدَاوَاةُ وَالرُّقْيَةُ إلَى الشِّفَاء

“Jika kesembuhan dijadikan sebagai tujuan, seperti berobat untuk sembuh, atau ruqyah untuk sembuh, maka ketika ia mendapati kesembuhan, barulah ia berhak mendapatkan upah. Apabila tidak mendapatkan kesembuhan, maka dia tidak berhak mendapatkan apapun, karena tidak terjadinya sesuatu yang dijadikan sebagai objek dari upah, yaitu kesembuhan dengan ruqyah.” (Hasyiyah Al-Jamal Ala Al-Minhaj 3/621)

Dan pendapat ini juga diambil oleh Ibnu Qudamah Al-Hanbali. Beliau berkata dalam kitabnya Al-Mughni bahwa Ibnu Abi Musa mengatakan,

لَا بَأْسَ بِمُشَارَطَةِ الطَّبِيبِ عَلَى الْبُرْءِ؛ لأنَّ أَبَا سَعِيدٍ حِينَ رَقَى الرَّجُلَ، شَارَطَهُ عَلَى الْبُرْءِ. وَالصَّحِيحُ إنْ شَاءَ اللَّهُ أَنَّ هَذَا يَجُوزُ

“Tidak masalah untuk mensyaratkan kesembuhan (ketika meminta untuk diruqyah), karena Abu Sa’id ketika meruqyah seseorang, ia diberikan syarat dengan kesembuhan. Dan yang shahih in sya Allah adalah bahwa hal ini boleh.” (Al-Mugni 5/400)

Pendapat ini juga dibenarkan oleh Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan,

إذَا جَعَلَ لِلطَّبِيبِ جُعْلًا عَلَى شِفَاءِ الْمَرِيضِ جَازَ كَمَا أَخَذَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم الَّذِينَ جُعِلَ لَهُمْ قَطِيعٌ عَلَى شِفَاءِ سَيِّدِ الْحَيِّ فَرَقَاهُ بَعْضُهُمْ حَتَّى بَرِئَ فَأَخَذُوا الْقَطِيعَ؛ فَإِنَّ الْجُعْلَ كَانَ عَلَى الشِّفَاءِ لَا عَلَى الْقِرَاءَةِ

“Jika seorang dokter diberi upah atas kesembuhan orang yang sakit, maka hal tersebut tidak masalah. Hal ini sebagaimana para sahabat nabi yang diberi upah sekawan kambing karena telah menyembuhkan pemuka disana. Mereka meruqyahnya sampai sembuh, sehingga mereka mengambil kawanan kambing tersebut. Upah tersebut diberikan dengan alasan kesembuhan, bukan karena bacaan yang ia bacakan.” (Majmu’ Fatawa 20/507)

Maka dalam masalah ini, seseorang boleh mengambil upah dari ruqyah, baik dalam bentuk ijarah yang tidak mensyaratkan kesembuhan, mapaun dalam bentuk jua’lah dengan mensyaratkan kesembuhan. Dan wajib bagi seorang peruqyah untuk meruqyah dengan ruqyah yang bersifat syar’i, bukan yang mengandung kesyirikan. Dan wajib bagi seorang peruqyah untuk meluruskan dan mengikhlaskan niat semata hanya untuk Allah, bukan untuk upah yang didapatkan. Dan sudah selayaknya bagi orang yang meminta diruqyah untuk tahu bahwasannya tidak ada satupun peruqyah yang bisa menyembuhkan penyakit. Karena yang menyembuhkan hanyalah Allah. Tugas peruqyah hanya sebagai wasilah untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah.

وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku” (Asy-Syu’ara: 80)

Wallahu A’lam bish-Shawab