Tiga Derajat Ihsan

Ihsan merupakan inti iman, ruh dan kesempurnaannya. Tempat persinggahan ihsan ini menghimpun semua tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang berarti semuanya tercakup di dalamnya. Semua yang telah dibicarakan dalam buku ini sejak awal hingga tempat ini termasuk bagian ihsan.

“Tidak ada balasan ihsan kecuali ihsan (pula).” (Ar-Rahman: 60).

Menurut Syaikh (Ibnu Taimiyah), ihsan menghimpun semua hakikat, yaitu hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau dapat melihat-Nya. Tentang makna ayat ini menurut Ibnu Abbas dan para mufasir, tidak ada balasan bagi orang yang mengucapkan la ilaha illallah dan beramal sesuai dengan apa yang dibawa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, selain dari surga.

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah membaca ayat ini, lalu bertanya kepada para shahabat, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb kalian?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Allah befirman, ‘Tak ada balasan bagi orang yang Kuberikan nikmat tauhid kepadanya selain dari surga.”

Ada tiga derajat ihsan, yaitu:

Pertama, Ihsan dalam tujuan, dengan mengarahkannya dari sisi ilmu, menguatkannya dari sisi hasrat, dan membersihkannya dari sisi keadaan. Dengan kata lain, ihsan dalam tujuan ini dilakukan dengan tiga cara: Mengarahkannya dari sisi ilmu, yaitu menjadikannya mengikuti ilmu dan keharusan-keharusannya serta terbebas dari hal-hal keduniaan, sehingga tidak ada tujuan kecuali yang diperbolehkan ilmu. Yang dimaksudkan mengikuti ilmu di sini ialah mengikuti perintah dan ketentuan syariat.

– Menguatkannya dari sisi hasrat, atau menyertai tujuan dengan hasrat yang bisa memberikan dorongan, sehingga tidak ada kelemahan atau keloyoan.

– Membersihkannya dari sisi keadaan. Artinya, keadaan pelakunya harus bersih dari noda dan kotoran, yang menunjukkan tujuannya yang kotor. Karena keadaan menunjukkan tujuan. Jika keadaannya bersih, berarti tujuannya juga bersih.

Kedua, Ihsan dalam berbagai keadaan, yaitu menjaganya karena cemburu, menutupinya dari segala sisi, dan membenahinya dalam kenyataan. Menjaga keadaan karena cemburu maksudnya menjaga keadaan itu agar tidak berubah-ubah. Karena keadaan berlalu seperti awan yang berjalan. Jika hak-haknya tidak dipenuhi, maka ia akan berubah. Menjaga keadaan ialah dengan cara memenuhi hak-haknya.

Menutupi keadaan dari segala sisi artinya menutupinya agar tidak dike-tahui manusia menurut kesanggupan, tidak memperlihatkannya kecuali ada alasan atau kebutuhan atau kemaslahatan yang jelas. Memperlihatkan keadaan kepada orang tanpa ada alasan-alasan ini, bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik, apalagi jika mereka ma-ling, perampok dan pecemburu. Memperlihatkan keadaan kepada manusia merupakan tindakan yang bodoh, karena ini merupakan aksi syetan. Orang-orang yang lurus lebih suka menutupi keadaan dirinya, terlebih lagi dalam masalah harta. Sehingga banyak di antara mereka yang justru memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Membenahi keadaan dalam kenyataan artinya berusaha membenahi dan meluruskan keadaan. Karena keadaan itu bisa dicampuri yang haq dan yang batil. Sementara tidak ada yang bisa membedakan antara yang haq dan batil ini kecuali orang yang memiliki ilmu dan ma’rifat.

Ketiga, Ihsan dalam waktu, yaitu engkau tidak menghilangkan waktu yang ada, tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat dan menjadikan hijrahmu hanya kepada Allah semata. Tidak menghilangkan waktu yang ada artinya tidak menyia-nyiakannya. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang tegar, yang dapat memotong perjalanan antara jiwa dan hati, antara hati dan Allah.

Tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat artinya tidak menggantungkan hasrat kepada seseorang selain Allah, karena yang seperti ini termasuk syirik dalam pandangan orang yang berjalan kepada Allah. Siapa pun yang berjalan kepada Allah secara lurus dan ikhlas, makadia adalah orang yang berhijrah kepada-Nya. Dia tidak boleh terlewatkan dari hijrah ini, dia harus bergabung hingga dapat bersua Allah.

Allah mempunyai dua hak hijrah atas setiap hati, dan sekaligus ini merupakan kewajiban, yaitu:

– Hijrah kepada Allah dengan tauhid dan ikhlas, kepasrahan dan cinta, rasa takut, harapan dan ubudiyah.

– Hijrah kepada Rasul-Nya, dengan cara patuh, tunduk dan taat kepada beliau, pasrah kepada hukum beliau, menerima hukum yang zhahir maupun yang batin. Siapa yang hatinya tidak memiliki dua macam hijrah ini, maka hendaklah dia menaburkan debu ke kepalanya, agar dia sadar, lalu meneliti kembali imannya sejak awal, kembali ke belakang untuk mencari cahaya, sebelum ada penghalang antara dirinya dan iman itu.

 

Sumber: Madarijus Saalikiin oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah