Matan
والرؤية حق لأهل الجنة ، بغير إحاطة ولا كيفية ، كما نطق به كتاب ربنا : وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة ( القيامة : 22 – 23 ) وتفسيره على ما أراد الله تعالى وعلمه ، وكل ما جاء في ذلك من الحديث الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو كما قال ، ومعناه على ما أراد ، لا ندخل في ذلك متأولين بآرائنا ولا متوهمين بأهوائنا
“Melihat Allah (ru’yah) bagi penghuni surga adalah benar adanya tanpa meliputi (melihat secara menyeluruh), dan tanpa penggambaran (bagaimana melihat-Nya) sebagaimana dinyatakan Rabb dalam kitab-Nya:
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Mereka benar-benar memandang kepada Rabb mereka.” (Al-Qiyamah: 22-23)
“Pengertian yang dimaksud adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui Allah. Dan setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan ru’yah adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah. tidak ada tempat bagi kita untuk mentakwilkannya dengan pendapat kita atau menduganya dengan hawa nafsu kita.”
Keterangan
Golongan yang menolak ru’yah adalah kelompok Jahmiyah dan Mu’tazilah serta sekte-sekte lain yang mengikutinya semacam Khawarij dan Syi’ah Imamiyah. Pendapat mereka itu batil dan tertolak menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menegaskan adanya ru’yah di surga kelak. Allah berfirman,
وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة.
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Mereka benar-benar memandang kepada Rabb mereka.” (Al-Qiyamah: 22-23)
Ini termasuk dalil yang paling gamblang. Adapun orang yang mentakwilkan ayat “Nazhara” (melihat) dengak kata menanti atau memperhatikan adalah tidak benar. Karena kata tersebut jika dibubuhi dengan kata “ilaa” (kepada) maka akan memiliki arti melihat dengan menggunakan kedua mata, sebagaimana friman Allah
اُنْظُرُوْٓا اِلٰى ثَمَرِه اِذَٓا اَثْمَرَ وَيَنْعِه اِنَّ فِيْ ذٰلِكُمْ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ.
“Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (Al-An’am: 99)
Allah juga berfirman,
لَهُمْ مَّا يَشَاۤءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ
“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada Kami ada tambahannya.” (Qaaf: 35)
Anas bin Malik menyatakan bahwa arti dari kata “mazid” (tambahan) dalam ayat tersebut adalah melihat Allah Azza wa Jalla. (Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’ VII:112)
Allah juga berfirman,
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ ۗوَلَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَّلَا ذِلَّةٌ ۗاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dalam kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Yunus: 26)
Beliau bersabda, “Apabila penghuni surga telah dimasukkan ke dalam surga dan penghuni neraka telah dimasukkan kedalam neraka, maka berkumandanglah suara memanggil, ‘Wahai penghuni surga, sesungguhnya Allah telah berjanji kepadamu dan Dia hendak memenuhi janji-Nya.’ Mereka lantas bertanya, ‘Janji ap aitu? Bukankah kami telah diberatkan timbangan kami, telah diputihkan wajah-wajah kami, kami telah dimasukkan ke surga dan dibebaskan dari nerara?’ Allah kemudian menyingkap tabir-Nya, sehingga mereka memandang kepada-Nya. Tidak ada sesuatupun yang diberikian Allah kepada mereka yang lebih mereka sukai daripada melihat wajah-Nya. Itulah yang dimaksud dengan tambahan dalam ayat tersebut.” (Hadits riwayat Muslim 1810, At-Tirmidzi 2555, dan Ibnu Majah 187)
Bantahan Terhadap Mu’tazilah
Adapun Mu’tazilah yang menafikan ru’yah mereka menggunakan dalil dari firman Allah
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَه رَبُّه قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَه فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّه لِلْجَبَلِ جَعَلَه دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (Al-A’raf 143)
Maka ayat tersebut justru menyudutkan pendapat mereka sendiri. Sungguh Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” Allah tidak menfirmankan, “Sesunggunya aku tidak dapat dilihat.”, “Kamu tidak boleh melihatku.” Atau “Aku ini tidak terlihat.” Perbedaan antara dua hal tersebut sangat jelas sekali. coba perhatikan jika ada seseorang yang membawa batu dikantongnya, lalu seseorang bertanya kepadanya, “Tolong beri aku makan dengan itu.” Jawaban yang benar tentunya, “Batu ini tidak dapat dimakan.” Namun kalaulah yang dibawa adalah makanan, maka ia akan mengatakan, “Sesungguhnya kamu tidak dapat memakannya.” Ini menunjukkan bahwa Allah memang dapat dilihat, namun Musa tidak sanggup untuk melihatnya. Hal itu lantaran lemahnya kekuatan manusia untuk dapat melihat Allah di dunia. Lebih diperjelas lagi dengan firman Allah
وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَه فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ
“Namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.”
Allah mengabarkan bahwa gunung yang begitu kuat dan kokoh saja tidak mampu bertahan ditempatnya lantarang Allah menampakkan diri. Apalagi manusia yang memang diciptakan dalam keadaan lemah?
Wallahu A’lam