Permulaan Wahyu

Dari Aisyah, Ummul Mukminin Radliyallahu ‘anhaa berkata, “Wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi yang benar dalam tidur. Beliau tidak melihat mimpi, kecuali datang seperti fajar Shubuh, kemudian setelah itu, beliau suka menyendiri di gua Hira. Beliau bertahannuts di dalamya, beribadah selama beberapa malam. Sebelum meninggalkan keluarga beliau, beliau membawa bekal, kemudian kembali kepada Khadijah Radliyallahu ‘anhaa, kemudian membawa bekal lagi untuk berikutnya. Itu terus berulang hingga datanglah kebenaran dalam kondisi beliau berada dalam gua Hira.

Hikmah yang bisa dipetik:

  1. Jibril memeluk dengan keras Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai tiga kali. Dari kejadian itu, Syuraih al-Qadhi mengambil kesimpulan bahwa seseorang tidak boleh memukul anak untuk belajar al-Qur’an lebih dari tiga kali, sebagaimana Jibril hanya memeluk dengan keras yang menyebabkan tersesak hanya tiga kali.
  2. Ilmu adalah inti dari agama ini, wahyu dimulai dengan kata “Bacalah!”. Hal yang menakjubkan adalah, surat ini yang datang sebagai pembuka wahyu dimulai dengan perintah untuk membaca dan diakhiri dengan perintah untuk bersujud. Hal tersebut untuk menunjukkan pentingnya membaca dan pentingnya bersujud. Di antara kandungan surat itu adalah tentang shalat, setiap rakaat yang dilakukan oleh setiap muslim dimulai dengan bacaan dan diakhiri dengan sujud, seperti surat Iqra’ yang diawali dengan perintah membaca dan diakhiri dengan perintah bersujud, itu karena besarnya kedudukan dua masalah ini dalam Islam. Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata, “Pekerjaan yang paling mulia dalam shalat adalah sujud, dan dzikir yang paling mulia dalam shalat adalam membaca (bacaan-bacaan yang disyariatkan), dan surat yang pertama diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan satu rakaat yang sempurna, diawali dengan membaca dan diakhiri dengan sujud.
  1. Ketika wahyu dimulai dengan anjuran untuk membaca, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa membaca dan menulis. Semua itu menunjukkan bahwa al-Qur’an bukan buatan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab pentingnya membaca dan menulis tidak mungkin beliau munculkan dari awal dakwah beliau, jika memang al-Qur’an itu berasal dari diri beliau dan buatan beliau sendiri, sebab beliau tidak pandai membaca dan menulis.
  2. Disandingkannya perintah membaca dengan nama Allah memberikan isyarat bahwa ilmu harus dibarengi dengan keimanan dan ilmu yang benar adalah yang bisa mengantarkan kepada keimanan.
  3. Rasulullah datang menemui Khadijah Radliyallahu ‘anhaa dalam kondisi tegang dan takut, tetapi langkah awal yang dilakukan Khadijah bukan mengejar dengan pertanyaan dan meminta penjelasan secara rinci, tetapi langkah paling pertama yang beliau lakukan adalah menenangkan sang suami. Orang yang sedang panik tidak pantas ditanyai sesuatu hingga hilang ketakutannya, Imam Malik berkata, “Orang yang ketakutan tidak sah jual belinya, Ikrarnya, dan yang lainnya.”
  4. Seorang yang menghadapi masalah mestinya tidak dirahasiakan sendiri, dan dianjurkan agar membicarakannya kepada orang yang dia percayai untuk bisa memberikan masukan dan pandangan, hal itu dimaksudkan untuk; Pertama, melegakan jiwa. Karena masalah yang dipendam akan terasa berat dalam jiwa dan akan mengambil porsi yang lebih banyak dari yang semestinya. Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan segera menyelesaikan masalahnya melalui cara bercerita kepada istri beliau, Khadijah Radliyallahu ‘anhaa agar ia terlibat dalam memikul beban masalah itu dan bersama dalam mencari jalan keluarnya. Manfaat yang kedua, mengambil pelajaran dari nasihat orang yang dijadikan tempat mencurahkan isi hati. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang bercerita, kecuali kepada orang yang baik dan terpercaya dan dapat memberikan masukan. Lebih baik lagi seorang manusia mengembalikan masalahnya kepada Allah Yang Maha Mendengar, Melihat, dan memiliki segala solusi.
  5. Dianjurkan untuk memberikan jalan keluar bagi yang mendapatkan masalah dalam kehidupannya, menyebutkan sebab-sebab yang bisa menyelamatkan dari masalah itu. Sebagaimana dalam kisah Musa ‘Alaihissalaam dengan seorang penduduk Madyan. Dia datang dalam kondisi takut dan bercerita kepadanya. Penduduk itu berkata menenangkan perasaan Musa, “Jangan takut, karena kamu telah selamat dari kaum yang melakukan kezhaliman.” Artinya, hendaknya kamu menentramkan jiwamu dan menghapus ketakutanmu karena Allah telah menyelamatkanmu setelah sampai ke tempat ini.
  6. Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang baik adalah sarana untuk terhindar dari kejahatan dan malapetaka, siapa yang banyak kebaikannya, maka kesudahannya akan berujung pada kebaikan dan akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, Khadijah Radliyallahu ‘anhaa berkata, “Sekali-kali Allah tidak akan menghinakanmu.” Khadijah bersumpah dalam menenangkannya dan menjelaskan alasannya yaitu karena dia menyambung hubungan kekerabatan, membantu orang yang lemah, memberi orang yang miskin, dan memuliakan tamu.
  7. Perkataan Waraqah bin Naufal, “Tidak ada Nabi yang tidak dimusuhi oleh kaumnya.” Dalam riwayat lain, Waraqah berkata, “Tidak ada orang yang membawa (ajaran) seperti yang engkau bawa, kecuali dia disakiti.” Berdasarkan penjelasan di atasa, suatu masalah penting, yaitu seorang da’i kepada Allah pasti akan menghadapi musuh ketika melakukan amal dakwah.

Musuh dan tantangan dalam dunia da’i adalah salah satu karakter dakwah. Allah ta’alaa berfirman,

Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (Al-Furqan: 31)

Juga firman Allah,

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Dia mesti memiliki sifat sabar dan penyayang, karena dia pasti berhadapan dengan rintangan.”

Syaikh Abdurrahman bin Qasim Rahimahullah berkata, “Siapa saja yang komitmen dengan Islam dan mengajak kepadanya, maka dia telah menanggung beban amanah yang tinggi dan telah meniti misi seorang Rasul dalam berdakwah, dan dia telah memasuki area pertarungan antara manusia dengan syahwat dan hawa nafsu, dan keyakinan yang batil. Pada saat itu, orang tersebut pasti menghadapi rintangan. Oleh karena itu, hendaknya dia selalu bersabar dan berupaya untuk mendapatkan pertolongan Allah.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Karena seorang da’i pasti akan dihadapkan pada rintangan, apakah dengan perkataan atau dengan perbuatan..” Beliau juga berkata, “Jadi, setiap da’i pasti akan mendapatkan gangguan, tetapi ia harus bersabar.”

Sumber: Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, “Fiqh Sirah Nabawiyyah”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016