Pertanyaan: “Apa hukum memegang Mushaf tanpa berwudhu atau memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain.? Dan apa hukum membacanya dalam keadaan tidak bersuci?”
Jawaban: “Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk memgang mushaf sedangkan ia tidak dalam keadaan suci. Ini adalah pendapat jumhur ulama’ dan pendapat para imam madzhab. Dan pendapat ini adalah yang difatwakan oleh para shahabat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Telah diriwayatkan dalam masalah ini satu hadist shahih dari Amru bin Hazm bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman,
أن لا يمس القرآن إلا طاهر
“Hendaknya tidak memegang Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.”
Ini adalah hadist yang baik yang memiliki banyak jalur penguat. Oleh karena itu, maka sudah maklum diantara ahlul ilmi untuk tidak memegang mushaf kecuali telah suci dari dua hadats, yaitu hadats kecil dan besar.
Maka seperti itulah juga hukum memindahkan mushaf dari satu tempat ke tempat yang lain. Hukumnya tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan suci. Akan tetapi jika memindakannya menggunakan perantara seperti pembungkus yang membungkusnya, atau mushaf tersebut berada di kantong, atau ada pembatas antara tangan dan mushaf maka tidak mengapa. Namun jika memegang secara langsung tanpa penghalang atau perantara, maka hal tersebut tidak boleh.
Adapun membaca Al-Qur’an maka tidak mengapa bagi seseorang untuk membacanya sedangkan ia dalam keadaan berhadats. Baik ia membaca apa yang sudah dia hafal atau lewat seseorang yang membukakan Al-Qur’an untuknya. Namun orang yang junub dan berhadats besar tidak boleh membaca Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, bahwa tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca Al-Qur’an kecuali dalam keadaan junub. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aly bin Abi Thalib dengan sanad yang baik bahwa ia berkata,
أن النبي ﷺ خرج من الغائط وقرأ شيئًا من القرآن، وقال هذا لمن ليس بجنب أما الجنب فلا ولا آية
“Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam keluar dari kamar mandi dan langsung membaca Al-Qur’an.” Aly bin Abi Thalib melanjutkan, “Ini bagi siapa yang tidak dalam keadaan junub. Bagi siapa yang dalam keadaan junub, maka janganlah ia membaca walaupun satu ayat.”
Maksudnya adalah orang yang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an, baik dari mushaf maupun dari apa yang sudah ia hafal sampai ia mandi besar terlebih dahulu. Adapun orang yang berhadats kecil maka tidak mengapa ia membaca Al-Qur’an dari apa yang sudah ia hafal, namun tidak boleh memegang mushaf.
Disini ada permasalahan yang berhubungan dengan hal ini. Yaitu apakah orang yang haid dan nifas mereka boleh membaca Al-Qur’an atau tidak? Maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa orang yang haid dan nifas tidak boleh membaca Al-Qur’an karena disamakan seperti orang yang junub. Pendapat yang lain mengatakan bahwa mereka boleh membaca Al-Qur’an dengan syarat tidak memegangnya secara langsung. Hal ini karena masa haid dan nifas itu lama, berbeda dengan junub yang ketika itu juga seseorang yang junub dapat mandi untuk kemudian membaca Al-Qur’an. Berbeda dengan haid dan nifas yang keduanya tidak bisa mandi besar kecuali telah selesai masanya. Maka tidak tepat mengqiyaskan haid dan nifas dengan junub.
Maka jawaban yang benar adalah tidak ada larangan bagi keduanya untuk membaca Al-Qur’an dari apa yang telah mereka hafal. Ini adalah pendapat yang rajih. Karena menurut dalil-dalil, tidak ada satupun yang melarang untuk membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid dan nifas. Bahkan, terdapat dalil yang justru menganjurkan. Sungguh telah diriwayatkan dalam shahihain bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah ketika beliau haid sementara beliau sedang berhaji,
افعلي ما يفعل الحاج غير ألا تطوفي بالبيت حتى تطهري
“Beramalah seperti halnya orang yang berhaji sedang beramal. Kecuali thawaf di baitullah sampai engkau suci (dari haid)”
Adapun orang yang berhaji maka pasti ia membaca Al-Qur’an. Sedangkan nabi tidak mengecualikannya. Maka hal tersebut menunjukkan bahwa bolehnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang haid. Seperti itu juga yang dikatakan kepada Asma’ binti Umais ketika beliau melahirkan Muhammad bin Abu Bakar ketika beliau sedang melaksanakan miqat dalam haji wada’. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bolehnya bagi orang yang haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an tanpa menyentuhnya. Sedangkan hadits Ibnu Umar dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئًا من القرآن
“Orang haid dan junub tidak membaca apapun dari Al-Qur’an”
Maka hadits ini adalah hadits yang lemah. Di dalam sanadnya terdapat Ismail bin ‘Iyas dari Musa bin ‘Uqbah. Sementara para ahlul ilmi dan ahlul hadits melemahkan sanad Ismail bin ‘Iyas jika meriwayatkannya dari para orang Hijaz.
Wallahu A’lam
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqalatu Syaikh bin Bazz 4/383.