Penjelasan Arti Umum Bid’ah (Part 1)

Kesesatan disebutkan dalam berbagai macam dalil naqli dan telah diterangkan sebelumnya, demikian halnya dengan ayat-ayat tentang perselisihan dan perpecahan, hingga terbagi menjadi kelompok-kelompok, dan berbagai macam jalan telah menjadi bukti yang menjelaskan kondisi kesesatan bid’ah.

Hal itu berbeda dengan perbuatan maksiat lainnya, karena kebanyakan perbuatan maksiat tidak disifati dengan kesesatan, kecuali perbuatan bid’ah atau yang menyerupainya. Kesalahan yang terjadi saat menentukan hukum syariat —hal yang dimaafkan— juga tidak dinamakan dengan kesesatan serta tidak dikatakan sesat bagi orang yang berbuat kesalahan dengan tidak disengaja. Namun hal itu —wallahu ‘alam— berfungsi sebagai hikmah yang bertujuan memberi peringatan terhadap hal-hal yang menyesatkan; sesat dan kesesatan adalah lawan dari petunjuk dan memberi petunjuk.

Orang-orang Arab menyebut kata al huda (petunjuk) untuk sesuatu yang nyata dan dapat dirasakan dengan panca indra. Contoh: kamu berkata, “Aku menunjukkan jalan kepadanya dan aku telah menunjuki sebuah jalan kepadanya.” Dari pengertian tersebut dipindahkan ke makna jalan yang baik dan buruk, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang Jurus.” (Qs. Al Insaan: 3) dan “‘Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Qs. Al Balad: 10) dan, ” Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (Qs. Al Faatihah: 6).

Kata ash-shirath, ath-thariq, dan as-safo/memiliki satu arti yaitu jalan yang dapat dirasakan dan sebagai kalimat majazi pada pengertian tentang jalan secara maknawiahnya. Lawan katanya adalah kesesatan, yaitu keluar dari jalan yang lurus, seperti unta atau domba yang tersesat. Seseorang yang tersesat artinya keluar dari jalan yang benar, karena ia bingung atas suatu perkara dan ia tidak mempunyai orang yang dapat memberi petunjuk dan menunjukkan jalan (penunjuk jalan).

Tatkala pelaku bid’ah telah dikuasai oleh hawa nafsu dan kebodohan terhadap jalan-jalan Sunnah, maka ia akan mengira bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh akalnya adalah jalan lurus, sehingga dengan keyakinan penuhnya ia mengikuti jalan tersebut, padahal ia berada pada jalan yang sesat yang ia sangka benar. Ia seperti orang yang berjalan pada malam yang gelap dan tidak ada satu pun orang yang menunjukinya.

Orang-orang yang berbuat bid’ah dari umat ini tersesat karena mengambil dalil-dalil berdasarkan hawa nafsu dan syahwat, bukan dengan kehati-hatian dan selalu berada di bawah hukum-hukum Allah. Seperti inilah perbedaan antara bid’ah dengan yang lainnya. Orang yang berbuat bid’ah menjadikan hawa nafsu sebagai tujuan utama dan mengambil dalil dengan cara mengikuti orang lain, sementara kebanyakan dalil-dalil yang ada secara umum berlandaskan pada perkataan orang-orang Arab. Oleh karena itu, yang dituntut adalah kehati-hatian dalam bergaul dengan hal-hal yang zhahir, sebab bisa jadi engkau mendapatkan nash yang tidak membutuhkan takwil, atau mungkin zhahir yang membutuhkan takwil secara tepat, sebab hal itu berkaitan dengan khazanah keilmuan selain ilmu ini. Setiap yang tersurat bisa jadi menuntut pengertian yang tidak bersesuaian dengan maksud yang terkandung dan dapat ditakwilkan dengan penakwilan yang salah karena tidak sesuai dengan maksud sebenarnya. Jika demikian fenomenanya, maka itulah kebodohan terhadap usul syariat dan tujuan-tujuannya. Hal tersebut lebih berbahaya dan lebih dekat pada penyimpangan, bahkan telah keluar dari tujuan-tujuan syariat.

Oleh karena itu, orang yang mengalaminya pasti berada jauh dari Sunnah dan terkurung dalam kesesatan bid’ah, dan ketika dikalahkan oleh nafsu, ia akan sangat mampu mengarahkan dalil-dalil yang sesuai dengan hawa nafsunya.

Bukti dari penjabaran tersebut adalah seorang pelaku bid’ah yang menisbatkan dirinya sebagai pengikut suatu ajaran, kecuali ia memberikan persaksian atau penguat bid’ahnya dengan dalil-dalil syar’i dan mengartikan dalil-dalil tersebut sesuai dengan akal dan hawa nafsunya. Seperti inilah model mereka dalam menyebarkan ajaran salah yang mereka yakini sebagai sebuah kebenaran.

Allah berfirman, “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk.” (Qs. Al Baqarah: 26)

uDemikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al Muddatstsir: 31)

Namun mereka menyusun argumentasi dari ayat-ayat yang mutasyabih, yang sedikit namun seperti berjumlah banyak. Inilah dalil nyata pengikutan hawa nafsu. Kebanyakan bahkan umumnya dalil jika menunjukkan sesuatu secara zhahir, maka itulah yang benar. Namun jika pada pengertiannya terdapat sesuatu yang menyelisihi zhahir nash, maka hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Oleh sebab itu, telah menjadi kewajiban nash yang zhahir untuk mengembalikan yang jumlahnya sedikit kepada yang jumlahnya banyak, dan yang mutasyabih kepada yang jelas.

Akan tetapi hawa nafsu telah membelokkan diri seseorang hingga berada dalam bencana, padahal ia menganggap dirinya berada di atas jalan yang benar. Berbeda dengan orang yang bukan ahli bid’ah, ia menjadikan petunjuk jalan yang benar sebagai tujuan utama dan mengenyampingkan hawa nafsu, maka ia akan mendapatkan bahwa kebanyakan dalil-dalil dan sebagian besar ayat Al Qur ‘an sangat jelas menerangkan tentang hal-hal yang dicari, kemudian ia akan mendapatkan kebenaran. Adapun jika timbul keraguan dalam hal tersebut, maka akan ia kembalikan kepada AI Qur’an atau kepada orang yang alim dan tidak memaksakan diri untuk menakwilkannya.

Allah berfirman, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat… dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’.” (Qs. Aali ‘Imraan: 7)

Pada kondisi seperti itu tidak mungkin dapat dikatakan sebagai orang yang berbuat bid’ah atau sesat, meski terjadi kesalahan atau terdapat sesuatu yang tidak diketahuinya. Dikatakan tidak termasuk pelaku bid’ah, karena ia mengikuti dalil-dalil yang diberikan kepadanya agar dapat berhati-hati, sambil merentangkan tangan pengharapan pada akhirnya namun tetap mendahulukan perintah Allah. Ia juga dikatakan tidak sesat, karena ia berjalan di atas kebenaran dan kepadanya ia kembali. Namun, jika suatu saat ia keluar darinya dan berbuat kekeliruan, maka tidak ada dosa baginya, bahkan ia akan mendapat pahala, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih, yang artinya:

“Jika seorang hakim berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala, dan jika benar maka baginya dua pahala.” (H.R Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Termasuk juga bukan orang yang tidak sesat adalah imam yang berijtihad mengenai suatu hukum untuk dirinya sendiri, dan tidak dijadikan sebagai syariat yang harus dianut, sekalipun hasil ijtihad itu salah.

Perlu diingat bahwa dosa yang dilakukan akibat mengikuti seseorang terkadang disebut dengan mengikuti Sunnah, maka ia diperlakukan seperti orang yang pertama melakukan hal tersebut, seperti dalam hadits yang artinya,

“Barangsiapa membuat kebiasaan buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya.” (H.R Muslim dan Nasa’i)

“Tidaklah satu jiwa yang terbunuh dengan zhalim, maka atas anak Adam yang pertama bagian dari dosanya, karena ia yang pertama kali membuat sunah (perilaku) pembunuhan.” (H.R Muslim)

Jadi, pembunuhan dinamakan dengan sunah, yang dinisbatkan kepada orang yang melakukan hal tersebut dan menjadikannya sebagai sesuatu yang diikuti. Namun hal itu tidak dinamakan bid’ah karena ia tidak menjadikannya sebagai syariat, dan tidak dinamakan sesat karena ia tidak berada di jalan yang telah disyariatkan atau dalam rangka mengadakan penentangan terhadapnya.

Semua ini adalah pernyataan yang sangat jelas dan telah diperkuat oleh sejarah dalam menamakan bid’ah sebagai bentuk kesesatan. Hal itu diperkuat juga dengan keadaan orang-orang sebelum Islam dan pada zaman Rasulullah SAW, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Nafkahkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu’, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan?’. “(Qs. Yaasin: 47)

 

Sumber: Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi