Larangan Menjual Makanan Hingga Dilakukan Dua Kali Penimbangan

Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual makanan hingga dilakukan dua kali penimbangan (penakaran), penimbangan (penakaran) dari penjual dan penimbangan dari pembeli,” (Hasan lighairihi, HR Ibnu Majah [2228], ad-Daraquthni [III/8], al-Baihaqi [V/316]).

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menjual makanan hingga dilakukan dua kali penimbangan (penakaran), si penjual boleh menambah timbangan (penakaran) dan dia harus menanggung kekurangannya,” (Hasan, HR al-Baihaqi [V/316]).

Kandungan Bab:

  1. Al-Baghawi berkata (VIII/109), “Jika ia membeli makanan yang ditakar dan ditimbang, maka serah terimanya adalah mengangkat makanan tersebut setelah ditakar dan ditimbang. Jika ia mengangkatnya dengan taksiran, maka serah terimanya dianggap tidak sah. Dan Ia bertanggung jawab atas makanan tersebut, ia tidak boleh menggunakannya sehingga ditimbang atau ditakar oleh si penjual. Demikian pula andaikata ia membeli makanan yang ditakar lalu ia mengambilnya dengan ditimbang atau ia membeli makanan yang ditimbang lalu ia mengambilnya dengan ditakar, maka serah terimanya dmyatakan tidak sah. Andaikata Ia membeli makanan yang ditakar (ditimbang) lalu ia mengambilnya kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain dengan ditakar juga, maka ia tidak boleh menyerahkan makanan tersebut kepada orang itu dengan takaran (timbangan) yang pertama, ia harus menakarnya (menimbangnya) kembali untuk orang yang membeli darinya.”

    Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/260),”Hadits-hadits di atas menjadi dalil bahwa siapa saja yang membeli sesuatu yang ditakar lalu ia mengambilnya kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain, ia tidak boleh menyerahkannya kepada si pembeli (tangan kedua) dengan takaran yang pertama (takaran sewaktu ia membelmya dari tangan pertama) sehingga la menakarnya kembali. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Jumhur ulama.

    Zhahirnya, pendapat yang dipilih oleh Jumhur ulama tanpa membedakan bentuk jual beli yang satu dengan yang lainnya berdasarkan hadits-hadits yang disebutkan dalam bab ini. Secara keseluruhan hadits-hadits tersebut menetapkan hujjah. Hal itu berlaku bila jual beli itu dalam bentuk takaran adapun bila dalam bentuk taksiran, maka si pembeli boleh menjualnya lagi kepada orang lain tanpa terikat dengan takaran tersebut.” 

  2. Jual beli dalam bentuk taksiran dibolehkan berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. dalam bab terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata dalam kitab Fathul Baari (IV/351), “Dalam hadits ini terdapat dalil dibolehkannya menjual shubrah (tumpukan/timbunan barang) dengan taksiran meskipun si penjual mengetahui ukurannya ataupun tidak.”

    Ibnu Qudamah berkata, “Dibolehkan menjual shubra (tumpukan/timbuhan barang) dengan taksiran, kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat dalam masalah ini apabila si penjual dan si pembeli tidak dapat memastikan ukurannya.”

    Aku katakan, “Akan tetapi dengan Syarat barang yang ditaksir tersebut dibawa (diangkut) dari tempat transaksi.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/253-255