Larangan Menjual Ummu Walad

Dari Khawwat bin Jubair r.a, ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal dan menitipkan wasiat kepadaku. Di antara wasiatnya adalah ummu walad miliknya dan seorang perempuan yang merdeka. Lalu terjadilah pertengkaran antara ummu walad dengan perempuan itu. Perempuan itu berkata, “Hai Lak’a’ (si buruk) besok ditarik telingamu ke pasar untuk dijual.” Disampaikanlah perkataannya itu kepada Rasulullah saw. dan beliau berkata, “Ummu walad tidak boleh dijual,” (Hasan, HR ath-Thabrani dalam al-Kabiir [4147] dan al-Baihaqi [X/345]).

Kandungan Bab: 

  1. Haram hukumnya menjual ummu walad, yaitu budak wanita yang dicampuri oleh tuannya lalu memperoleh anak dari hasil pencampuran tersebut. 
  2. Disebutkan penjualan ummu walad dalam riwayat yang shahih pada masa Rasulullah saw, diriwayatkan dari Jabir r.a, “Kami menjual ummu walad sementara Rasulullah saw masih hidup di tengah kami dan kami menganggapnya tidak jadi masalah,” (Shahih, HR ‘Abdurrazzaq [13211] dan al-Baihaqi [X/348]).

    Dalam riwayat lain disebutkan, “Kami menjual ummu walad pada masa Rasulullah saw. dan Abu Bakr r.a. Pada masa ‘Umar, beliau melarang kami dan kami pun menghentikannya,” (Shahih, HR Abu Dawud [3954], al-Hakim [II/18-19] dan al-Baihaqi [X/347]). 

  3. Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini:
    1. Hadits-hadits yang membolehkan tidak menunjukkan bahwa Nabi mengetahui dan menyetujuinya, demikian dikatakan oleh al-Baihaqi. 
    2. Kemungkinan jual beli ummu walaq pada awalnya dibolehkan kemudian dilarang oleh Rasulullah saw. 
  4. Pendapat terpilih adalah pengharaman jual beli ummu walad berdasarkan alasan berikut ini:
    1. Syaikh al-Albani berkata dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (V/544), “Larangan ini bersesuaian dengan sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa budak wanita dimerdekakan karena anaknya (yang lahir hasil percampuran dengan tuannya). Meskipun hadits-hadits tersebut pada asalnya lemah namun minimal layak diangkat sebagai syawahid (penguat).” Kemudian beliau menyebutkan beberapa di antaranya. 
    2. Al-Baihaqi (X/348), “Kemungkinan ‘Umar r.a. mendengar nash dari Rasulullah saw. tentang hukum membebaskan ummu walad setelah kematian tuannya. Lalu beliau dengan Sahabat lainnya sepakat mengharamkan jual beli ummu walad. Dan kemungkinan juga beliau dan lainnya berdalil dengan sejumlah riwayat yang sampai kepada kita dan diriwayatkan dari Rasulullah saw. yang berisi perintah untuk memerdekakan ummu walad (setelah kematian tuannya). Lalu beliau dengan yang lainnya sepakat mengharamkan jual beli ummu walad. Maka kita lebih utama mengikuti mereka dalam perkara yang mereka sepakati sebelum terjadinya perselisihan disertai argumentasi dengan Sunnah Nabi, wallaahu a’lam.”

    Syaikh al-Albani (V/545), “Inilah pendapat yang lebih menenteramkan jiwa dan melegakan hati. Secara keseluruhan menunjukkan keshahihan hadits bab ini, wallaahu a’lam.”

    Saya katakan, “Ini merupakan nafas ilmiah yang dinukil dari seorang Tabi’in bernama ‘Abidah as-Salmani, ia berkata, Aku mendengar ‘Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, ‘Pendapatku dan pendapat ‘Umar sama dalam masalah larangan menjual ummu walad.’ Kemudian sesudah itu aku berpendapat boleh menjualnya. ‘Abidah berkata, ‘Pendapat Anda (‘Ali) dan pendapat ‘Umar dalam jama’ah lebih aku sukai daripada pendapat anda pribadi yang menyelisihi jama’ah’.” ‘Ali r.a. tersenyum mendengar penuturannya, (Shahih, HR ‘Abdurrazzaq [13224] dan al-Baihaqi [X/348]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/276-278.