Para ulama’ telah berbeda pendapat dalam masalah upah dalam ruqyah. Mereka memperselisihkan apakah upah hasil dari ruqyah halal ataukah haram. Mereka terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa mengambil upah dari kegiatan ruqyah hukumnya boleh. Pendapat ini diperkuat dengan dalil-dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudry,
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا فِي سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِيَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَتَبَسَّمَ وَقَالَ وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ثُمَّ قَالَ خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ مَعَكُمْ
“Bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyahkarena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al Fatihah. pembesar tersebutpun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al Fatihah adalah ruqyah?” Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dengan hadits dari ‘Alaqoh bin Shuhar,
أنه مر بقوم فأتوه فقالوا: إنك جئت من عند هذا الرجل بخير، فارق لنا هذا الرجل، فأتوه برجل معتوه في القيود، فرقاه بأم القرآن ثلاثة أيام غدوة وعشية، وكلما ختمها جمع بزاقه ثم تفل، فكأنما أنشط من عقال ( أي حل من وثاق ). فأعطوه شيئا فأتى النبي صلى الله عليه و سلم، فذكره له، فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «كل، فلعمري لمن أكل برقية باطل لقد أكلت برقية حق
Bahwasanya ‘Alaqoh bin Shuhar melewati suatu kaum, lalu mereka mendatangi beliau seraya berkata: “Engkau datang dengan kebaikan dari sini orang itu (yaitu Nabi), maka ruqyahlah untuk kami orang ini.” Lalu mereka mendatangkan orang gila yang terbelenggu. Maka beliau meruqyah orang itu dengan Ummul Qur’an selama tiga hari pagi dan sore. Setiap kali beliau menyelesaikan bacaan, beliau mengumpulkan air ludah, lalu meludahkannya sedikit ke orang tadi. Maka seakan akan orang gila tadi terbebas dari ikatan. Maka mereka memberi beliau suatu pemberian. Maka beliau mendatangi Nabi, seraya menceritakan hal itu. Maka beliau bersabdalah: “Makanlah pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (Hadits Riwayat Abu Dawud 3420).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa upah dari ruqyah adalah halal selama menggunakan ruqyah yang syar’i seperti menggunakan nama-nama Allah yang baik, Al-Qur’an, atau dengan atsar-atsar yang diajarkan oleh Nabi. Sehingga mereka yang menggunakan dua hadits ini sebagai hujjah mengatakan bahwa keduanya merupakan hujjah yang sanga jelas dan kuat.
Adapun pendapat yang kedua adalah mereka yang tidak memperbolehkan mengambil upah dari ruqyah. Mereka berlandaskan dalil atsar dan dalil yang bersifat akal. Adapun dalil dari atsar sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah bersabda,
من استطاع أن ينفعَ أخاه فليفعَلْ
“Barangsiapa di antara kalian yang bisa bermanfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” (Hadits Riwayat Muslim no. 2199 dan An-Nasa’i no. 7540)
Segi pengambilan hukum dari dalil tersebut bahwa di dalam hadits tersebut terdapat perintah. Dan hukum asal perintah adalah wajib, sehingga perintah tersebut menjadi suatu ibadah. Dan dari ibadah tidak diambil upah.
Mereka juga berpegang dengan dalil yang bersifat aqly. Yaitu bahwa ruqyah adalah ibadah, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad,
اشفعوا تؤجروا، ويقضي الله على لسان نبيه ما يشاء
“Berilah pertolongan! Niscaya kalian akan mendapatkan pahala dan Allah akan memberikan keputusan sesuai dengan apa yang Dia kehendaki melalui lisan nabi-Nya.” (Muttafaqun Alaih)
Sedangkan ruqyah adalah memberikan manfaat kepada orang lain, ia seperti pertolongan. Sehingga ia merupakan ibadah, dan ibadah tidak menerima upah kecuali pahala dari Allah ta’ala.
Tarjih Di Antara Dua Pendapat
Adapun pendapat yang rajih dan benar adalah pendapat pertama yang mengatakan bolehnya mengambil upah dari ruqyah. Hal ini lantaran begitu jelasnya sabda Nabi Muhammad yang menunjukkan kebolehannya. Sedangkan dalil yang digunakan oleh ulama yang tidak memperbolehkan masih bersifat umum yang kemudian mereka khusukan untuk ruqyah. Sedangkan dalam hadits tersebut hanya tertulis lafadz naf’u, yaitu manfaat.
“Barangsiapa di antara kalian yang bisa bermanfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” (Hadits Riwayat Muslim no. 2199 dan An-Nasa’i no. 7540)
Dan hukum asal dari manfaat adalah bolehnya mengambil upah sebagaimana seseorang yang mengambil upah dari sewa menyewa. Adapun hujjah mereka bahwa seseorang tidak boleh mengambil upah dari ibadah, maka pendapat ini terbantah secara otomatis oleh sabda Nabi Muhammad.
‘Makanlah pemberian itu. Demi umurku, ada orang memakan dengan ruqyah yang batil, dan sungguh engkau memakan dengan ruqyah yang benar.” (Hadits Riwayat Abu Dawud 3420).
Seseorang memang tidak boleh mengambil upah dari ibadah, kecuali terdapat dalil yang memperbolehkannya. Dan hadits diatas menjadi dalil yang memperbolehkan seseorang untuk mengambil upah dari ruqyah.
Wallahu A’lam Bish-Shawab
Diterjemahkan dan diringkas dari kitab
Syarhu Ad-Durrun Nadhid fi Ikhlasi Kalimatit Tauhid, Muhammad Hasan bin Abdul Ghafar, juz 8 hal 12-13.