Bid’ah Adalah Bagian Dari Kemaksiatan

Berdasarkan keterangan tersebut, berarti bid’ah adalah bagian dari kemaksiatan, dan telah ditetapkan bahwa kemaksiatan itu bertingkat-tingkat. Dengan demikian bid’ah juga memiliki kategori yang bertingkat-tingkat. Seperti juga yang dijelaskan bahwa bid’ah ada yang terjadi pada perkara-perkara yang dharuriyyat (maksudnya merusak salah satunya), ada yang berada pada perkara yang hajiyyat, dan ada yang berada pada perkara yang tahsinat. Kemudian yang masuk dalam perkara dharuriyyat ada yang terjadi pada masalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.

Contoh bid’ah yang terjadi pada masalah agama adalah perbuatan orang-orang kafir, diantaranya; merubah agama Ibrahim, sebagaimana di dalam Al Qur’an “Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahiirah, saa ‘iba, wasiilah dan haam. “(Qs. Al Maa’ idah [5]: 103)

Banyak pendapat yang diriwayatkan dari para mufassir dalam masalah ini, diantaranya dari Ibnu Al Musayyib, bahwa yang dimaksud bahiirah adalah unta yang air susunya diperuntukkan bagi para thaghut. Saaibah adalah unta yang dibiarkan pergi kemana saja untuk thagut-thaghut mereka. Adapun wasiilah adalah unta yang melahirkan anak betina kemudian melahirkan lagi betina, mereka mengatakan, “Yang ada adalah dua anak dengan jenis kelamin betina,” kemudian mereka memotongnya untuk dipersembahkan kepada thaghut. Sedangkan haam adalah unta jantan yang dapat membuntingi betina hingga pada hitungan tertentu, kalau sudah mencapai hitungan itu maka punggungnya terlindungi dan dibiarkan sehingga mereka menamainya al haami.

Diriwayatkan oleh Ismail Al Qadhi dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

u Sungguh, aku mengetahui orang yang pertama kali membuat unta saaibah dan orang yang pertama kali merubah agama Ibrahim AS.” Para sahabat bertanya, “Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Amru bin Luhai, ia adalah Abu Bani Ka’ab. Aku melihatnya menarik ususnya di neraka dan baunya menyakiti penghuni neraka. Sungguh, aku tahu orang yang pertama kali membuat unta bahiirah.” Para sahabat bertanya, “Siapakah ia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki dari Bani Mudlij, dahulu ia mempunyai ekor unta, ia potong telinganya dan ia haramkan air susunya, namun kemudian ia meminum air susu kedua unta itu. Aku melihatnya di neraka, sedangkan kedua unta itu menggigitnya dengan mulutnya dan menginjaknya dengan kakinya.”

Kesimpulan dari ayat itu adalah, mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan dengan niat taqarrub kepada-Nya, padahal apa yang diharamkannya itu sebenarnya halal menurut hukum syariat.

Sebagian sahabat Rasulullah SAW ingin mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan untuk diri mereka sendiri dengan tujuan memusatkan diri kepada Allah dan meninggalkan dunia dengan segala kesibukannya. Tetapi Rasulullah SAW tidak menerima hal itu, kemudian Allah SWT menurunkan firmannya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. “(Qs. Al MaaMdah [5]: 87)

Penjelasan ayat tersebut akan didapatkan pada bab lain, sebagai dalil bahwa mcngharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah walaupun dengan tujuan meniti kehidupan akhirat— tetap terlarang, itu jika tidak menolak syariat, tidak merubah syariat, dan tidak bertujuan membuat bid’ah. Lalu, bagaimana jika ia meniatkan untuk merubah atau mengganti syariat sebagaimana yang dilakukan oleh orang kafir atau bermaksud membuat bid’ah dalam syariat, atau sebagai pembuka jalan menuju kesesatan?

 

Sumber: Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi