Definisi ruh
Ruh adalah jasad yang substansinya berbeda dengan tubuh kasar. Yaitu tubuh berinti cahaya yang tinggi, ringan, hidup, dan bergerak. Menembus materi anggota tubuh, mengalir laksana air mengalir di bungan mawar, atau mengalirnya minyak dalam buah zaitun, atau api dalam bara.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah memegang ruh(orang) ketika matinya.” (Az-Zumar: 42)
Ayat ini menjelaskan bahwa ruh itu dimatikan, dipegang dan dilepaskan.
Allah juga berfirman yang artinya, “Alangkah dasyatnya seandainya kamu melihat di waktu orang-orang yang dhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarlah nyawamu.” (Al-An’am : 93).
Ayat ini menjelaskan bahwa para malaikat membentangkan tangannya untuk menyambut ruh itu. Disebutkan kriterianya yang bisa keluar dan dikeluarkan dan disebutkan juga bahwa ia akan diadzab (seperti tersebut dalam ayat di atas) pada hari itu. Juga disebutkan bahwa ia akan datang menemui Rabb-Nya.
Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ruh itu bila dicabut, akan diikuti oleh padangan mata.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah)
Apakah ruh itu makhluk
Ada yang berpendapat bahwa ruh itu tidak berawal. Alasannya ruh itu termasuk urusan Allah. Sedangkan urusan Allah itu bukanlah urusan makhluk. Dan Allah pun menyandarkan kata ruh itu kepada diri-Nya dengan firman-Nya, ““Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Rabbku.” (Al Isra: 85)
Dan juga berfirman, ““Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku.” (Al Hijr: 29)
Adapun ahlus sunah wal jamaah telah sepakat bahwa ruh itu makhluk. Para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Muhammad bin Nasir Al Marwazi, Ibnu Qutaibah, dan lainnya. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Allah itu pencipta segala sesuatu.” (Ar Ra’du: 16, Az Zumar: 62)
Ayat ini bersifat umum dan tidak ada pengkhususan dalam bentuk apapun.
Adapun berkaitan dengan firman Allah, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meninggalkan ke dalamnya ruh (ciptaan-Ku).” (Al Hijr: 29)
Maka sudah diketahui bahwa ruh itu bukanlah Allah, juga bukan salah satu dari sifaNya, tapi ruh itu hanyalah ciptaan-Nya.
Maka seyogyanya perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu ada dua macam. Pertama, sifat-sifat yang tidak dapat berdiri sendiri. Seperti sifat ilmu, kekuasaan, ucapan, pendengaran, dan penglihatan. Dalam hal ini, penyandarannya bersifat penyandaran “sifat” kepada yang “disifati” Karena ilmu Allah, ucapanNya, kekuasaanNya dan hidupNya adalah sifat-sifatNya. Demikian juga wajah dan tangan Allah. Kedua, penyandaran dzat yang berpisah dariNya. Seperti rumah, onta, hamba, rasul dan ruh. Ini adalah penyandaraan ciptaan kepada penciptanya. Tetapi bentuknya adalah yang bermakna penyandaran, pengistimewaan, dan penghormatan, sehingga yang disandarkan kepada=Nya itu terbedakan dari yang selainnya.
Apakah ruh diciptakan lebih dulu atau jasad
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa beliau berkata, Rasulullah saw bersabda
لما خلق الله آدم مسح ظهره فسقط من ظهره كل نسمة هو خالقها من ذريته الى يوم القيامة
“Tatkala Allah menciptakan Adam, Allah mengusap punggungnya maka berjatuhlah setiap bibit keturunan yang akan diciptakanNya hingga hari kiamat.”
Hadits di atas dan banyak lagi hadits lainnya, yang semuanya menunjukkan bahwa Allah mengeluarkan anak keturunan Adam lewat punggungnya, lalu membedakan antara (calon) penghuni jannah dan nar. Berangkat dari sinilah sampai ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ruh itu diciptakan sebelum jasad. Namun dalil ini tidaklah menunjukkan secara pasti atas diciptakannya ruh lebih dahulu daripada jasad. Paling jauh, ia hanya menunjukkan bahwa Pencipta dan Pembuat memproyeksikan terlebih dahulu makhluk hidup itu ( jin dan manusia), penciptaan, ajal dan amal perbuatannya. Lalu proyeksi gambar itu dikeluarkan dari materinya dan dikembalikan lagi. Lalu Allah, menetapkan keluarnya masing masing dari makhluk tersebut pada waktu yang telh ditentukan . sama sekali tak ada indikasi bahwa ruh testbut diciptkaan dalam bentuk yang baku dan jadi, terus dalam keberadananya yang juga dapat berbicara.
Apakah Nafs (jiwa) itu sama dengan ruh?
Jiwa dapat diartikan berbeda=beda, sebagaimana ruh. Sehingga dalam suatu waktu pengertikan keduanya bisa sama, namun bisa juga sebaliknya. Jiwa juga bisa berarti ruh. Umumnya disebut dengan jiwa bila bersatu dengan badan. Namun bila terpisah lebih sering disebut dengan ruh. Nafs kadang juga bisa berarti darah. Dalam hadits disebutkan, “Setiap binatang yang tidak memiliki nafs(darah) yang mengalir, tidak akan menajiskan air bila binatang tersebut mati di dalamnya.” (HR Baihaqi).
Nafs kadang juga berarti ain. Contoh, fulan terserang nafs. Artinya fulan terserang penyakit ain. Jiwa juga bisa berarti diri. Sebagaimana firman Allah, “Berilah salam atas dirimu sendiri.” (An Nur: 61). “Janganlah kalian bunuh diri kalian sendiri.” (An Nisa: 29).
Adapun ruh tidak dapat diartikan dengan jasad, baik secara terpisah maupun bersama dengan nafs (jiwa). Namun ruh bisa berarti Al Quran atau Malaikat Jibril. Allah Ta’ala berfirman, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. (Asy Syuura: 52)
“Dia dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril).” (Asy Syu’ara: 193)
Ia juga bisa berarti hawa (udara) yang keluar masuk tubuh manusia. Adapun yang dijadikan Allah sebagai penopang para waliNya, itu ruh jenis lain lagi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Mereka (yang benar-benar beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (Al Mujadalah: 23)
Tingkatan-Tingkatan Jiwa
Manusia memiliki tiga tingkatan jiwa. Yaitu nafsun Muthmainnah (jiwa yang tenang), Nafsun Lawwamah (jiwa yang menyesali dirinya sendiri) dan nafsun ammarah bissu (Jiwa yang menyuruh kepada keburukan). Mereka berpendapat bahwa di antara mereka ada yang lebih didominasi oleh salah satu di antara jenis nafsu. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala
“Wahai jiwa yang tenang.” (Al Fajr: 27)
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).” (AL Qiyamah: 2)
“Sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada perbuatan jahat.” (Yusuf: 54)
Jiwa itu asalnya satu. Namun memiliki beberapa kriteria. Pada awalnya ia menyuruh kepada perbuatan jahat. Apabila sudah disisipi dengan keimanan, maka ia menjadi jiwa yang menyesali dirinya sendiri. Ia berbuat dosa lalu menyesali dirinya sendiri. Sikap menyesali ini adalah antara berbuat dan meninggalkan perbuatan jahat. Nah, apabila jiwa manusia sudah kuat maka ia akan menjadi jiwa yang tenang.
Sumber: Diringkas dari kitab Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi. Penerbit At-Tibyan, Solo, 2002.