Larangan Menjual Makanan Sebelum Dipegang

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjual makanan, maka janganlah ia menjualnya sebelum ia pegang (ia ambil atau ia angkat),” (HR Bukhari [2135] dan Muslim [1526]).

‘Abdullah bin ‘Abbas berkata, “Menurutku semua barang hukumnya juga sama seperti itu.”

Masih dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, bahwa Rasulullah saw. melarang menjual makanan sehingga dipegang (diambil atau diangkut), (HR Bukhari [2132]).

Thawus berkata, “Aku bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Apa maksudnya?’ Beliau berkata, ‘Itu sama saja dengan dirham dijual dengan dirham, sedang penyerahan barangnya (makanan) ditangguhkan’,”

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjual makanan, maka janganlah ia menjualnya sehingga ia mengambil dan memegangnya (membawanya),” (HR Bukhari [2133 dan 2136] dan Muslim [1526]).

Masih dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Dahulu kami menjual makanan dengan taksiran. Lalu Rasulullah saw. melarangnya sehingga kami memindahkannya dari tempatnya,” (HR Muslim [1529]).

Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Apabila engkau menjual makanan, maka janganlah engkau jual sebelum engkau pegang (engkau ambil atau engkau angkat) makanan tersebut,” (HR Muslim [1527]).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Pada zaman Nabi dulu mereka membeli makanan dengan taksiran dan langsung menjualnya di tempat itu juga sebelum dipindahkan,” (HR Bukhari [2131] dan Muslim [1527]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Seorang laki-laki dari negeri Syam datang dengan membawa minyak samin. Lalu aku termasuk salah seorang yang menawar minyak itu di samping beberapa pedagang lainnya hingga akhirnya akulah yang membeli minyak samin itu darinya. Lalu seorang pemuda mendatangiku dan menawar minyak samin itu dengan harga yang tinggi sehingga ia membuatku tergiur menjualkannya kepadanya. Akupun segera mengadakan transaksi dengannya. Tiba-tiba seorang laki-laki menarik lenganku dari belakang. Aku menoleh kepadanya ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit r.a. Ia berkata kepadaku, ‘Janganlah engkau menjualnya hingga engkau membawanya ke rumahmu. Karena Rasulullah saw. melarangnya.’ Maka aku pun membatalkan transaksi tersebut,” (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [3499], Ahmad [V/191], Ibnu Hibban [4984], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [4782 dan 4783], al-Hakim [II/40], al-Baihaqi [V/314]).

Dari al-Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Aku membeli makanan yang berasal dari harta shadaqah. Aku memperoleh keuntungan dari penjualannya sebelum aku memegangnya. Aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan hal itu kepada beliau. Rasulullah saw. berkata, “Janganlah engkau menjualnya sebelum engkau pegang (engkau ambil atau engkau bawa),” (Shahih, HR an-Nasa’i [VII/286], Ibnu Abi Syaibah [VI/365-366], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [3110], Ibnu Hibban [4985]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya menjual makanan yang baru dibeli sebelum dipegang dan dipindahkan ke tempatnya (rumahnya atau gudangnya).

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/107), “Ahli ilmu sepakat bahwa barangsiapa membeli makanan, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum ia memegangnya.” 

  2. Para ahli ilmu berbeda pendapat apakah larangan tersebut dibatasi untuk makanan yang ditakar atau berlaku mutlak? Pendapat yang benar, takaran sama dengan taksiran. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra yang secara jelas menegaskan larangannya. 
  3. Para ahli ilmu juga berbeda pendapat mengenai barang-barang dagangan lain selain makanan apakah hukumnya seperti makanan ataukah tidak?

    Sejumlah ulama berpendapat bahwa barang-barang lain selain makanan hukumnya sama tidak ada beda antara makanan, barang dagangan dan perabotan atau rumah/tanah. Barang harus dipegang sebelum dijual kembali. Hal itu dapat diketahui dengan jelas dari perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, “Menurutku barang-barang yang lain juga seperti itu juga hukumnya.”

    Itu merupakan qiyas yang shahih, menunjukkan bahwa Sahabat adalah orang yang paling mengetahui maksud Rasulullah saw. Apalagi ditegaskan dalam sejumlah riwayat yang marfu’ dari Rasulullah saw, di antaranya:

    1. Hadits al-Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, aku baru saja membeli barang. Apa saja yang halal aku lakukan terhadap barang itu dan apa saja yang haram?’ Rasulullah saw berkata, “Wahai saudaraku, jika engkau telah membeli sebuah barang janganlah engkau menjualnya sehingga engkau memegangnya,” (Shahih, HR Ahmad [III/402], ‘ Abdurrazzaq [14214], Ibnul Jarud [602], ath-Thayalisi [1318], IbnuHibban [4983], ad-Daraquthni [III/9] dan al-Baihaqi [V/313]). 
    2. Hadits Zaid bin Tsabit r.a, bahwasanya RasuluUah saw. melarang menjual barang yang baru dibeli sehingga para pembelinya memindahkan barang tersebut ke tempat mereka, (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [3499], ad-Daraquthni [III/13]). 
  4. Menjual barang sebelum dipegang dan dimiliki termasuk riba, dalilnya adalah pertanyaan Thawus kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, “Mengapa hal itu dilarang?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Bukankah engkau lihat mereka berjual beli emas dan makanan dengan penangguhan?” 
  5. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (TV/350), “Menurut asy-Syafi’i bentuk serah terima barang ada beberapa bentuk: Barang-barang yang bisa dipegang (diambil atau diangkat/dibawa), seperti dinar dan dirham (uang kertas atau uang logam) atau pakaian, maka bentuk penyerahan barangnya adalah dengan mengambilnya (membawanya). Dan barang-barang yang tidak dapat dipindahkan (tidak dapat dibawa) seperti rumah dan buah-buahan di atas pohon, maka bentuk serah terima barang adalah dengan takhliyah (pengosongan). Dan barang-barang yang biasanya bisa dipindahkan seperti kayu, biji-bijian atau hewan, maka serah terimanya adalah dengan memindahkannya ke tempat lain yang tidak berada di bawah kuasa si penjual.”

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/109), “Kemudian serah terima barang berbeda menurut bentuk barangnya. Apabila barang tersebut tidak dapat diangkut (dipindahkan), seperti tanah, rumah atau pepohonan (yang tertancap di tanah), maka serah terimanya adalah si penjual melepas barang tersebut kepada si pembeli dalam keadaan kosong tanpa ada pembatas. Jika barang itu dapat dipindahkan, (maka serah terimanya dengan diangkut/diangkat ke tempat pembeli). Bila barang itu sesuatu yang ringan, maka serah terimanya adalah dengan dipegang atau diterima oleh si pembeli. Jika barang itu berupa hewan, maka dibawa (digiring) ke tempat si pembeli. Jika barang itu berupa makanan yang dibeli dengan taksiran, maka harus dipindahkan dari tempat transaksi tersebut.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/250-253