Berlepas Diri dari Kelompok Sesat

1.Al Musyabihah

Kaum musyabbihah adalah mereka yang menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya dalam sifat-sifat mereka. Pendapat mereka adalah kebalikan dari pendapat orang-orang Nasrani. Karena orang-orang Nasrani menyerupakan makhluk -yaitu Isa ‘alahissalam- dengan penciptaNya dan menjadikannya sebagai sesembahan. Sedangkan orang-orang musyabbihah menyerupakan pencipta dengan makhluk-Nya. Seperti Dawud Al Jawibiri dan yang semisalnya.

2. Al Mu’tazilah

Al Mu’tazilah adalah Amru bin Ubaid dan Washil bin Atha’ Al Ghazali beserta teman-temannya. Mereka digelari dengan nama mu’tazilah ketika mereka i’tizal (memisahkan diri) dari majlis Hasan Al Bashri rahimahullahu, pada awal-awal abad kedua. Konon mereka duduk memisahkan diri dari orang banyak. Maka Qatadah dan yang lainnya menyatakan, “Mereka itu golongan yang mengucilkan diri (mu’tazilah).” Ada juga cerita bahwa Washil bin Atha’, yaitu tokoh yang meletakkan dasar-dasar pemikiran madzhab Mu’tazilah lalu diikuti oleh Amru bin Ubaid.

Lima Dasar Pemikiran Mu’tazilah

Madzab mu’tazilah dibangun di atas lima landasan pokok, yaitu

  1. Al-‘Adl (keadilan). Mereka jadikan ini sebagai kedok untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan keburukan atau memutuskannya. Karena, kalau Allah menciptakannya lalu menyiksa mereka, itu satu kedzaliman. Sedangkan Allah Maha Adil, tidak akan berbuat dzalim.
  2. At Tauhid. Mereka menjadikan ini sebagai kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al Quran itu adalah makhluk. Karena kalau bukan makhluk ada sesuatu yang tidak berawal. Konsekwensi dari pondasi berfikir yang rusak ini menjadikan ilmu Allah, kekuasaanNya dan seluruh sifatNya adalah makhluk. Sebab, kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
  3. Infadzul wa’iid (melaksanakan ancaman). Mereka menyatakan bahwa kalau Allah telah memberikan ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tidak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah senantiasa memenuhi janji-Nya.
  4. Al Manzilatu bainal manzilataini (kedudukan di antara dua kedudukan). Menurut mereka, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu, berarti keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus kepada kekufuran.
  5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Mereka menyatakan kita berkewajiban menyuruh orang lain dengan apa yang telah diperintahkan kepada kita.

3. Al-Jahmiyah

Al Jahmiyah adalah mereka yang menistbatkan dirinya kepada Jahm bin Sofyan At Tirmidzi. Yaitu orang yang memunculkan keyakinan menolak dan meniadakan sifat-sifat Allah. Ia mempelajari hal itu dari Al-Ja’ad bin Dirham yang telah disembelih oleh Khalid bin Abdullah Al Qashri di Wasith pada hari raya Idul Adha. Sedangkan Jahm datang sesudahnya di Khurasan. Ia memprovokasikan pendapatnya di sana sehingga mendapatkan banyak pengikut. Setelah ia meninggalkan shalat selama 40 hari, karena ragu dengan Rabbnya. Pasalnya karena ia berdebat dengan sekelompok kaum musyrikin yang dikenal dengan As-sumaniyah dari kalangan ahli filsafat India yang mengingkari segala bentuk ilmu yang tidak bersifat kongkrit. Mereka bertanya, “Itukan Tuhan yang engkau sembah? Apakah Dia dapat dilihat, dicium baunya, dirasakan atau disentuh?”Jahm menjawab, “Tidak.” Mereka menukas, “Kalau begitu Dia tidak ada.” Empat puluh hari ia tidak beribadah kepada sesuatu apapun. Ketika hatinya sudah kosong dari sesembahan yang biasa ia akrabi , setanpun menorehkan keyakinan yang langsung terpatri di dalam hatinya. Ia berpendapat, “Sesungguhnya Tuhan itu keberadaan yang absolut.”

Ia menafikan seluruh sifat lalu menjalin hubungan dengan Ja’ad. Konon Ja’ad sendiri telah menjalin hubungan dengan ahli filsafat Shaabi’ah, ahli filsafat dari negeri Harran. Ia juga mempelajari beberapa hal dari sebagian orang Yahudi yang telah menyelewengkan agama mereka, yang memiliki hubungan dengan Lubaid bin Al-A’sham, seorang ahli sihir yang telah menyihir Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Jahm terbunuh di Khurasan. Ia dibunuh oleh Salim bin Ahwaz. Namun pendapatnya sudah terburu menyebar di kalangan manusia. Lalu diikuti oleh kaum mu’tazilah sepeninggal dirinya. Akan tetapi Jahm tergolong mereka yang disebut Mu’athilah. Karena ia benar-benar mengingkari asma Allah. Sedangkan kaum mu’tazilah hanya mengingkari sifat-sifatNya saja, tidak asma’-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang jahmiyah apakah ia termasuk yang 72 golongan atau tidak? Mereka memiliki 2 pendapat. Yang berpendapat bahwa mereka tidak termasuk yang tujuh puluh dua golongan adalah Ibnu Mubarak dan Yusuf bin Asbath. Namun pemikiran Jahmiyah ini menjadi populer di masa bencana yang menimpa Ahmad bin Hanbal dan para ulama sunah lainnya. Dengan kepemimpinan di tangan Al-Makmun, mereka menjadi banyak dan kuat. Beliau sempat tinggal di Khurasan dan berkumpul dengan mereka. Lalu datanglah keputusan petaka itu dari Thursus  tahun 218 hijriah. Di sanalah beliau akhirnya wafat. Mereka pernah mengembalikan Imam Ahmad untuk dipenjara di Baghdad hingga tahun 220 hijriah. Di situlah terjadi petaka pada diri beliau berhadapan dengan Al-Mu’tashim dan mendebat dirinya dengan ucapan. Ketika beliau berhasil mematahkan argumentasi-argumentasi mereka dan menjelaskan bahwa hal itu tak memiliki alasan sama sekali. Al Mu’tashim lantas berniat membebaskan beliau. Namun ada yang berpendapat bahwa lebih baik beliau dipukul saja supaya wibawa kekhalifahan tidak rusak untuk kesekian kalinya.Ketika mereka memukulkan terjadilah kerusuhan di kalangan masyarakat. Merekapun takut akhirnya membebaskannya. Di antara pendapat Jahm yang ganjil adalah bahwa jannah dan nar adalah fana. Iman adalah sekedar pengetahuan. Demikianlah juga kekufuran adalah kebodohan. Sesungguhnya setiap perbuatan hamba, hakekatnya adalah perbuatan Allah semata. Kalau perbuatan itu dinisbatkan kepada manusia, itu hanyalah kiasan. Sebagaimana diucapkan bahwa pohon itu bergerak, perahu itu berputar dan matahari itu tergelincir.

4. Al-Jabriyyah

Al-Jabriyyah  asal mula pemikiran mereka dari Jahm bin Shofwan. Sebagaiman diulas sebelumnya. Bahwa perbuatan hamba itu diukur dari panjang dan warnanya (artinya, bukan diukur oleh manusia pent). Mereka berlawanan dengan Qadariyah yang menafikan takdir.  Dinamakan Qadariyah, karena menafikan taqdir. Sebagaimana dinamakan Al-Murjiah, karena menafikan irja (penangguhan urusan hingga hari kiamat). Tak seorangpun yang ditangguhkan urusannya hingga hari kiamat. Sehingga ia disiksa atau diampuni. Al Jabriyah juga kadang dinamakan qadariyah, karena mereka berlebihan dalam menetapkan takdir.

Sumber: Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Abdul Hammad Al-Ghunaimi, Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Dasar-dasar Aqidah menurut ulama salaf. Penerbit Pustaka Tibyan, Solo