Larangan Bagi Seorang Nabi Berisyarat dengan Pandangan Mata

Dari Sa’ad, ia berkata, “Pada saat penaklukan kota Makkah ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh bersembunyi di sisi ‘Utsman bin ‘Affan. ‘Utsman membawanya hingga sampai di hadapan Rasulullah saw, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, ‘Abdullah ingin berbai’atnya.’ Rasulullah mengangkat pandangannya dan memandanginya tiga kali, beliau tetap menolaknya. Namun setelah tiga kali, Rasulullah saw. membai’atnya. Kemudian Rasulullah saw. mendatangi sahabat-sahabat beliau dan berkata, ‘Tidaklah ada di antara kalian orang yang paham lalu bangkit mendatangi orang ini untuk membunuhnya saat melihat aku menahan tanganku untuk membai’atnya?’

Mereka berkata, ‘Kami tidak memahami apa yang terlintas dalam hatimu wahai Rasulullah, alangkah baik seandainya engkau mengisyaratkannya dengan pandangan mata kepada kami.’

Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang Nabi memiliki pandangan mata yang khianat’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2683 dan 4359], an-Nasa’i [VII/105-106], al-Hakim [III/45], Abu Ya’la [757], al-Bazzar [1821 –Kasyful Astaar], al-Baihaqi [VII/40]).

Dari Anas bin Malik r.a, ia bercerita, “Aku ikut bersama Rasulullah saw. dalam peperangan Hunain. Kaum musyrikin bergerak dengan membawa pasukan, mereka menyerang kami hingga melihat kuda-kuda kami berada di belakang kami. Di tengah pasukan musuh terdapat seorang laki-laki yang menyerbu kami, memukul dan menghancur leburkan pasukan kaum muslimin. Akhirnya Allah mengalahkan mereka. Mereka dibawa ke hadapan Rasulullah dan berbai’at masuk Islam. Seorang laki-laki dari kalangan Sahabat Nabi berkata, ‘Sesungguhnya aku telah bernadzar bila Allah membawa laki-laki yang sejak beberapa hari lalu menghancurleburkan kami niscaya aku penggal lehernya.’ Rasulullah saw. diam saja mendengar perkataannya. Kemudian laki-laki itu pun dihadirkan. Setelah melihat Rasulullah saw. ia langsung berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku bertaubat kepada Allah!’ Akan tetapi Rasulullah saw. menahan diri dan tidak menerima bai’atnya, maksud beliau agar Sahabat tadi dapat melaksanakan nadzarnya. Sahabat tersebut melirik Rasulullah saw. menunggu beliau memerintahkan dirinya untuk membunuh laki-laki tadi. Namun, ia segan terhadap Rasulullah saw. untuk membunuhnya. Ketika Rasulullah saw. melihat Sahabat tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan nadzarku?’ Rasulullah berkata, ‘Sesungguhnya tidaklah aku menahan diri darinya semenjak beberapa hari lalu melainkan agar engkau dapat melaksanakan nadzarmu.’

Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, alangkah baik bila engkau memberi isyarat kepadaku.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang Nabi memberi isyarat dengan lirikan mata’,” (Hasan, HR Abu Dawud [3194] dan Ahmad [III/151]).

Kandungan Bab:

  1. Para Nabi ‘alaihis salam tidak boleh memberi isyarat-isyarat tersembunyi dengan lirikan atau pejaman mata. 
  2. Termasuk dalam bab ini adalah para Nabi tidak mengkhususkan suatu ilmu untuk satu kaum yang tidak diberikan kepada kaum yang lainnya. Seperti yang diklaim oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah bahwa Rasulullah saw. mengkhususkan beberapa perkara untuk ahli bait yang tidak diberikan kepada para Sahabat r.a. Atau seperti anggapan kuam sufi bahwa mereka memiliki ilmu hakikat yang Allah dan Rasul-Nya khususkan untuk mereka sementara orang-orang awam hnaya memiliki ilmu syari’at. Ini merupakan kelancangan terhadap syari’at yang lurus. Masalah ini telah saja jelaskan dalam kitab saya yang berjudul: Al-Jamaa’at al-Islaamiyyah.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/557-559.