Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sebelum matang dan jangan pula dijual sesuatu daripadanya kecuali dengan dinar atau dirham, kecuali ‘araya[1] ,” (HR Bukhari [2189] dan Muslim [1536]).
Masih dari Jabir r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sebelum matang. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana matangnya?’ Rasulullah menjawab, ‘Hingga warnanya memerah atau menguning dan dapat dimakan,’ (HR Bukhari [2196]).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang jual beli buah-buahan hingga terlihat baik (matang atau masak buahnya), beliau melarang penjual maupun pembeli, (HR Bukhari [21] dan Muslim [1534]).
Masih dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang menjual buah kurma sebelum matang. Dan melarang menjual gandum sebelum memutih dan aman dari penyakit. Rasulullah saw. melarang penjual maupun pembeli, (HR Muslim [1535]).
Dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang menjual buah kurma sebelum matang, (HR Bukhari [2195]).
Masih dari Anas r.a. dari Rasulullah saw, bahwa beliau melarang jual beli buah-buahan sebelum kelihatan baiknya dan melarang jual beli buah kurma sebelum masak. Ada yang bertanya, “Bagaimana masaknya?” Rasulullah berkata, “Memerah atau menguning,” (HR Bukhari [2197]).
Masih dari Anas r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang menjual buah sebelum matang. Ada yang bertanya, “Apa itu matang?” Beliau menjawab, “Yaitu memerah warnanya.” Rasulullah berkata, “Bagaimana menurutmu bila Allah mencegah kematangan buah tersebut lalu atas dasar apa ia mengambil harta saudaranya sesama Muslim?” (HR Bukhari [2198] dan Muslim [1555]).
Masih dari Anas ra, bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli kurma sebelum masak, melarang menjual biji-bijian sebelum matang dan melarang menjual buah anggur sebelum menghitam (yakni sebelum masak betul), (Shahih, HR Abu Dawud [3371], at-Tirmidzi [1228], Ibnu Majah [2217], Ahmad [III/221 dan 250], Ibnu Hibban [4993], al-Baghawi [2082], ad-Daraquthni [III/47-48], al-Hakim [IV/19], al-Baihaqi [V/301]).
Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menjual buah-buahan sebelum terlihat baiknya (matangnya),” (HR Muslim [1538]).
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sehingga layak dimakan,” (Shahih, HR ‘Abdurrazzaq [14318] ad-Daraquthi [III/14-15), al-Baihaqi [V/302] dan Ibnu Hibban [4988]).
Kandungan Bab:
- Tidak boleh menjual buah yang masih berada di pohonnya hingga terlihat baiknya, karena dikhawatirkan rusak karena terserang penyakit karena masih kecil (pentil) dan lemah. Jika ternyata rusak, maka si pembeli tidak mendapat apa-apa dari uang yang telah diserahkannya kepada penjual. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam hadits Anas, “Bagaimana menurutmu bila Allah mencegah kematangan buah tersebut lalu atas dasar apa ia mengambil harta saudaranya sesama Muslim?”
Rasulullah melarang penjual agar ia tidak mengambil harta pembeli kecuali dengan ganti sesuatu yang dapat diserahkannya secara utuh kepada pembeli. Dan beliau juga melarang pembeli agar hartanya tidak terancam hangus dan hilang, (Syarhus Sunnah [VIII/96]).
- Perkataan Zaid bin Tsabit r.a, “Orang-orang pada zaman Rasulullah dulu melakukan jual beli buah-buahan. Manakala orang-orang banyak bertengkar dan beliau menengahi pertengkaran mereka, para pembeli beralasan: buah ini busuk, buah ini terserang penyakit, buah ini cacat -yaitu penyakit dan cacat yang mereka jadikan alasan-. Ketika sudah banyak sekali pertengkaran dalam masalah ini Rasulullah saw berkata, ‘Kalau begitu jangan lakukan jual beli seperti itu! Janganlah berjual beli buah-buahan hingga terlihat baiknya’.”
Perkataan beliau itu merupakan saran karena banyaknya pertengkaran di antara mereka karenanya, (HR Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq).
Hadits ini menjelaskan sebab jatuhnya larangan dan memalingkan hukum larangan tersebut kepada makruh tanzih, wallaahu a’lam.
- Al-Baghawi berkata (VIII/96), “Batasan terlihat baiknya pada ruthab (buah kurma yang basah) adalah ruthab tersebut sudah menjadit busr (mengkal) yaitu terlihat bintik merah dan hitam pada buahnya. Pada buah persik, buah pir, mismis dan apel adalah buahnya sudah terlihat baik dan layak dimakan. Pada buah semangka adalah sudah terlihat padanya tanda-tanda masak (matang). Pada buah timun dan terong adalah ukurannya besar dan biasanya mudah dipetik. Apabila sebagian dari buah-buahan dalam kebun yang sudah terlihat baiknya, maka boleh menjual seluruhnya dengan syarat jenisnya sama.”
- Al-Baghawi berkata (VIII/96), “Adapun bila ia menjualnya dengan syarat buahnya dapat dipetik, maka dibolehkan berdasarkan kesepakatan fuqaha’.”
Saya katakan, “Sudah barang tentu klaim adanya kesepakatan terlalu ceroboh. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fathul Baari (IV/394) telah menukil pendapat dari Ibnu Abi Laila dan ats-Tsauri yang membatalkan syarat seperti itu secara mutlak.
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/277), “Ketahuilah bahwa zhahir hadits-hadits bab ini dan yang lainnya adalah larangan menjual buah sebelum terlihat baiknya. Jual beli yang terjadi dalam kondisi seperti itu dianggap bathil (tidak sah) karena adanya larangan. Barangsiapa mengklaim bahwa syarat buahnya bisa dipetik dapat mengesahkan jual beli buah-buahan sebelum terlihat baik, maka klaimnya tersebut butuh dalil yang dapat mengkhususkan hadits-hadits larangan. Klaim adanya ijma’ (kesepakatan) dalam masalah ini tidak dapat dianggap sah karena menurut pendapat kelompok pertama syarat seperti itu hukumnya bathil. Pihak yang membolehkan syarat petik tadi beralasan dengan ‘illat hukum yang mereka ambil sebagai pengkhususkan larangan tersebut. Namun, hal semacam itu tiada berfaidah bagi pihak yang tidak membolehkan meninggalkan nash-nash syar’i hanya karena dugaan kosong dan syubhat lemah yang mudah patah dengan sedikit keraguan. Pendapat yang benar adalah pendapat kelompok pertama yang tidak membolehkannya secara mutlak.”
—————————–
[1] Araya adalah seseorang (A) meminjam pohon-pohon miliknya kepada orang lain (B) dengan catatan si peminjam (B) boleh mengambil buahnya untuk satu musim atau beberapa musim. Buah-buahan yang masih segar (belum kering) hasil dari pohon-pohon yang dipinjamkan itu boleh si peminjam (B) jual kepada pihak yang meminjamkannya (A) buat dibayar dengan buah yang sudah kering batasnya adalah lima wasaq, tujuannya agar yang meminjamkan (A) dapat menikmati buah yang masih segar.Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/255-258