Larangan Menumpahkan Darah Seorang Muslim tanpa Haq

Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya,” (An-Nisa’: 93).

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah terbunuh satu jiwa secara zhalim melainkan atas anak Adam yang pertama mendapat bagian dari dosanya, karena dialah yang pertama kali mencontohkan pembunuhan tersebut,” (HR Bukhari [3335] dan Muslim [1677]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga orang yang paling dibenci Allah: orang yang melakukan kejahatan di tanah haram, orang yang mencari tradisi jahiliyyah setelah Islam dan orang yang menuntut darah seorang tanpa hak untuk ditumpahkan,” (HR Bukhari [6882]).

Dari Abu Darda’ r.a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Semua dosa masih bisa diharapkan Allah akan mengampuninya kecuali orang yang mati dalam keadaan musyrik atau orang mukmin yang sengaja membunuh mukmin lainnya,” (Shahih, HR Abu Dawud [4270], Ibnu Hibban [5980], al-Hakim [IV/351], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [V/153], al-Baihaqi [VIII/21]).

Dari ‘Ubadah bin Shamit r.a. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin sedang ia bangga melakukannya, maka Allah tidak akan menerima darinya ganti dan tebusan apapun,” (HR Abu Dawud [4270]).

Dari Abu Darda’ dan ‘Ubadah bin Shamit r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Seorang mukmin senantiasa menjadi (semangat) dan shalih selama ia tidak menumpahkan darah yang haram ditumpahkan. Apabila ia menumpahkan darah yang haram, maka ia menjadi ballah (terputus gairahnya dan menjadi lemah semangat),” (HR Abu Dawud [4270]).

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Allah enggan menjadikan taubat bagi orang yang mebunuh seorang Mukmin,” (lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [689]).

Dari Rifa’ah bin Syaddad al-Qitbani, ia berkata, “Kalau bukan karena perkataan yang aku dengar dari ‘Amr bin al-Hamq al-Khuza’i niscaya akan aku datangi Mukhtar. Aku mendengar ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memberi jaminan keamanan atas jiwa seseorang tapi ia malah membunuhnya, maka ia akan membawa panji khianat pada hari kiamat,” (lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [440]).

Kandungan Bab:

  1. Kerasnya pengharaman menumpahkan darah seorang Muslim tanpa haq dan menumpahkan darah manusia secara umum. 
  2. Dalam bab ini disebutkan beberapa hadits yang zhahirnya bertentangan dengan firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya,” (An-Nisaa’: 48 dan 116).

    Dan firman Allah, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang,” (Al-Furqaan: 70).

    Karena dosa membunuh tentunya di bawah dosa syirik, dan ayat dalam surat al-Furqaan secara jelas menyebutkan diterimanya taubat pembunuh lalu bagaimana cara menggabungkan antara keduanya?

    Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa hadits-hadits di atas berlaku atas orang yang menghalalkannya atau hadits-hadits tersebut merupakan peringatan dan ancaman keras. Ahli ilmu lainnya berpendapat, “Kalaulah hadits tersebut berlaku atas orang yang menghalalkannya tentunya tidak ada bedanya antara dosa membunuh dengan kekufuran. Sebab menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah hukumnya kafir, tidak ada beda apakah menghalalkan membunuh atau menghalalkan dosa-dosa lainnya, karena semuanya termasuk kekufuran.”

    Sebagian ulama lainnya memperlakukan hadits-hadits tersebut atas orang-orang yang tidak bertaubat. Adapun bia ia bertaubat, maka orang yang bertaubat dari dosa terbebas seperti halnya orang yang tidak berdosa.

    Jika dikatakan, “Hadits ini jelas menyebutkan bahwa Allah tidak menjadikan taubat bagi yang membunuh seorang Mukmin.”

    Jawabannya, “Maknanya adalah si pembunuh tidak diberi taufiq untuk bertaubat, bukan maknanya taubatnya tidak diterima apabila ia bertaubat. Wallaahu a’lam.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/380-383.