Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102).
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhya Allah selalu menjaga dan megawasi kamu.” (An-Nisaa’:1).
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampunimu bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenagan yang besar.” (Al-Ahzab: 71).
Kebangkitan dunia Islam telah menyadarkan banyak orang tentang kekuatan Islam, meskipun kebangkitan tersebut tidak melalui kekuasaan. Tetapi, Islam memasuki kalbu, otak, dan urat nadi orang yang mencari kebenaran. Hanya saja, kebangkitan tersebut perlu lebih diarahkan kepada satu asas dan bingkai yang diterima oleh semua pihak yang secara jujur membawa misi Islam, li’ilaa’i kalimatillah.
Arah dan bingkai tersebut tak lain dan tak bukan adalah manhaj salaf as-saleh, berupa perangkat pemahaman yang utuh dari ajaran Rasulullah saw. dan contoh yang diberikan oleh generasi-generasi pertama Islam yang tulus dan banyak mendapat pujian dari Rasulullah saw. Hal tersebut tentunya untuk menghindari berbagai penyimpangan yang dialami oleh sebagian umat Islam. Penyimpangan tersebut bervariasi: dari yang besar sampai kepada dualisme pemahaman dengan maksud memilah-milah untuk kepentingan tertentu. Hal itu sangat berbahaya karena dasarnya adalah hawa nafsu. Karena, pemahaman sesungguhnya harus menyeluruh dan kita terima tanpa tawar-menawar. Imam Malik menyebutkan bahwa generasi terakhir tidak akan berjaya, kecuali mengikuti jejak generasi pertama. Kemenangan umat Islam yang dipimpin oleh Rasullah saw. dan para sahabatnya berhasil menyingkirkan dua super power saat itu: Persia dan Romawi. Beratus-ratus tahun kejayaan itu berlangsung sampai menerangi sebagian wilayah barat dan timur. Cordova menjadi sinar Islam di Barat, dan Baghdad menjadi sinar Islam di Timur. Direbutnya Baghdad oleh pasukan Tartar dan jatuhnya Cordova ke tangan penjajah salibis membuat kekuatan Islam melemah dan memberikan peluang bagi Barat untuk memulai infasi militernya ke hampir seluruh wilayah Islam, kecuali Saudi Arabia.
Dengan dominasi Barat itu, sebagian umat Islam yang mempunyai jiwa infriority complex menganggap bahwa kekuatan Islam telah habis dan harus menghadapi model kehidupan Barat yang maju dan modern, baik sistem politiknya (demokrasi) maupun sistem ekonominya (kapitalisme), atau antithesa dari sikap itu mereka mengadopsi sistem politik Timur (Sovyet) yang komunis-sosialis.
Adapun pihak ketiga, mereka tidak ingin sepenuhnya mengadopsi sistem Barat maupun Timur. Mereka mengadopsi nasionalisme lokal dengan menjadikan Islam sebagai agama formal. Artinya, secara lahir mereka beragama Islam, tetapi hakikatnya mereka hidup dengan sistem non-Islam. Sebagian umat Islam mencari bentuk perjuangan lain: ada yang berjuang lewat jalur politik; ada yang berjuang lewat jalur ekonomi; ada yang berjuang lewat dakwah; dan ada pula yang berjuang lewat jihad, dan lain-lain. Hal inilah yang mendorong para pemikir muslim bertanya, mengapa seluruh pemikiran luar diadopsi, sedangkan sistem Islam malah dijauhi. Di antara suara nyaring dari umat Islam adalah seruan mengadopsi sistem demokrasi yang dianggap dapat menjadi jalan keluar bagi umat Islam yang tinggal berdampingan dengan masyarakat nonmuslim.
Manhaj Salaf as-Saleh
Manhaj secara bahasa berarti “jalan”, adapun salaf as-saleh berarti “pendahulu yang saleh”. Secara epistemologi syara’, manhaj salaf as-saleh berarti jalan atau metode pemahaman Islam yang ditempuh oleh generasi terbaik yang dipimpin oleh Rasulullah saw., sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in, atau sampai generasi ketiga, sesuai dengan sabda Nabi saw. yang artinya, “Sebaik-baik manusia yang berada pada abadku, kemudian generasi berikutnya, sampai terdapat kaum-kaum yang syahadat mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului sahadatnya.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Hal ini juga berdasarkan Alquran yang menekankan kepada kita untuk mengikuti generasi terbaik, yaitu para sahabat dalam banyak ayat (Ali Imran: 110, An-Nisaa’: 115, At-Taubah: 100, dan lain-lain). Karena, pemahaman mereka terhadap Islam paling selamat, seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Laalikaa’i, “Sesungguhnya hal yang paling wajib atas seseorang adalah makrifat terhadap din dan apa-apa yang Allah bebankan kepada hamba-hamba-Nya berupa pemahaman tauhid terhadap-Nya, sifat-sifat-Nya, dan membenarkan utusan-utusan-Nya dengan dalil keyakinan, dengan cara istidlal dengan hujjah dan penjelasan. Dan sebaik-baik ucapan dan hujjah yang rasional adalah Al-Qur’an dan sabda Rasulullah serta perkataan para sahabat, kemudian ijma’ para salaf as-saleh dan berpegang teguh terhadap keseluruhannya sampai hari kiamat serta manjauhi berbagai bid’ah yang diada-adakan oleh para penyesat, sekalipun hanya mendengarkannya.” (Al-Laalikaa’i, Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah, juz I, hlm. 9).
Kehidupan para salaf as-saleh dalam perjuangan hidupnya berfariasi: ada yang menjadi penguasa, ada pula yang menjadi ulama, dan yang mayoritas adalah masyarakat biasa, yang kesemuanya dalam rangka menegakkan kebenaran Ilahi. Gambaran mereka pada umumnya seperti ungkapan ruhbaanun billaili wa fursaanun bin nahaari (ahli ibadah di waktu malam dan pejoki-pejoki di waktu siang). Ungkapan Ibnu Mas’ud kepada para tabi’in, “Kalian (para tabi’in) lebih banyak puasa dan salat daripada sahabat-sahabat Muhammad saw., padahal mereka lebih baik daripada kalian. Mereka berkata, ‘Apa sebabnya?’ Beliau menjawab, ‘Karena mereka lebih zuhud dari kalian dalam masalah dunia dan lebih mengutamakan akhirat’.” Ibnu Qayyim menceritakan dalam kitabnya, I’lamul Muwaqqi’in, bahwa Ibnu Mubarak pernah ditanya, kapan seseorang boleh berfatwa, maka beliau menjawab, “Apabila dia menguasai dalil dan mengerti realitas masyarakat.” Demikian pentingnya memahami realitas masyarakat dalam rangka menegakkan perjuangan Islam.
Realitas Umat Islam Hari Ini
Syekh Abdul Ghani Rahhal dalam bukunya, Umat Islam dan Fatamorgana Demokrasi, menyebutkan bahwa kemunduran umat Islam dewasa ini disebabkan empat hal.
- Disingkirkannya sistem Islam sebagai pegangan hidup (way of life) terutama dibidang politik (siyasah syar’iyah.
- Kekuasaan negara-negara Islam di tangan para diktator yang membenci hukum Islam.
- Musuh-musuh Islam mencengkeram seluruh kekuatan penguasa muslim.
- Tingkat dekadensi moral yang sangat tinggi melanda kehidupan muslim.
Namun, menurut hemat kami, kerusakan justru terletak pada kebobrokan para pemimpin dan rusaknya sistem politik buatan manusia dan amburadulnya masyarakat dari berbagai sisi. Misalnya, perjuangan lewat demokrasi yang berarti kekuasaan di tangan rakyat, bersumber dari negara Barat yang sekuler, yang memisahkan kekuasaan politik dan agama. Akibatnya, jika diterapkan di wilayah negara Islam, secara otomatis Islam tidak berperan dalam pengaturan negara. Itu berarti Islam hanya memasuki wilayah individu saja. Adapun mereka yang masih bersemangat menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, dan pada gilirannya akan diberlakukan syariat Islam, ternyata terbukti beberapa kali gagal. Kegagalan itu pernah terjadi di Mesir, Yordania, Pakistan, dan Aljazair. Bahkan, di Aljazair, setelah kemenangan mutlak di tangan Islam, secara sepihak kubu pro status quo yang didukung oleh negara-negara Barat penganut islamphobia berusaha sekuat tenaga menggagalkan kemenangan itu. Hal ini mendorong para tokoh Islam di sana untuk mengangkat senjata. Perjuangan parlementer juga pernah gagal di Indonesia. Kegagalan Masyumi mendorong kelompok M. Natsir mengangkat senjata melalui PRRI.
Menegakkan Islam dengan Cara Islam
Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara Islam. Meskipun kenyataan di lapangan banyak upaya itu dilakukan dengan beragam cara. Ada kalanya dengan cara islami namun sifatnya parsial, ada pula yang tidak islami tetapi berusaha melegitimasinya dengan dalil-dalil syar’i, dengan lebih banyak bersifat ijtihad pada saat ada dalil. Ini yang menjadi soal, sebab ijtihad hanya dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.
Karena itu, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi muslim, umpamanya, menekankan bahwa perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom muslim menganalisa, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang teguh kepada Islam agar meraka jaya, tanpa memerinci lebih jauh apa dan bagaimana realisasinya, dst … dst. Maka, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salaf as-saleh sepanjang perjalanan sejarah perjuangan umat Islam.
Tanggung Jawab Personal
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kita mempunyai andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” (2: 286).
“Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri.” (4: 84).
“Hai orang-orang yang beriman, selamatkan diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (66: 6).
Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu.”
Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (51: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. “Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik perkataan, perbuatan yang nampak, ataupun yang tersembunyi.” (Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyah, hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokus kita adalah bahwa yang menjadi acuannya adalah syariat Islam. Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (5: 2).
Tanggung jawab pun semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
“Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suami dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka.” (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba Allah yang melaksanakan syariat sesuai dengan kemampuannya, ia berarti berkhianat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS 8: 27).
Dalam istilah fiqh, tanggung jawab personal itu ada fardu ain sendangkan tanggung jawab kolektif itu fardu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain. Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayahnya. Kalau tidak, seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan dari perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengotak-kotakkan masa Mekah dan masa Medinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkan secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempraktikkan sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita.
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ….” (64: 16).
Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani: “Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya, dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya, dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya).” (HR Daruqutni, hadis hasan).
Beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: “Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang diciptakan, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Daud dan Tirmizi, hadis hasan).
Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Makkah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin ‘Umair yang dikirim ke Madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif, tetapi tidak cocok. Kemudian beliau memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian, beliau membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempatan kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama muslim dengan mempersaudarakan Muhajirin (dari Makkah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat “Piagam Madinah” untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim.
Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar. Sampai 27 kali beliau berperang, antara perang defensif dan perang ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah yaitu kepada kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya’, hlm. 87).
Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan jihad. Beliau membagi jihad ini menajdi empat bagian.
1. Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
- Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Berjihad dengan melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti bahkan membahayakan.
- Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
- Jihad menekan siri agar sabar terhadap cobaan berupa gangguan manusia (empat hal inilah terkandung dalm surat Al-Ashr, yang kata Imam Syafi’i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-Ashr, niscaya cukup baginya).
2. Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
- Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keraguan-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
- Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (lihat As-sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kuffar dan munafikkin, melalui empat tahap.
- Dengan kalbu.
- Dengan lisan.
- Dengan harta.
- Dengan tangan.
4. Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid’ah ditempuh melalui tiga tahap. Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak dengan lisan, kalau tidak mampu minimal dengan hati. (HR Muslim).
Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, Zaadul Ma’adz, juz 3, hlm. 6–13).
Dengan demikian, telah jelas bagi kita untuk meniti jalan salaf as-saleh dan tidak terjerumus kepada metode perjuangan lain yang terbukti secara faktual telah gagal berkali-kali, seperti lewat prioritas politik, apalagi perjuangan lewat parlementer melalui demokrasi yang telah gagal lebih dari lima kali di dunia Islam. Atau, lewat metode sufi yang sedang marak digabung ekonomi atas nama manajemen qalbu atau semacamnya. Tetapi, kita perlu menempuh semua aspek integral, yaitu aqidah, ibadah, akhlak, ekonomi, politik, bahkan militer. Benar kata Umar bin Khaththab r.a. dalam ungkapan spektakulernya yang artinya, “Kami adalah kaum yang dimulyakan oleh Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah.”
Juga ucapan Imam Malik yang artinya, “Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik.” Wallahu a’lam.