Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, bahwa ia berkata, “Rasulullah saw. melarang seseorang mengambil dua sekaligus (qiran) sehingga temannya yang lain mengizinkannya,” (HR Bukhari [2489] dan Muslim [2045]).
Kandungan Bab:
- Ibnu Baththal berkata, “Larangan qiran (mengambil dua butir sekaligus) merupakan tuntunan adab ketika makan, demikian menurut pendapat Jumhur. Bukan larangan yang berarti pengharaman seperti yang dikatakan oleh kaum Zhahiriyah. Karena memakan yang dihidangkan untuk dimakan adalah untuk dinikmati bukan untuk ditahan. Dan juga karena manusia berbeda-beda dalam hal makanan. Namun, jika salah seorang dari mereka mengambil lebih banyak dari yang lainnya, maka hal seperti itu tidak boleh dilakukan,” (lihat Fathul Baari [V/132]).
Al-Qurthubi berkata dalam al-Mufhim (V/318-319), “Kaum Zhahiriyah membawakan larangan ini kepada pengharaman mutlak. Ini merupakan kejahilan mereka terhadap redaksi hadits dan maknanya. Adapun Jumhur fuqaha dan ulama membawakan larangan ini dalam kondisi makan bersama-sama dan makan berjama’ah. Dalilnya adalah pemahaman Ibnu ‘Umar, perawi hadits ini, dalam memahami maknanya. Beliau tentu lebih paham makna hadits ini dan lebih tahu kondisinya. Dalilnya adalah perkataannya, “Kecuali seseorang diizinkan oleh saudaranya.”
Jika ini merupakan merupakan perkataan Nabi saw, maka merupakan nash yang mendukung maksud. Jika itu merupakan perkataan Ibnu ‘Umar, maka seperti yang kami sebutkan tadi.
Jumhur menyebutkan dua alasan berikut ini:
Pertama: Perbuatan itu menunjukkan sifat rakus dan tamak. Inilah alasan yang dikemukakan oleh ‘Aisyah ra, beliau berkata: “Itu merupakan perbuatan hina.”
Kedua: Itu merupakan sikap mengutamakan diri sendiri lebih dari hak yang semestinya atas teman-teman satu hidangan. Padahal hak mereka semua sama.
- Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (IX/572), “Termasuk juga kategori kurma adalah ruthab (kurma basah), demikian pula kismis, anggur dan sejenisnya, karena kesamaan ‘illat antara keduanya.”
- Sebagian ahli ilmu mengklaim bahwa larangan qiran (mengambil dua biji sekaligus dalam satu hidangan) sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Karena larangan tersebut pada zaman mereka, yaitu pada saat mereka dalam kondisi sempit dan kesulitan. Adapun sekarang mereka tidak butuh meminta-minta lagi.
Namun, al-Qurthubi menolak pendapat ini. Ia berkata dalam kitab al-Mufhim (V/319), “Perkatan ini perlu dikoreksi lagi. Sebab apabila makanan telah dihidangkan, maka bagi seluruh peserta hidangan dipersilahkan memakannya bersama-sama. Jika demikian halnya, maka setiap orang boleh makan sesuai dengan kebiasaannya tanpa mengurangi martabat dan kehormatan diri. Membagi makanan sama rata tanpa bermaksud mengambil bagian yang lebih daripada yang lain. Jika ia melakukan hal itu (yaitu bermaksud mengambil lebih dari yang lain) sementara makanan tersebut dihidangkan untuk bersama, maka sesungguhnya ia telah mengambil makanan yang bukan bagiannya. Jika ternyata makanan tersebut dihidangkan oleh orang lain untuk untuk mereka, maka para ulama berselisih pendapat tentang hak mereka dari makanan itu. Jika dikatakan bahwa mereka hanya berhak mengambil makanan yang diletakkan bahwasanya setiap orang hanya berhak terhadap makanan yang mereka suapkan ke mulut mereka, maka ini merupakan adab yang buruk, sifat rakus, dan tercela. Berdasarkan makna yang pertama hukumnya haram dan berdasarkan makna kedua hukumnya makruh karena termasuk perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang terpuji, wallaahu a’lam.“
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/389-390.