Kiat Menjadi Penuntut Ilmu Yang Beradab Menurut K.H Hasyim Al-Asy’ary

Adab seorang penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri ada sepuluh, di antaranya adalah:

Pertama, selayaknya seorang murid senantiasa membersihkan hati dari berbagai macam kotoran yang ada di dalamnya. Kotoran-kotoran tersebut dapat berupa iri, dengki, amarah, hasad, sombong, ujub, perangai yang buruk, aqidah yang keliru, dan berbagai bentuk macam kemaksiatan. Ia harus membersihkan hatinya agar ia layak untuk bisa menerima ilmu, menjaganya, dan memahami makna-makna yang tersembunyi darinya.

Kedua, hendaknya seorang murid harus membenarkan niatnya dalam menuntut ilmu. Yaitu dengan meniatkan agar mendapatkan ridha-Nya,meniatkan untuk mengamalkan apa yang telah ia ketahui, meniatkan untuk menjaga syiar-syiar Islam, menerangi hatinya, membersihkan batinnya, dan meniatkan untuk mendekat kepada Allah dengan ilmu tersebut. Maka seorang murid tidak boleh memiliki niat dalam menuntuk ilmu untuk mendapatkan obsesi-obsesi bersifat duniawi seperti pangkat, kedudukan, harta, kebanggan, dan pengagungan dari manusia lain.

Ketiga, hendaknya seorang murid harus bersegera menggunakan masa mudanya dan seluruh masa hidupnya untuk menuntut ilmu. Janganlah sampai seorang murid tertitu dengan angan-angan untuk menunda untuk mencari ilmu. Sungguh waktu yang berlalu tidak ada pengganti dan tidak tergantikan. Maka hendaknya seorang murid berusaha semampunya untuk menghilangkan perkara-perkara yang menyibukkannya dan menghalanginya dari kesempurnaan dalam menuntut ilmu. Sesungguhnya, hal yang menyibukkan dan menghilangkan fokus dari menuntut ilmu akan menjadi penyamun yang menghadangnya ditengah jalan menuju kesuksesan.

Keempat, hendaknya seorang murid merasa cukup dengan makanan, minuman, dan pakaian yang ala kadarnya. Karena sabar dengan kehidupan yang ala kadarnya akan menjadi pintu untuk mendapatkan ilmu yang luas. Dan dengannya pula, seorang murid dapat memfokuskan hati agar terhidar dari hal-hal yang dapat mengacaukan pikirannya. Berkata Imam Asy-Syafi’i

لا يفلح من طلب العلم بعزة النفس وسعة المعيشة ولكن من طلبه بذلة النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح

“Tidak akan sukses bagi siapa yang menuntut ilmu dengan jiwa yang penuh dengan kemuliaan dan kehidupan yang penuh dengan kecukupan. Akan tetapi, barangsiapa yang mencari ilmu dengan kerendahan hati dan jiwa, dengan kehidupan yang ala kadarnya, dialah yang akan sukses.”

Kelima, hendaknya seorang murid mampu untuk membagi waktu siang dan malamnya. Dan berusaha sebisa mungkin untuk mengambil kesempatan dari sisa umur yang ia miliki untuk focus mencari ilmu, karena sisa umur manusia tidak ternilai. Sebaik-baik waktu untuk menghafal adalah waktu sahur, sebaik-baik waktu untuk membahas ilmu adalah waktu pagi. Sebaik-baik waktu menulis apa yang telah didapatkan adalah waktu di siang hari, dan sebaik-baik waktu untuk mengulang pelajaran yang telah didapat adalah malam hari. Tempat terbaik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari kebisingan dan keramaian.

Keenam, hendaknya seorang murid untuk mempersedikit dari makanan dan minuman yang ia konsumsi. Sungguh kekenyangan dapat menghalanginya dari ibadah dan membuat tubuh serasa berat untuk beraktifitas. Faedah dari sedikitnya makanan yang dikonsumsi adalah sehatnya badan, dan tercegahnya dari berbagai macam penyakit. Sungguh banyak sekali penyakit yang sebab awalnya adalah makanan dan minuman yang berlebihan. Tidak ada satupun wali-wali Allah, ataupun para imam, dan para ulama’ yang bersifat atau disifati dengan banyak makan. Dan mereka dipuji bukan lantaran banyak makan. Sungguh satu-satunya hal yang dipuji karena banyaknya makanan yang ia makan adalah hewan ternak yang dipersiapkan untuk bekerja.

Ketujuh, hendaknya seorang murid untuk berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk memiliki sifat wara’ dan sifat yang penuh dengan kehati-hatian. Seorang murid hendaknya benar-benar memilih mana yang halal baik dari pakaiannya, makanannya, minumannya, dan segala hal yang ia butuhkan. Hal tersebut agar ia mampu menerangi hatinya sehingga ia layak untuk bisa menerima ilmu dan cahaya dari ilmu tersebut.

Kedelapan, hendaknya seorang murid untuk mempersedikit dari mengonsumsi makanan-makanan yang dapat menjadi sebab dari hilangnya ketajaman kerja otak dan melemahkan panca indra seperti apel yang masam, kacang-kacangan, dan meminum cuka. Dan selayaknya seorang murid harus mengurangi makanan-makanan yang dapat memicu banyaknya lendir di dalam tubuh seperti susu dan ikan. Dan selayaknya juga seorang santri agar menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan mudah lupa seperti memakan makanan yang tercemari oleh tikus, sering membaca tulisan di batu nisan, dan membuang kutu dalam keadaan hidup.

Kesembilan, hendaknnya seorang santri untuk mempersedikit tidurnya selama tidak menganggu kesehatan dirinya dan akalnya. Maka tidak layak bagi seorang santri untuk tidur lebih dari 8 jam dalam satu hari dan satu malam, karena 8 jam sudah terhitung sepertiga hari. Jika memungkinkan untuk tidur kurang dari 8 jam, maka hal itu lebih baik. Dan diperbolehkan bagi seorang murid untuk mengistirahatkan dirinya, hatinya, akalnya, dan pandangannya jika kesemuanya itu telah mencapai batasnya. Seorang murid dapat berlibur dan pergi ketempat wisata dengan catatan hal tersebut dapat mengembalikan semangatnya dalam menuntut ilmu dan hal tersebut tidak menjadikannya membuang-buang waktu dan uang.

Kesepuluh, hendaknya seorang murid untuk mempersedikit pergaulan dan fokus dalam menuntut ilmu. Apalagi jika ia bergaul dengan orang yang bukan merupakan bagian dari para penuntut ilmu. Sungguh orang-orang tersebut lebih banyak bermain-main dan sedikit sekali mentelaah ilmu pengetahuan. Jika seandainya memang butuh kepada teman, maka bertemanlah dengan orang yang shalih, baik agamanya, bertakwa, bersifat wara’, banyak kebaikannya dan sedikit keburukannya, terjaga kehormatannya, tidak banyak berdebat, jika kita lupa dirinyalah yang mengingatkan, dan jika kita telah ingat, dirinyalah yang akan membantu kita untuk merealisasikan.

Wallahu A’lam Bish-Shawab

Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Adabul Alim Wal Muta’alim karya Asy-Syaikh Muhammad Hasyim Al-Asy’ary. Penerbit Maktabah At-Turats Al-Islamy. hal. 24-28