Menikah adalah fitrah yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia. Bahwa dengan menikah, seseorang dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya, menghindarkan dari perbuatan buruk dan keji, menjaga kehormatan, melanjutkan keturanan, dan mendapatkan ketenangan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ اٰيٰتِه اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ.
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum 21)
Bahkan nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa menikah adalah bagian dari sunnahnya yang tidak boleh untuk ditinggalkan tanpa alasan syar’i. Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ.
“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka bukan bagian dariku. Dan menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat) (Hadits Riwayat Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383)
Dalam hukum seputar pernikahan, Allah Ta’ala memperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk memiliki lebih dari satu pasangan, namun tidak dengan sebaliknya. Allah berfirman,
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْا.
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (An-Nisa’: 3)
Yang menjadi polemik di tengah masyarakat adalah hukum yang melekat pada syariat poligami. Apakah hukum dari poligami adalah sunnah sehingga Islam menganjurkannya atau hanya sebatas mubah. Di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, Imam Khatib Asy-Syarbini berkata,
وَيُسَنُّ أَنْ لَا يَزِيدَ عَلَى امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ظَاهِرَةٍ.
“Adapun yang sunnah adalah tidak menambah istri lebih dari satu tanpa adanya kebutuhan yang benar-benar nyata.” (Mughni Al-Muhtaj, Khatib Asy-Syarbini 4/207)
Begitu pula dengan Imam Ad-Darimi dalam kitabnya, An-Najmu Al-Wahaj. Beliau berkata,
يستحب أن لا يزيد على امرأة واحدة، إلا أن يحتاج إلى أكثر منها .. فيستحب ما يحتاج إليه؛ ليتحصن به.
“Disunnahkan untuk tidak menambah istri lebih dari satu, kecuali ia memang memiliki hajjah atau kebutuhan untuk memiliki lebih dari satu. Sehingga disunnahkan sesuai dengan kebutuhannya agar ia terjaga dengan pernikahannya tersebut.” (An-Najmu Al-Wahaj, Imam Ad-Darimi 7/10)
Maka tidak diragukan lagi bahwa hukum berpoligami adalah sesuai dengan kebutuhan seseorang. Maka barangsiapa yang hanya dengan satu orang istri, dia masih belum mampu menjaga kehormatannya, belum mampu menundukkan pandangannya, atau dia memiliki kebutuhan seperti dakwa dan lain sebagainya, maka berpoligami baginya lebih utama.
Namun terlepas dari itu, hukum asal dari poligami adalah mubah, dan sunnahnya adalah mencukupkan diri dengan satu orang istri. Abu Husain Al-Amrani dalam madzhab Syafi’i mengatakan bahwa Imam Asy-Syafi’i berkata, “Yang disunahkan adalah mencukupkan dengan satu orang istri, walaupun diperbolehkan untuk berpoligami, hal ini berdasar firman Allah
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (An-Nisa’: 3)
Abu Husain Al-Amrani melanjutkan, “Kemudian Ibnu Daud menyanggah Imam Asy-Syafii dengan mengatakan, ‘Jika mencukupkan dengan satu adalah sunnah, lantas kenapa nabi Muhammad berpoligami? Sedangkan Nabi tidak melaksanakan sebuah amal kecuali amal tersebut adalah amal yang lebih utama.’ Maka jawabannya adalah bahwa selain nabi Muhammad, yang utama adalah mencukupkan dengan satu untuk menghindari ketidakadilan. Sedangkan nabi Muhammad adalah manusia yang paling adil.” (Al-Bayan Fie Madzhab Al-Imam Asy-Syafii, Abu Husain Al-Amrani 11/189-190)
Dalam madzhab Hambali juga demikian, Imam Al-Mardawi mengatakan dalam Al-Inshaf, “Yang disunnahkan dalam madzhab Hambali adalah mencukupkan dengan satu orang istri jika sudah mampu menjaga kehormatan.” Di dalam kitab yang sama, Ibnu Khatib As-Salamiyah mengatakan, “Jumhur ulama Hambali berpendapat bahwa mencukupkan dengan satu orang istri adalah sunnah.” (Al-Inshaf, Imam Abu Hasan Ali bin Sulaiman Al-Mardawi Al-Hambali 8/16)
Pendapat ini diperkuat oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau mengatakan dalam Syarhu al-Mumti’,
” وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يسن أن يقتصر على واحدة ، وعلل ذلك بأنه أسلم للذمة من الجَوْرِ ؛ لأنه إذا تزوج اثنتين أو أكثر فقد لا يستطيع العدل بينهما ، ولأنه أقرب إلى منع تشتت الأسرة ، فإنه إذا كان له أكثر من امرأة تشتتت الأسرة ، فيكون أولاد لهذه المرأة ، وأولاد لهذه المرأة ، وربما يحصل بينهم تنافر ، بناء على التنافر الذي بين الأمهات ، كما هو مشاهد في بعض الأحيان ، ولأنه أقرب إلى القيام بواجبها من النفقة وغيرها ، وأهون على المرء من مراعاة العدل ، فإن مراعاة العدل أمر عظيم ، يحتاج إلى معاناة ، وهذا هو المشهور من المذهب”
“Sebagian ulama berpendapat tentang sunnahnya mencukupkan diri dengan satu orang istri. Alasannya adalah bahwa hal demikian lebih selamat terhadap tanggunan dari ketidakadilan, dan sesungguhnya jika ia menikah dengan dua perempuan atau lebih, terkadang ia tidak mampu untuk berbuat adil di antara keduanya. Mencukupkan diri dengan satu istri lebih bisa menjaga dari tercerai-berainya keluarga, karena jika ia memiliki lebih dari satu istri, maka keluarganya akan tercerai-berai. Sehingga terjadilah kelompok anak dari istri yang ini, dan kelompok anak dari istri yang itu. Seringkali poligami menumbuhkan rasa benci di antara mereka yang terbangun atas rasa benci dari istri-istri ayahnya, sebagaimana yang kita lihat disebagian keadaan. Dan karena mencukupkan diri dengan satu istri lebih mendekatkan kita untuk bisa menegakkan kewajiban kita berupa nafkah dan lain sebagainya. Dan memudahkan seseorang untuk menjaga sikap keadilan, karena menjaga sikap adil adalah perkara yang agung yang membutuhkan latihan. Dan ini adalah pendapat yang masyhur di dalam madzhab ini.” (Asy- Syarhu Al-Mumti’ Ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 4/12)
Maka tidak benar anggapan sebagaian orang yang mengatakan bahwa disunnahkan untuk berpoligami. Anggapan mereka itu berlandaskan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3 tidak sah. Karena perintah poligami dalam ayat tersebut hanya mengandung pembolehan, bukan perintah yang mengandung anjuran dan keutamaan. Hal ini diperkuat dengan sebab diturunkan ayat tersebut yang menunjukkan bahwa ayat tersebut tidak bermaksud untuk menganjurkan dan menyunnahkan poligami, akan tetapi hanya mengabarkan bolehnya berpoligami bagi yang menginginkan. Ayat tersebut turun lantaran mereka dahulu suka menikahi wanita dari kalangan anak yatim, dan mereka mengurangi hak mahar dari wanita-wanita yatim tersebut. Lantas Allah memerintahkan mereka untuk berlaku adil dalam mahar sebagaimana wanita biasa. Jika tidak, maka menikahlah dengan selain anak yatim, dan jumlah mereka sangat banyak. Maksudnya adalah jika mereka tidak ingin berbuat adil terhadap anak yatim dalam urusan mahar, maka tinggalkanlah mereka, sungguh telah dihalalkan bagi mereka untuk menikahi 4 orang wanita biasa.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Utsaimin berkata,
وعلى هذا فنقول: الاقتصار على الواحدة أسلم، ولكن مع ذلك إذا كان الإنسان يرى من نفسه أن الواحدة لا تكفيه ولا تعفه، فإننا نأمره بأن يتزوج ثانية وثالثة ورابعة، حتى يحصل له الطمأنينة، وغض البصر، وراحة النفس.
“Oleh karena itu, mencukupkan diri dengan satu lebih selamat. Akan tetapi bersamaan dengan itu, jika seseorang merasa bahwa satu istri masih kurang baginya untuk menjaga kehormatannya, sungguh kami menganjurkannya untuk menikah dengan dua, tiga, atau empat. Sampai hati merasa tenang, pandangan bisa terjaga, dan jiwa bisa beristirahat.” (Asy- Syarhu Al-Mumti’ Ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin 12/13)
Wallahu A’lam Bish-Shawab