Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa berkongsi dengan orang lain dalam sebidang tanah atau kebun kurma, maka janganlah ia jual sebelum memberitahukannya kepada rekan kongsinya. Jika ia berniat, silahkan mengambilnya, jika tidak berminat, silahkan ia meninggalkannya’,” (HR Muslim [1608]).
Kandungan Bab:
- Ahli ilmu sepakat disyari’atkannya syuf’ah, yaitu berpindahnya bagian seseorang kepada rekan kongsinya yang mana bagian tersebut telah berpindah ke tangan orang lain dengan memberikan ganti rugi yang telah ditetapkan.
- Syuf’ah adalah hak wajib ditunaikan pada tiap-tiap sesuatu yang belum dibagi-bagikan. Dari Jabir bin ‘Abdillah ra, bahwa Rasulullah saw. telah memutuskan adanya syuf’ah pada tiap-tiap sesuatu yang belum dibagi-bagikan. Namun apabila ditetapkan batas-batasnya dan sudah diatur jalan-jalannya, maka tidak ada lagi syuf’ah, (HR Bukhari [2257] dan Muslim [1608]).
Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (VIII/241), “Ahli ilmu sepakat adanya hak syuf’ah bagi rekan kongsi pada tanah yang dibagikan apabila dijual oleh salah seorang dari rekannya yang menjual bagiannya sebelum dibagikan. Rekan-rekan kongsi yang lain boleh mengambil bagian itu melalui hak syf’ah dengan memberikan ganti tugi senilai harga penjualannya. Jika dijual dengan sesuatu yang berharga seperti pakaian atau budak sahaya, maka mereka mengambilnya dengan menyerahkan ganti rugi senilai harga pakaian atau budak tersebut.”
- Hak syuf’ah berlaku pada tiap-tiap sesuatu, tidak ada perbedaan apakah hewan, benda mati atau rumah.
- Jika batas-batas telah ditetapkan dan sudah ditentukan bagian-bagiannya, maka tidak ada lagi syuf’ah. Dari situ jelaslah bahwa hak syuf’ah ini hanya berlaku bagi rekan kongsi dan tidak berlaku bagi jiran atau tetangga.
- Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/241), “Para ulama berselisih pendapat tentang penetapan hak syuf’ah bagi tetangga. Sebagian besar ahli ilmu dari kalangan Sahabat ra dan para ulama sesudah mereka berpendapat tidak ada hak syuf’ah bagi tetangga. Dan bahwasannya syuf’ah hanya berlaku atas apa-apa yang belum dibagi-bagikan (ditetapkan baginnya). Ini merupakan pendapat ‘Umar dan ‘Usman ra dan merupakan pendapat penduduk Madinah seperti Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, az-Zuhri, Yahya bin Sa’id al-Anshari dan Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman. Dan juga merupakan madzhab Malik, al-Auza’I, asy-Syafi’I, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur. Sebagian dari Sahabat Nabi dan yang lainnya berpendapat adanya hak syuf’ah bagi jiran. Ini merupakan pendapat ats-Tsauri, Ibnul Mubarak dan ashabur ra’yi. Hanya saja mereka menambahkan: “Rekan kongsi lebih ditamakan daripada tetangga.”
Pihak yang berpendapat adanya hak syuf’ah bagi jiran behujjah dengan dalil-dalil berikut ini:
- Hadits Abu Rafi’ ra dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Tetangga lebih berhak lantaran kedekatannya,” (HR Bukhari [2258]).
- Hadits Samurah bin Jundab r.a. dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Tetangga samping rumah lebih berhak kepada rumah itu,” (Shahih, HR Abu Dawud [3517], at-Tirmidzi [1368], Ahmad [V/8, 12, 13, 17, 18 dan 22], Ibnu Syaibah [VII/165), ath-Thayalisi [904], Ibnul Jarud [644], al-Baihaqi [VI/106], ath-Thabrani [6803 dan 6804], Ibnu Abi Hatim dalam ‘Ilalul Hadiits [I/480]).
Pihak yang menafikan adanya hak syuf’ah bagi tetangga menjawabnya dengan perkataan yang disebutkan oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (VIII/242), “Tidak ada disebutkan hak syuf’ah dalam hadits tersebut. Kemungkinan hak yang dimaksud adalah hak syuf’ah, dan kemungkinan makudnya adalah tetangga lebih berhak mendapat perlakuan baik dan mendapat bantuan. Seperti yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku punya dua orang tetangga, manakah yang lebih berhak aku beri hadiah?’ Rasulullah sa menjawab, ‘Yang paling dekat pintu rumahnya denganmu’,” (HR Bukhari [2259]).
Jika hak yang dimaksud adalah hak syuf’ah, maka kata al-jaar dalam hadits ini artinya adalah asy-syarik artinya rekan kongsi untuk menggabungkan dua hadits di atas. Kata al-jaar kadangkala digunakan untuk makn asy-syarik. Karena rekan kongsi lebih sering menyertainya daripada tetangga. Tetangga tidaklah tinggal bersamanya, adapun rekan kongsi bisa jadi tinggal bersamanya dalam satu tempat tinggal yang mereka miliki bersama. Buktinya lagi, Rasulullah saw mengatakan: “Lebih berhak!” Kata ini digunakan untuk seseorang yang paling berhak, tiada orang lain yang lebih berhak daripadanya. Dan rekan kongsi memiliki sifat dan kriteria seperti ini, ia lebih berhak daripada orang lain, dan tidak ada orang lain yang lebih berhak daripadanya.”
Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Baari (IV/438).
- Sebagian ahli ilmu berusaha menggabungkannya dengan hadits Jabir ra yang marfu’, berbunyi, “Tetangga lebih berhak dengan syuf’ah tetangganya, penetapan hak syuf’ah ditangguhkan apabila si tetangga sedang pergi, selama jalan milik keduanya masih kongsi (yakni bagiannya belum dipecah dan bagi-bagikan),” (Shahih, HR Abu Dawud [3518], at-Tirmidzi [1369], Ibnu Majah [2494], Ahmad [III/303]).
Ibnul Jauzi berkata dalam kitab at-Tanqiih, “Ketahuilah, hadits riwayat ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman derajatnya shahih. Tidak ada pertentangan antara haditsnya dengan hadits Jabir yang masyhur berbunyi, ‘Syuf’ah berlaku pada tiap-tiap sesuatu yang belum dibagi-bagikan. Namun apabila telah ditetapkan batas-batasannya dan sudah diatur jalan-jalannya, maka tidak ada lagi syuf’ah.’
Dan dalam hadits ‘Abdul Malik disebutkan, ‘Selama jalan milik keduanya masih kongsi.’
Dalam hadits Jabir tidak dinafikan adanya hak syuf’ah kecuali dengan syarat jalan-jalannya sudah diatur. Misalnya, ada dua orang yang berkongsi pada sebuah sumur atau rumah atau jalan, maka rekan kongsi lebih berhak kepada bagiannya berdasarkan hadits ‘Abdul Malik di atas. Jika keduanya tidak berkongsi pada sesuatu apapun, maka tidak ada hak syuf’ah , berdasarkan hadits Jabir yang masyhur tersebut.”
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (VI/82), “Padahal masih mungkin menggabungkan hadits Jabir yang akan datang dengan hadits, ‘Selama jalan milik keduanya masih kongsi.’ Hadits itu menunjukkan bahwa perkongsian tidak menunjukkan adanya hak syuf’ah kecuali bila jalannya masih satu (bagiannya belum dipecah), jadi bukan hanya sekedar adanya perkongsian. Tidak ada alasan bagi yang membawakan nash mutlaq kepada muqayyad dalam bab ini apabila meyakini keshahihan hadits di atas. Inilah pendapat yang dipilih -yakni adanya hak syuf’ah bagi rekan kongsi selama jalannya masih satu dan belum dipecah-pecah oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.
Apalagi pensyari’atan syuf’ah ini ditetapkan untuk mencegah terjadinya mudharat (kerugian). Dan hal itu umumnya terjadi pada sesuatu yang dimiliki bersama atau pada jalannya. Dan tidak ada kerugian atas tetangga yang tidak berkongsi pada tanah atau jalan, kecuali jarang sekali terjadi. Apabila sesuatu yang jarang terjadi ini dijadikan acuan, maka berkonsekuensi kepada penetapan adanya syuf’ah bagi tetangga padahal tidak tinggal berdampingan. Karena adanya kerugian baginya kedang kala terjadi walaupun jarang. Misalnya terhalang dari sinar matahari, terlihat aurat (isi dalam rumah) dari sebelah atau sejenisnya, seperti bau busuk yang mengganggu, suara gaduh atau mendengar sebagian kemungkaran. Tidak ada seorang pun yang menetapkan hak syuf’ah bagi yang mengalami hal-hal tersebut di atas. Kerugian yang tergolong jarang terjadi tidak dapat dijadikan ukuran. Karena syari’at mengaitkan hukum kepada perkara-perkara yang biasa terjadi. Meskipun kata al-jaar hanya digunakan untuk orang-orang yang tinggal berdampingan tanpa terikat perkongsian, namun harus dibatasi pengertiannya apabila jalannya masih kongsi. Kesimpulannya, Tidak ada hak syuf’ah hanya karena perjiranan atau perkongsian, dan itulah yang benar.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/301-304.