Allah befirman berkaitan dengan tempat persinggahan tawakkal ini,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan, hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23).
Allah befirman kepada Rasul-Nya,
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159).
Masih banyak firman Allah yang menjelaskan tawakkalnya para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan hadits tentang tu juh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayai mantra, tidak meramal yang buruk-buruk, tidak mengobati dengan sundutan api, dan hanya bertawakal kepada Allah.
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, “Hasbunallah wa ni’mal-wakil”, diucapkan Ibrahim Alaihis-Salam, ketika beliau dilemparkan ke kobaran api, dan juga dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat orang-orang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya manusia (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa berdoa yang artinya,
“Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepa-da- Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali dan karena-Mu aku bermusuhan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada kemuliaan-Mu, yang tiada llah selain Engkau, agar Engkau (tidak) menyesatkanaku. Engkau Yang Mahahidup yangtiada mati, sedangkan jin dan manusia mati.”
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab secara marfu’, “Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
Di dalam As-Sunan disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa mengucapkan (saat keluar dari rumalinya), ‘Dengan asma Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah’, maka dikatakan kepadanya, ‘Kamu mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupkan. Lalu syetan berkata kepada syetan lainnya, ‘Bagaimana mungkin kamu bisa memperdayai orang yang telah mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupi?'”
Tawakkal merupakan separoh agama dan separohnya lagi adalah inabah. Agama itu terdiri dari permohonan pertolongan dan ibadah. Tawakkal merupakan permohonan pertolongan sedangkan inabah adalah ibadah. Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah disana, karena luasnya kaitan tawakkal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakkal, yang bisa disinggahi orang-orang Mukmin dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas.
Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakkal, sekalipun kaitan tawakkal mereka berbe-da-beda. Para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus bertawakkal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakkal kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang bertawakkal kepada Allah karena sesuatu yang hendak didapatkannya, entah rezki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya.
Ada pula yang bertawakkal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakkal mereka ini lebih kuat daripada tawakkalnya orang-orang yang taat.
Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka. Tawakkal yang paling baik ialah tawakkal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan agama.
Ini merupakan tawakkalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti.
Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperoleh-nya itu justru akan membahayakan dirinya.
Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakkalnya, selagi hal itu tidak dimak-sudkan untuk ketaatan kepada-Nya.
Berikut ini akan kami jelaskan makna tawakkal dan derajat-derajatnya serta berbagai pendapat tentang tawakkal ini.
Al-Imam Ahmad berkata, “Tawakkal adalah amal hati. Karena ia merupakan amal hati, maka ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal anggota tubuh. Ilmu juga bukan termasuk masalah ilmu atau pun teori.” Namun di antara manusia ada pula yang menganggapnya masalah ilmu dan ma’rifat, dengan mengatakan, “Tawakkal merupakan ilmu hati atas jaminan Allah yang diberikan kepada hamba.”
Sahl berkata, “Tawakkal merupakan kepasrahan kepada Allah menurut apa pun yang dikehendaki-Nya.”
Bisyr Al-Hafy berkata, “Adakalanya seseorang yang berkata, ‘Aku tawakkal kepada Allah’, tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia benar-benar tawakkal kepada Allah, tentu dia meridhai apa pun yang dilakukan Allah terhadap dirinya.”
Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah seseorang bisa disebut orang yang tawakkal?” Maka dia menjawab, “Jika dia ridha kepada Allah sebagai wakilnya.” Di antara mereka ada yang menafsiri tawakkal dengan keyakinan terhadap Allah, tenang dan damai terhadap-Nya.
Ibnu Atha’ berkata, “Tawakkal ialah jika engkau tidak mempunyai kecenderungan kepada sebab-sebab tertentu, sekalipun engkau sangat membutuhkannya. Hakikat kedamaian tidak akan beralih ke kebenaran selagi engkau mengandalkan sebab-sebab itu.”
Dzun-Nun berkata, “Tawakkal artinya tidak bersandar kepada pengaturan diri sendiri, berlepas dari daya dan kekuatan diri sendiri. Tawakkal seorang hamba semakin kuat jika dia mengetahui bahwa Allah mengawasi dan melihat dirinya.” Ada yang berkata, “Tawakkal ialah bergantung kepada Allah di setiap keadaan.” Ada pula yang berpendapat, “Tawakkal ialah jika engkau menolak sumber-sumber kebutuhan dan engkau tidak kembali kecuali kepada Dzat yang benar-benar memberi kecukupan.” Ada pula yang berkata, “Tawakkal ialah menghilangkan segala keragu-raguan dan berserah diri kepada Raja Segala Raja.”
Abu Sa’id Al-Kharraz berkata, “Tawakkal ialah kegelisahan tanpa ketenangan dan ketenangan tanpa kegelisahan.”
Abu Turab An-Nakhsyaby berkata, “Tawakkal ialah menghempaskan badan untuk beribadah, menggantungkan hati dalam Rububiyah, merasa tenang karena ada kecukupan, jika diberi bersyukur dan jika ditolak sabar.”
Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “Tawakkal itu ada tiga derajat: Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya.
Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orangorang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus.
Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.” Masih banyak pendapat-pendapat lain tentang makna tawakkal ini, yang semuanya merupakan rincian dari makna tawakkal.
Sumber: Madariijus Saalikin karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah