Dakwah Jahriyyah

Tiga tahun berlalu, masa dakwah rahasia dan perorangan. Dalam masa itulah terkumpul kelompok orang-orang beriman yang memenuhi seruan dakwah Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian setelah itu, turunlah perintah untuk berdakwah secara terang-terangan dan diperintahkan untuk mengumumkan bahwa beliau adalah Nabi yang diutus. Walaupun demikian, beliau tetap merahasiakan nama-nama sahabat-sahabat beliau, termasuk merahasiakan bagaimana awal mula mereka menjadi pengikut beliau, semua itu tetap dirahasiakan demi menjaga kemanan mereka dari siksaan orang-orang kafir.

Ayat yang pertama diturunkan untuk misi dakwah terang-terangan adalah firman Allah ta’alaa,

..Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214)

Dari Aisyah Radliyallahu ‘anhaa berkata, “Setelah ayat ‘Dan berikanlah peringatan kepada kerabat dekatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meresponnya dengan berkata, ‘Wahai Fatimah binti Muhammad, Wahai Shafiyyah binti Abdul Muthallib, wahai Bani Abdul Muthallib, saya tidak bisa menyelamatkan kalian dari adzab Allah dan mintalah jika kalian inginkan apa saja dari harta saya.’”

Buku-buku sirah menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kerabat dekat beliau dari Banu Hasyim dan Banu Abdul Muthallib dalam sebuah undangan pesta, di antaranya yang hadir adalah Abu Lahab. Abu Lahab terlebih dahulu berbicara sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, Abu Lahab berkata, “Mereka yang hadir di sini adalah paman-paman kamu dan anak-anak paman kamu, maka silahkan bicara wahai Muhammad dan tinggalkanlah anak-anak kecil dan ketahuilah bahwa tidak dari kaummu yang mampu menghadapi kekuatan Arab, dan sayalah orang yang paling berhak untuk menghukummu, dan cukuplah untukmu pembelaan dari kabilah ayahmu. Namun, apabila kamu tetap dalam pendirianmu, maka mereka lebih mudah untuk bersatu padu menyerangmu, dan dibantu oleh kabilah Arab lainnya untuk mengeroyokmu. Aku tidak pernah mengetahui ada orang yang membawa ajaran yang lebih buruk daripada apa yang kamu bawa ke kabilah ayahmu.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam saja dan tidak berkata sepatah kata pun dalam majelis itu. Kemudian beliau pada kesempatan lain, kembali memanggil mereka, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah, saya memuji kepada-Nya, dan saya memohon perlindungan kepada-Nya, saya beriman kepada-Nya dan saya bertawakkal kepada-Nya, saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya.”

Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya orang yang baik tidak akan membohongi keluarganya dan demi Allah yang tiada ilah kecuali Allah, sesungguhnya saya adalah Rasulullah yang diatas kepada kalian secara khusus dan kepada manusia secara umum, demi Allah suatu saat kalian pasti mati seperti kalian tidur dan kalian pasti dibangkitkan seperti kalian bangun dari tidur, dan kalian akan dihisab terhadap apa yang kalian lakukan, dan setelah itu hanya ada dua tempat kembali, surga selama-lamanya atau neraka selama-lamanya.

Berkatalah Abu Thalib, “Kami sangat suka menolongmu, dan kami telah menasihatimu, kami sangat mempercayai ucapanmu, dan mereka itu adalah kabilah dari ayahmu telah berkumpul semua, dan saya hanyalah seorang dari mereka, tetapi sayalah yang paling merespon terhadap apa yang kamu inginkan, maka lakukanlah apa yang diperintahkan kepada kamu, demi Allah saya akan selalu menjagamu dan membelamu, tetapi secara prinsip saya tidak mungkin meninggalkan agam nenek moyangmu, Abdul Muthallib.”

Berkatalah Abu Lahab, “Demi Allah, ini adalah masalah besar, maka selesaikanlah dia sebelum orang lain yang menyelesaikannya.” Abu Thalib berkata, “Demi Allah, kami akan membelanya sampai titik darah yang terakhir.”

Ibnul-Qayyim Rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara rahasia selama tiga tahun, kemudian diturunkan kepada beliau,

Maka sampaikanlah secara terang-terngan segala apa yang diperintahakan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu).’ (Al-Hijr: 94-95)

Oleh karena itu, beliau mengumumkan dakwahnya dan pada saat itu, kaumnya pula yang memulai perlawanan dan permusuhan secara terang-terangan, dan rintangan serta tantangan semakin bertambah atasnya dan atas umat Islam.”

Hikmah yang bisa dipetik:

  1. Baik dakwah secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, semuanya berpegang pada satu tujuan, yaitu untuk menyatukan umat manusia dengan kalimat tauhid, yakni hati tidak tergantung, kecuali hanya kepada Allah, seseorang tidak akan mendapatkan manfaat hanya dengan kehebatan kabilahnya ataupun keluarganya. Semua ini adalah bentuk pengarahan manusia untuk hanya mengesakan Allah, beribadah hanya untuk Allah, dan itu adalah masalah yang prinsip, karena masuk ke dalam area akidah yang maksudnya adalah menetapkan hak ubudiyyah hanya milik Allah. Ibnul-Qayyim Rahimahullah berkata, “Setiap yang akidahnya mantap, maka ampunan Allah baginya juga akan lebih sempurna. Siapa yang datang menemui Allah dan tidak mempersekutukan kepada-Nya sedikit pun, maka Allah akan mengampuni segala dosa-dosanya bagaimanapun bentuknya, dan Allah tidak akan mengadzabnya karena dosa-dosanya tersebut.”
  1. Memulai dari kerabat dekat walaupun pada hakikatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah milik umat, untuk menunjukkan tingkat tanggug jawab setiap individu. Karena seseorang akan bertanggung jawab tentang keluarganya, anak-anaknya dan istrinya, orang tuanya, dan kerabat dekatnya.
  2. Allah menggunakan kalimat Qum Faandzir dan pada ayat lain Waandzir asyirotaka. Begitu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengumpulkan keluarga beliau, beliau berkata, “Inni lakum Nadziirun.” Bahwa seorang da’i harus mengingatkan manusia tentang dahsyatnya adzab di akhirat dan hari perhitungan.
  3. Sebagian anak muda kaum muslimin terkadang kurang bangga dengan agamanya. Mereka malu menyebut nama Allah ketika berada dalam majelis, bahkan malu bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnul-Qayyim Rahimahullah setelah membagi manusia ke dalam empat macam, beliau berkata, “Seorang yang dekat dengan Allah, baik ketika sendirian ataupun bersama orang banyak, maka itulah orang yang jujur dan cinta Allah. Seseorang yang kelihatan shalih bila bersama orang banyak dan kehilangan keshalihan tatkala sendirian, maka itu adalah orang yang sakit dan siapa yang kehilangan keshalihan, baik ketika sendirian ataupun dengan orang banyak, maka itulah orang yang telah mati dan terabaikan. Namun, bagi orang yang hilang keshalihan ketika bersama orang lain dan menemukan keshalihan itu ketika sendirian, maka orang tersebut adalah orang jujur yang lemah.”
  1. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kaumnya dengan naik ke bukit Shafa. Beliau menyeru dengan berkata, “Waa shabaahah.” (Duhai pagi yang bahaya) yang merupakan kebiasan orang Arab jahiliyyah. Namun kebiasaan Arab jahiliyyah, selain mengucapkan kalimat tersebut, mereka juga melepas pakaiannya dan menaburkan debu di atas badan mereka agar seluruh manusia berkumpul di sekitarnya, dan setelah itu barulah mereka memberitahukan malapetaka yang akan menimpa mereka. Namun berbeda dengan Rasulullah. Beliau tidak menanggakan pakaian beliau dan tidak menaburkan debu di atasnya. Beginilah semestinya seorang muslim. Mengambil apa yang baik dari orang lain yang tidak bertentangan dengan agama dan meninggalkan apa yang bertentangan dengan agama. Artinya, ukuran untuk mengambil hikmah dari orang lain adalah harus dengan ukuran seperti itu, tidak mengambil sikap tertutup sama sekali dari mengambil kebaikan (budaya) orang lain, atau tidak juga terbuka selebar-lebarnya dan mengambil seluruh apa yang berasal dari (budaya) orang lain, tetapi mesti berada dalam posisi pertengahan, mengambil yang baik dan meninggalkan yang tidak baik.
  1. Allah ta’alaa berfirman, “Kamilah yang mencukupkan kamu dari segala yang memperolok-olokmu.” Kemudian diakhiri dengan kalimat, “Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat).” (Al-Hijr: 95-98) Ayat ini menunjukkan bahwa hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terasa sempit dan tertekan dengan kata-kata mereka yang pedas itu dalam menentang agama, dan Allah memberikan jalan keluar dengan firman-Nya tersebut. Oleh karena itu, apabila hati merasa sempit, maka bertasbihlah. Dan ini juga merupakan terapi bagi setiap yang merasakan kegundahan hati dalam menghadapi problematika kehidupan ini.

Sumber: Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, “Fiqh Sirah Nabawiyyah”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016