Sesungguhnya orang-orang kafir tatkala diperintahkan untuk berinfak, mereka sangat tamak terhadap hartanya dan ingin menjadikan ketamakan tersebut sebagai alasan. Mereka berkata, ” Apakah kami memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan?” Memang benar, jika Allah menghendaki sesuatu maka Dia tidak membutuhkan seorang pun, akan tetapi Dia menguji hamba-Nya untuk mengetahui tindakan yang mereka ambil. Ternyata mereka memakai nafsu dan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat terhadap perkara tersebut, maka dikatakan, ” Tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Yaasin: 47)
Allah berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut.” (Qs. An-Nisaa: 60)
Seakan-akan mereka telah menyetujui diadakannya perundingan, tetapi mereka menginginkan keputusan hukum yang sesuai dengan kemauan mereka yang menyimpang. Mereka menyangka bahwa semua keputusan adalah hukum, sehingga apa yang telah ditentukan oleh Ka’ab bin Asyraf atau yang lain sama seperti hukum yang telah ditentukan oleh Nabi SAW, karena mereka tidak tahu bahwa hukum Nabi adalah hukum Allah SWT yang tidak dapat ditolak, sedangkan hukum-hukum yang lain dapat tertolak jika tidak sejalan dengan hukum Allah.
Oleh karena itu, Allah berfirman, “Dan syetan berrnaksud rnenyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Qs. An-Nisaa: 60). Zhahir ayat menunjukkan bahwa ayat tersebut diturunkan kepada orang yang masuk Islam, berdasarkan firman Allah, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya….” Sedangkan kdompok ulama tafsir berkata, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari golongan orang-orang munafik atau seorang laki-laki dari golongan Anshar.”
Allah SWT berfirman, “Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah dan ham.” (Qs. Al Maa’ idah: 103)
Mereka membuat syariat dan sesuatu yang baru dalam ajaran Ibrahim, sebagai anggapan bahwa perkara tersebut dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah, sebagaimana mereka dapat mendekatkan diri dengan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim Alaihi Sallam, sehingga mereka tergelincir dan berdusta kepada Allah, karena menyangka bahwa yang ini adalah dari yang itu, padahal tidak demikian.
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman setelah ayat tersebut, “Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu dapat memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (Qs. Al MaaMdah: 105)
“Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah.” (Qs. Al An’aam: 140)
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah. “(Al An’aam: 136)
“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya.” (Qs. Al An’aam: 137)
“Dan mereka mengatakan, ‘Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang, tidak boleh memakannya, kecuali orang-orang yang kami kehendaki’.” (Qs. Al An’aam: 138).
Kesimpulannya adalah, mereka telah membunuh anak-anak mereka tanpa ilmu dan mengharamkan rezeki yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka dengan akal. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Qs. Al An’aam: 140).
Allah SWT berfirman (sesudah memberikan peringatan kepada mereka tentang pengharaman yang telah mereka lakukan), “Katakanlah ‘Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya…. Maka siapakah yang lebih zhalim dari orang-orang yang membuat-buat dusta teihadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?’ Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al An’aam: 144)
Firman-Nya, “Tidak memberi petunjuk.” Artinya adalah Allah menjadikan mereka tersesat.
Ayat-ayat yang mengandung ketetapan terhadap kaum musyrik berkenaan dengan kemusyrikan yang mereka perbuat juga menyebutkan kesesatan, karena hakikat perbuatan tersebut adalah keluar dan jalan yang lurus (meletakkan tuhan-tuhan mereka agar dapat mendekatkan din kepada Allah seperti yang mereka yakini). Mereka berkata, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Qs. Az-Zumar: 3).
Mereka menjadikan tuhan-tuhan tersebut sebagai wasilah untuk dapat mendekatkan did sedekat-dekatnya, hingga akhirnya mereka menyembah selain Allah.
Menurut para ulama, pertama kaK yang mereka buat hanyalah seperti gambar yang mereka harapkan keberkahannya, lalu gambar tersebut disembah. Orang-orang Arab kemudian mencontohnya dan membuatnya dari jenis yang lain tapi dengan tujuan yang sama. Perbuatan ini adalah kesesatan yang nyata.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’.” (Qs. Al Ma’idah: 73)
Mereka berprasangka kepada Tuhan yang Maha Benar seperti berprasangka kepada tuhan yang batil. Yang demikian itu berdasarkan dalil yang mereka yakini, bahwa dalam perkara tersebut tidak terdapat perbedaan sebagaimana disebutkan oleh para ahli sejarah, maka dengan perkara yang samar mereka tersesat dari kebenaran, juga karena meninggalkan perkara yang jelas dan kecenderungan mereka terhadap mutasyabihat, sebagaimana yang dikabarkan Allah SWT dalam surah Ali ‘Imraan.
Oleh karena itu, Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Qs. Al Maa’ idah: 77).
Mereka adalah orang-orang Nasrani, mereka tersesat dalam masalah penilaian terhadap diri Isa AS. Allah juga telah berfirman (setelah menjelaskan tentang ubudiyah Isa), “Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (Qs. Maryam: 34).
Setelah penyebutan tentang dalil-dalil tauhid serta penyucian bagi Allah Yang Esa terhadap pengangkatan anak dan penyebutan tentang perselisihan mereka dalam perkataan mereka yang menyimpang, Dia berfirman, ” Tetapi orang-orang yang zhalim pada hari ini (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Maryam: 38).
Allah SWT juga menyebutkan tentang orang-orang munafik; mereka telah menipu Allah dan orang-orang yang beriman, karena mereka bersama-sama orang beriman mengerjakan perintah yang telah dibebankan dengan bermalas-malasan dan hanya digunakan sebagai pelindung agar selamat, sehingga perbuatan tersebut tidak memberikan faidah sedikit pun kepada mereka. Pada hakikatnya mereka menipu diri sendiri dan inilah yang dinamakan dengan kesesatan yang sebenarnya. Ketika ia mengerjakan sesuatu, maka ia menganggap sesuatu itu miliknya, padahal ia hanyalah bagian darinya, namun ia tidak berada pada petunjuk amalnya dan tidak berjalan di atas jalannya.
Allah pun berfirman,”‘ Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka… Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (Qs. An-Nisaa’: 142-143)
Allah juga berfirman (menceritakan tentang seorang laki-laki yang datang dari kota yang jauh dengan bergegas dan berkata), “Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pub) dapat menyelamatkanku?”(Qs. Yaasin: 23).
Artinya, “Bagaimana mungkin aku akan menyembah selain Allah yang tidak memberikan manfaat sedikit pun, dan aku meninggalkan Tuhan Yang Esa yang di Tangan-Nya terletak kemudharatan dan kemanfaatan? Ini berarti keluar dari satu jalan menuju jalan yang lain, ‘ Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata’.” (Qs. Yaasin: 24)
Contoh-contoh yang menguatkan asal usul perkara tersebut sangat banyak, yang semuanya memperlihatkan banyak digunakannya kesesatan pada hal-hal yang dapat membuat pelakunya jatuh pada hal-hal syubhat yang dipaparkan oleh orang lain kepadanya, atau mengikuti orang yang memaparkan keraguan kepadanya, kemudian kesalahan dan kesesatan tersebut dijadikan syariat dan agama yang dianutnya, walaupun jelasnya jalan yang hak tidak dipertentangkan keberadaan dan kebenarannya.
Ketika kekafiran tidak hanya terbatas pada jalan ini, namun terdapat juga pada jalan yang lain (yaitu kekafiran setelah datang petunjuk, sebagai reaksi dari pembangkangan dan perbuatan zhalim), Allah SWT menyebutkan kedua jenis tersebut dalam surah Al Faatihah, ” Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Qs. Al Faatihah: 6-7).
Ayat ini adalah dalil yang agung yang diseurukan para nabi AS agar diikuti. Kemudian Allah berfirman, “Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, karena mereka kafir setelah mereka mengetahui kenabian Muhammad SAW. Bukankah kamu telah mengetahui firman-Nya tentang mereka, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani)yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.” (Qs. Al Baqarah: 146).
Sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena mereka dinilai salah (sesat) dalam memandang diri Nabi Isa AS. Oleh karena itu, para mufasir (ulama ahli tafsir) berpendapat seperti yang telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Yang dinyatakan berada dalam kesesatan adalah orang-orang musyrik yang telah mengadakan sesembahan selain Allah, seperti yang disebutkan dalam ayat-Nya (yang sekaligus menjadi bukti hal tersebut), “Dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Hal itu mencakup mereka dan orang-orang selain mereka. Semua orang yang keluar dari jalan yang lurus termasuk di dalam kategorinya.
Yang termasuk dalam kategori kalimat “dhaallin (orang-orang yang sesat) adalah semua orang yang keluar dari jalan yang lurus, baik dari umat ini maupun umat lainnya, sebab yang telah disebutkan dalam ayat-ayat sebelum ini juga menunjukkan makna yang sama. Jadi, firman Allah SWT,
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An’aam: 153).
Bermakna umum, untuk semua bentuk kesesatan, seperti kesesatan yang ada dalam kemusyrikan atau kemunafikan, atau seperti kesesatan kelompok-kelompok tertentu dalam agama Islam, bahkan yang demikian itu lebih mengena dan lebih patut untuk dimasukkan dalam kategori pengikut kesesatan serta lebih pantas untuk dimasukkan secara menyeluruh dalam fatihatul kitab dan as- Ssab’u al matsani serta Al Qur’an.
Kita memang telah keluar dari pembahasan, namun hal itu masih termasuk dalam pembahasan yang sedang kita bahas ini. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita.
Sumber: Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi