Pada hakikatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah:
- Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal. Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) berkata, “Karena itu tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof atau pun golongan Qadariyah, yang mengatakan bahwa di dalam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendak-Nya, atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah. Tawakkal macam apakah yang keluar dari orang yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui bagian-bagian alam atas dan alam bawah, tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya dan tidak didukung satu sifat pun? Siapa yang lebih mengetahui tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakkal-nya lebih benar dan lebih kuat. Allahlah yang lebih mengetahui hal ini.”
- Menetapkan sebab dan akibat. Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakkalnya ada yang tidak beres. Ini kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa menodai tawakkal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempumaan tawakkal. Ketahuilah bahwa tawakkalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali. Sebab tawakkal termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan apa yang ditawakkali. Tawakkal ini seperti doa yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendapatkan apa yang diminta dalam doa itu. Jika hamba percaya bahwa tawakkalnya tidak ditetapkan Allah sebagai sebab dalam memperoleh sesuatu, begitu pula doanya, maka sesuatu itu tetap diperolehnya, baik dia tawakkal atau tidak tawakkal, berdoa atau tidak berdoa, kalau memang hal itu sudah ditakdirkan baginya.
Jika tidak ditakdirkan, maka sesuatu itu tidak akan diperolehnya, tawakkal atau tidak tawakkal. Orang-orang yang meniadakan sebab ini beralasan bahwa tawakkal dan doa adalah ubudiyah yang bersifat murni, yang manfaatnya hanya ubudiyah itu semata. Di antara mereka ada yang bersikap kelewat batas, dengan mengatakan bahwa doa agar tidak dihukum atas keliru dan lalai tidak memberi manfaat apa-apa. Karena sudah ada jaminan pengabulannya. Menurut sebagian di antara mereka, yang kami baca dalam buku karangannya, bahwa doa itu mengandung kesangsian terhadap pengabulannya. Sebab orang yang berdoa berada di antara ketakutan dan harapan.
Kesangsian terhadap pengabulannya berarti kesangsian terhadap pengabaran Allah. Perhatikanlah bagaimana pengingkaran terhadap sebab telah menyeret mereka ke dalam dosa yang besar, karena mereka mengharamkan doa. Padahal Allah memuji para wali dan hamba-hamba-Nya, karena mereka berdoa dan memohon kepada-Nya. Untuk menyanggah duga-an mereka yang batil, dapat dikatakan sebagai berikut: Ada bagian ketiga yang tidak kalian sebutkan dari dua bagian di atas, yaitu kenya-taan. Dengan kata lain, bahwa Allah menetapkan tawakkal dan doa sebagai dua sebab untuk mendapatkan apa yang diminta, dan Allah menakdirkan perolehan sesuatu jika hamba mengerjakan sebabnya. Jika dia tidak mengerjakan sebab, maka dia juga tidak memperoleh akibatnya. Hal ini seperti ketetapan Allah untuk mendapatkan anak, jika seorang laki-laki berjima’ dengan wanita yang akan mengandung anaknya. Jika dia tidak berjima’ dengannya, tentu Allah tidak akan menciptakan anak baginya.
Allah menetapkan kenyang jika hamba makan. Jika dia tidak makan, tentu dia tidak akan kenyang. Allah menetapkan hamba masuk surga jika dia masuk Islam dan mengerja-kan amal-amal shalih. Jika tidak melakukannya, maka selamanya dia tidak akan masuk surga. Sekarang bandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mengingkari sebab, yang setiap orang di antara mereka berkata, “Kalau memang sudahditakdirkan bagiku dan sudah ditetapkan sejak awal untuk mendapatkan anak, kenyang, menunaikan haji dan lain sebagainya, tentu semua akan terjadi pada diriku, entah aku bergerak atau diam, menikah atau membujang, bepergian atau duduk-duduk saja.
Tapi jika tidak ditakdirkan bagiku, maka semua itu juga tidak akan terjadi pada diriku, aku berbuat atau tidak berbuat.” Apakah orang yang berkata seperti ini dianggap sebagai orang yang waras? Bukankah binatang lebih pandai daripada dia? Sebab binatang pun masih berusaha melakukan sebab sesuai berdasarkan petunjuk secara umum. Tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Siapa yang mengingkari sebab, berarti tawakkalnya tidak benar. Tapi tawakkal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata dan memutuskan hubungan hati dengannya.
- Memantapkan hati pada pijakantauhid. Tawakkal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakkalnya kepada Allah karena ada-nya cabang itu. Berangkat dari sinilah muncul anggapan sebagian orang bahwa tawakkal tidak benar kecuali dengan menolak sebab secara total. Memang ini bisa dibenarkan. Tapi penolakan ini harus dari hati dan bukan dari anggota tubuh. Tawakkal tidak benar kecuali dengan menyingkirkan sebab dari hati dan kebergantungan anggota tubuh kepadanya. Jadi harus ada pemutusan dengan sebab dan juga harus ada hubungan dengan sebab.
- Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya. Tandanya, ia tidak peduli saat menghadapi sebab itu atau saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disukai dan saat menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah dan ketenangannya bergantung kepadaNya, telah melindungi dirinya dari ketakutan. Keadaannya seperti orang yang berhadap-an dengan musuh yang tangguh dan tak mungkin dikalahkannya, lalu tiba-tiba dia melihat benteng kokoh yang terbuka pintunya, lalu Allah memasukkannya ke dalam benteng itu dan menutup pintunya.
Dia melihat musuh ada di luar benteng, sehingga hatinya tidak lagi risau karena keadaannya ini. Atau seperti orang yang diberi uang oleh raja. Tapi kemudian uang pemberian itu dicuri orang lain. Lalu raja berkata kepadanya, “Tidak perlu takut, karena aku mempunyai uang yang melimpah. Jika engkau mau datang ke tempatku, akan kuberikan se-berapa pun yang engkau minta.” Jika dia percaya kepada raja, yakin terhadap perkataannya dan tahu gudangnya penuh uang, tentu dia tidak akan gelisah dan takut.
- Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakkal dengan baik sangka terhadap Allah. Yang benar, baik sangka ini mengajak kepada tawakkal. Sebab tawakkal tidak bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.
- Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya. Karena itu ada yang menafsiri tawakkal ini dengan berkata, “Hendaknya seorang hamba di hadapan Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikkan jasadnya menurut kehendaknya, dan dia tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur. Inilah makna perkataan sebagian orang, bahwa tawakkal adalah membebaskan diri dari pengaturan, atau menyerahkan pengaturan kepada Allah. Tapi ini tidak berlaku untuk perintah dan larangan, tapi untuk hal-hal yang diperbuat Allah terhadap dirimu danbukan dalam perkaraperkara yang diperintahkan-Nya agar kamu mengerjakannya.
- Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakikatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan melindunginya. Dia melihat penanganan orang tuanya adalah penanganan yang paling baik bagi dirinya. Maka dia tidak melihat kebaikan bagi dirinya selain dari menyerahkan semua urusannya kepada orang tuanya.
Sumber: Madarijus Salikin oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah