Larangan Memisahkan Budak Wanita dari Anaknya atau Memisahkan Dua Saudara dari Kalangan Budak

Dari Abu Ayyub r.a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memisahkan budak wanita dari anaknya, maka Allah akan memisahkannya dari pada kekasihnya pada hari Kiamat,” (Shahih lighairihi, HR at-Tirmidzi [1283 dan 1566], Ahmad [V/413], al-Hakim [II/55], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [4080], al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihaab [456], ad-Daraquthni [III/67], al-Baihaqi [IX/126]).

Dari ‘Ali, ia berkata, “Dibawa pada tawanan kepada Rasulullah saw, beliau memerintahkanku untuk menjual dua bersaudara lalu aku menjualnya dan memisahkan antara keduanya. Sampailah berita kepada Rasulullah, beliau berkata, ‘Carilah keduanya dan satukan kembali lalu juallah keduanya bersama-sama dan janganlah dipisahkan antara keduanya’,” (Shahih, HR Ahmad [I/97-98, 126-127], ad-Daraquthni [III/65-66], al-Hakim [II/54 dan 125] dan Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa [575]).

Terdapat beberapa riwayat yang semakna dengannya dari Abu Musa al-Asy’ari, Anas bin Malik dan Abu Sa’id al-Khudri ra dengan sanad yang tidak terlepas dari pembicaraan. Akan tetapi semuanya menguatkan hadits-hadits dalam bab di atas.

Kandungan Bab:

  1. At-Tirmidzi berkata (III/580), “Sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat dan lainnya memakruhkan penjualan para tawanan dengan memisahkan di antara mereka. Sebagian ahli ilmu membolehkan pemisahan antara anak beranak yang lahir di negeri Islam, pendapat pertama lebih shahih.”

    Beliau melanjutkan (IV/134), “Inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu dari kalangan Sahabat Nabi dan yang lainnya. Mereka memasukkan pemisahan antara tawanan, memisahkan ibu dari anaknya, anak dari orang tuanya dan seseorang dari saudara-saudaranya.” 

  2. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/212), “Berdasarkan nash yang ada diharamkan memisahkan seseorang dari saudara-saudaranya. Adapun karib kerabat selain mereka maka penyertaannya melalui qiyas masih perlu ditinjau lagi. Sebab tidak ada keberatan akibat memisahkan mereka sebagaimana yang terjadi akibat memisahkan antara orang tua dari anaknya atau seseorang dari saudara-saudaranya. Dan tidak boleh disamakan bila memang berbeda. Dan harus berhenti pada batas yang telah disebutkan dalam nash dan zhahir hadits yaitu diharamkan pemisahan baik dengan menjualnya atau dengan cara lain yang dapat mengakibatkan kesulitan yang sama dengan kesulitan pemisahan karena menjualnya, kecuali pemisahan yang berada di luar kuasanya seperti terpisah karena pembagian (ghanimah).”

    Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam Zaadul Ma’ad (III/114), “Beliau saw. melarang pemisahan para tawanan antara ibu dari anaknya (lalu Ibnul Qayyim) menyebutkan hadits Abu Ayyub). Pernah dibawakan kepada beliau sejumlah tawanan, beliau memberikan tawanan itu kepada satu keluarga supaya tidak memisahkan mereka.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/278-279.