Contoh dari bid’ah yang terjadi pada jiwa adalah cerita yang terjadi pada pemeluk agama Hindu yang menyiksa jiwanya sendiri dengan berbagai siksaan yang mengerikan dan beragam model pembunuhan yang menggetarkan hati serta membuat orang yang melihat dan mendengarnya merinding. Semua itu untuk mempercepat kematian, dengan suatu alasan, yaitu mendapatkan derajat yang tinggi — menurut persangkaan mereka— serta mendapatkan kemenangan yang sempurna dan kenikmatan setelah keluar dari kehidupan ini. Perbuatan mereka ini didasarkan pada pokok pemikiran yang rusak. Al Mas’udi dan yang lain menceritakan beberapa hal disana.
Telah terjadi pembunuhan pada kehidupan Arab jahiliyyah, namun dengan rupa yang lain, yaitu pembunuhan anak-anak karena dua sebab, yaitu takut miskin dan takut aib yang saat itu menyertai mereka karena lahirnya anak perempuan, hingga Allah SWT menurunkan ayat-ayat-Nya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. “(Qs. Al Israa^ [17]: 31)
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh. “(Qs. At-Takwiir [81]: 8-9)
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. “(Qs. An-Nahl [16]: 58)
Pembunuhan tersebut bisa menjadi agama dan peraturan yang mereka ada-adakan atau hanya merupakan adat kebiasaan yang tidak sampai mereka jadikan sebagai peraturan. Allah mencela mereka dalam hal itu, sehingga hal itu tidak dihukumi sebagai bid’ah, tetapi kemaksiatan. Kemudian kami melihat apakah bisa kami dapatkan penguat untuk salah satu dari dua kemungkinan itu yang lebih sesuai dengan ayat-ayat tadi? Ternyata kami dapatkan firman Allah, “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang balk membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. “(Qs. Al An’aam [6]: 137)
Ayat ini menjadi penjelas bahwa anggapan baik mereka dikarenakan dua sebab, yaitu pemusnahan dan pengaburan agama. Yaitu pada firman-Nya, “Dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. “Pengaburan ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan (penambahan atau pengurangan), dan inilah yang disebut bid’ah.
Dahulu agama mereka adalah agama bapak mereka (Ibrahim), maka permasalahan ini termasuk dari sekian hal yang mereka rubah, tak ubahnya seperti bahiirah, saaibah, dan penancapan berhala, sehingga mereka menganggap hal itu sebagai bagian dari agama yang mereka anut.
Ini diperkuat oleh firman Allah setelahnya, “Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Qs. Al An’aam [6]: 137)
Allah menisbatkan perbuatan mereka sebagai perbuatan yang diada-adakan (iftira’), sedangkan kemaksiatan bukanlah hal yang diada-adakan (iftira’), karena sebuah —iftira ‘— terjadi pada syariat yang telah ada, bahwa pembunuhan itu (mereka maksudkan) termasuk bagian yang dibawa oleh agama. Oleh karena itu, Allah berfirman setelah itu,
“Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. “(Qs. Al An’aam [6]: 140)
Allah menjelaskan bahwa membunuh anak-anak dan mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah termasuk bagian dari yang diada-adakan (iftira’). Allah kemudian menutup firman-Nya dengan,
“Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. “ (Qs. Al An’aam [6:140)
(Apa yang Allah katakan pada akhir ayat ini) adalah kekhususan bid’ah —sebagaimana telah diterangkan— sehingga perbuatan orang-orang Hindu serupa dengan yang dilakukan oleh orang Arab Jahiliyyah, dan insyaallah akan dijelaskan madzhab Al Mahdi Al Maghribi dalam melegalkan syariat pembunuhan ini.
Walaupun sebagian mufassir berkata untuk mengomentari firman Allah, “Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dan orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka.” (Qs. Al An’aam [6]: 137),
“Maksudnya adalah pembunuhan pada anak-anak karena alasan nadzar dan taqarrub kepada Allah, seperti yang dilakukan dan Abdul Muthallib kepada anaknya, Abdullah, ayah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Pembunuhan semacam ini bisa memberikan masalah dalam memahaminya, sebab bisa saja dikatakan bahwa hal itu mungkin dilakukan sebagai bagian dari bentuk keteladanan yang diambil dari bapak mereka (Ibrahim Alaihi Salam), sebab Allah memerintahkannya untuk membunuh anaknya (Ismail Alaihi Salam), sehingga atas dasar inilah mereka tidak melakukan pembuatan syariat baru atau kedustaan, sebab mereka kembali kepada pokok yang benar yaitu amalan dari bapak mereka (Ibrahim Alaihi Salam).
Kalaulah perkataan ini kita anggap benar, maka perbuatan Ibrahim AS kita dudukkan sebagai suatu perbuatan yang tidak disyariatkan bagi keturunannya yang datang setelahnya. Jadi, sisi pengada-adaan dalam agama untuk masalah ini tetap jelas, apalagi jika kita perjelas dengan menempatkan syubhat masalah penyembelihan Jadi,
(dzabhu). Beginilah masalah yang selalu menyertai ahli bid’ah, yaitu adanya syubhat yang menjadi sandaran mereka.
Perbuatan orang-orang Hindu memang jelas termasuk masalah serupa, berada dalam lingkup pemusnahan atau perusakan terhadap jiwa atau terhadap sebagian anggota tubuh, seperti memotong sebagian anggota tubuh dan memusnahkan fungsi sebagian anggota tubuh, dengan maksud taqarrub kepada Allah.
Oleh karena itu, hal tersebut termasuk bagian dari keumuman bid’ah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah menolak niat Utsman bin Madz’un untuk tidak menikah, dan jika beliau memberi izin kepadanya maka kami pasti akan mengebiri diri kami. Jadi, mengebiri dengan niat tidak menikah, supaya bisa meninggalkan kesibukan dari bercampur dengan wanita dan membuahkan keturunan, adalah perbuatan yang tertolak dan tercela, sedangkan pelakunya terhitung sebagai orang yang tidak dicintai Allah, sebab Allah memperingatkan dengan firman-Nya,.
“.. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. “(Qs. Al Ma’idaah [5:87)
Demikian juga dengan mencungkil mata supaya tidak melihat sesuatu yang tidak halal.
Sumber: Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi