Cara Menghindari dan Meredam Amarah

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi akhlak yang baik dan budi perkerti. Bahkan salah satu tugas Nabi Muhammad ketika diutus sebagai Rasul di muka bumi ini adalah untuk memperbaiki akhlak ummatnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إنما بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk memperbaiki akhlak.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 45)

Sebagaimana Islam menjunjung tinggi akhlak yang baik, maka sebaliknya Islam pun melarang para pemeluknya memiliki akhlak yang buruk. Maka banyak didapatkan dalam literasi-literasi Islam yang mengajarkan tentang tingginya kedudukan akhlak yang baik dan rendahnya kedudukan akhlak yang tercela.

Salah satu akhlah buruk yang sangat diperhatikan oleh Islam adalah marah. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk selalu bersabar dan meningkatkan kesabaran sehingga bisa terlepas dari cengkraman amarah. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (Ali-Imran: 200)

Rasulullah secara jelas melarang seseorang untuk menuruti amarah yang dia rasakan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Muhammad, “Berilah aku nasehat!” maka Nabi bersabda,

 لاَ تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لاَ تَغْضَبْ

“Janganlah engkau marah.” Diapun mengulanginya beberapa kali, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah.” (HR. Al Bukhari)

Menekan amarah dan mengobatinya agar tidak terjadi secara berulang-ulang sangatlah tidak mudah. Namun ada beberapa tips agar kita bisa menahan amarah, bahkan agar hati kita bisa terbebas dari amarah yang bisa datang kapan saja.

Cara pertama tentu saja dengan mencegah agar amarah tidak tersulut. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka dalam masalah ini, mencegah agar amarah tidak tersulut lebih diutamakan daripada meredamnya ketika ia terlanjur hadir. Yaitu dengan membersihkan hati dari seluruh penyakit-penyakit yang ada di dalamnya seperti sombong, berbangga diri, rakus, cinta dunia, hasad, iri dan seluruh penyakit-penyakit hati lainnya. Karena sungguh penyakit-penyakit hati ini menjadi sebab datang amarah ke dalam hati. Diriwayatkan dari Musnad Imam Ahmad, dari Abdurrahman bin Auf, bahwa ada seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Beritahu aku suatu kalimat yang aku bisa hidup menggunakan kalimat tersebut dan kalimat tersebut tidak terlalu panjang bagiku.” Maka Rasulullah bersabda,

اجتنِب الغضبَ

“Jauhilah marah.”

Maka makna dari hadits tersebut adalah perintah Rasulullah untuk menjauhi hal-hal yang mengakibatkan datangnya amarah yaitu penyakit-penyakit hati.

Adapun cara yang kedua adalah dengan meredekan amarah ketika ia terlanjur hadir di hati, apalagi jika sudah diejawantahkan dalam suatu perbuatan. Karena walaupun manusia sudah menghindari hal-hal yang dapat memicu amarah, akan tetapi tabiat seorang manusia terkadang membawa sifat amarah. Sehingga dia tidak mampu untuk bisa meninggalkan amarah secara menyeluruh. Namun ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh seseorang untuk bisa meredakan amarah.

  1. Ber-taawaudz (meminta perlindungan) kepada Allah dari gangguan syaithan. Marah seringkali dipicu oleh gangguan syaithan yang tidak ridho kepada akhlak baik seseorang. Maka hendaknya bagi orang yang tersulut amarahnya untuk segera ber-ta’awudz meminta perlindungan Allah. Allah berfirman,

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّه سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al-A’raf: 200)

Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ صُرَدٍ قَالَ اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ وَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدْ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُونٍ

Sulaiman bin Shurd berkata, “Ada dua orang yang saling mencerca di samping Nabi Muhammad, sementara kami duduk-duduk di samping beliau. Salah seorang darinya mencerca temannya sambil marah, hingga wajahnya memerah. Maka Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila ia membacanya, niscaya kemarahannya akan hilang, sekiranya ia mengatakan a’udzu billahi minasy syaithanir rajim.’ Lalu orang-orang berkata kepada laki-laki itu, ‘Apakah kamu tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Nabi?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidaklah gila.’ (Hadits Riwayat Bukhari no. 3282)

  1. Mengikuti perintah Nabi Muhammad ketika sedang marah, yaitu berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dari Abu Dzar, Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

إذا غَضِبَ أحدُكم وهو قائمٌ فليجْلِس؛ فإن ذهب عنه الغضبُ وإلاَّ فليضطجع

“Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782)

  1. Meninggalkan perdebatan dan lebih memilih untuk diam. dari Ibnu ‘Abbasdari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

عَلِّمُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ

“Ajarilah (orang lain) dan mudahkanlah serta jangan mempersulit, jika salah seorang di antara kalian marah maka hendaklah dia diam.” (Hadits Riwayat Imam Ahmad no.2029)

Berkata Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam,

وهذا أيضًا دواءٌ عظيم للغضَب؛ لأنَّ الغضبان يصدر منه في حال غضبه مِن القول ما يندم عليه في حال زوالِ غضبه، وكثير من السِّباب وغيره ممَّا يعظم ضرره، فإذا سكتَ زال هذا الشرُّ كلُّه عنه

“Ini adalah obat yang mujarab ketika sedang marah. Karena orang yang sedang marah, akan keluar dari ucapannya sesuatu yang ia sesali ketika telah hilang amarahnya. Dan orang yang marah akan mudah mengeluarkan banyak cacian dan sesuatu yang lebih besar madharatnya. Apabila ia diam, maka hilang seluruh keburukan tersebut darinya.” (Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam 1/146)

  1. Segera untuk berwudhu sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad,

إنَّ الغضب مِن الشيطان، وإنَّ الشيطان خُلق من النَّار، وإنما تُطْفَأ النار بالماء؛ فإذا غضب أحدُكم فليتوضأ

“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (Dhaif Al-Jami’ 1510)

Walaupun riwayat ini dhaif, namun secara makna ia shahih dan bisa untuk diamalkan.

  1. Memperbanyak dzikir kepada Allah, karena dengan berdzikir hati seseorang dapat kembali tenang. Allah berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

(Ar-Ra’du: 28)

Allah berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ

“Dan ingatlah kepada Allah tatkala kamu lupa” (Al-Kahfi: 24)

Imam Ibnu Katisr mengatakan dalam tafsirnya, “Yaitu ketika engkau dalam keadaan marah.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/149)

Dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa meredam amarah, seperti mengingat keutamaan orang yang bersabar dan mampu menahan amarah, dan mengingat hukuman yang Allah siapkan bagi siapa saja yang menuruti amarahnya.

Wallahu A’lam Bish-Shawab