Dakwah Sirriyyah (Sembunyi-Sembunyi)

Rasulullah mengawali dakwahnya dengan rahasia, ini sudah merupakan suatu hal yang lumrah dan alami apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan rahasia itu kepada orang yang paling dekat dengannya dari keluarga beliau dan teman-teman dekat beliau. Selain itu, kepada orang yang diharapkan darinya kebaikan melalui pertimbangan dan cara memilih orang yang bisa dijadikan sebagai teman berkomunikasi, hingga muncullah orangorang yang memenuhi panggilan itu.

Yang paling utama di antaranya adalah;

  1. Khadijah bintu Khuwailid Radliyallahu ‘anhaa Ummul Mukminin, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Waraqah bin Naufal. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Setelah peristiwa itu, tidak lama kemudian Waraqah meninggal.” Karena apa yang dikatakannya adalah ungkapan keimanan terhadap apa yang dia dapatkan, dan sebuah keyakinan terhadap wahyu dan niat yang tulus untuk mengikuti kebenaran yang sebentar lagi tiba.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Pendeta Waraqah bin Naufal masuk Islam saat itu dan berjanji  untuk membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala dikeluarkan dari kampung halamannya.”

Syaikh Muhammad bin Utsaimin berkata, “Oleh karena itu, kami katakan bahwa yang paling pertama masuk Islam dari kalangan wanita adalah Khadijah dan dari kalangan laki-laki adalah Waraqah bin Naufal. Namun, karena beliau meninggal dunia dengan sangat cepat setelah itu, menyebabkan muncul perselisihan tentang keislamannya. Wallahu a’lam.

  1. Abu Bakar ash-Shiddiq Radliyallahu ‘anhu.
  2. Ali bin Abi Thalib Radliyallahu ‘anhu, di adalah oran yang paling pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak.
  3. Zaid bin Haritsah pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka adalah para generasi awal yang gencar melakukan dakwah dengan rahasia, sehingga melalui tangan Abu Bakar, banyak sekali dari kalangan sahabat yang memeluk Islam. Seperti Utsman bin Affan, az-Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah Ridwanallahu ‘alaihim, mereka adalah lima sahabat yang tergolong sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga.

Termasuk yang paling awal masuk Islam adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah Radliyallahu ‘anhu, Abu Salamah Radliyallahu ‘anhu, al-Arqam bin Abi al-Arqam, Utsman bin Mazh’un, dan kedua saudaranya Abdullah dan Said bin Zaid, dan yang lainnya Ridwanallahu ‘alaihim.

Hikmah:

Pertama, pertanyaanya, mengapa dakwah didahului dengan rahasia?

Jawabannya adalah;

  1. Agar warga Mekkah tidak dikagetkan dengan peristiwa yang menakutkan mereka, yang menyebabkan mereka kalap dan mematikan embrio dakwah dari masa buaian.
  2. Agar barisan dakwah mendapatkan kader-kader yang siap membela dakwah tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkannya dan muncul musuh-musuh Islam yang berupaya menghancurkannya.

Syaikh Abu Bakar al-Jazairi berkata, “Tidak ada dalil akurat yang bisa dijadikan pegangan oleh mereka yang melakukan dakwah rahasia di negara-negara kaum muslimin dewasa ini. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga tahun tidak bisa dijadikan sebagai pegangan dalam masalah itu, karena beliau dan sahabat-sahabatnya pada waktu itu tidak mampu memperdengarkan kalimat Laa ilaaha Illallah Muhammadar-Rasulullah. Mereka tidak diizinkan untuk melakukan shalat, tetapi setelah barisan dakwah mereka kuat, maka dakwah akhirnya dimumkan, yaitu konsekuensinya mereka berhadapan dengan siksaan dan intimidasi sebagaimana yang dikenal di kalangan umat Islam. Oleh karena itu, asal dari dakwah ini adalah mengumumkan. Adapun cara rahasia hanya dipakai apabila berhadapan dengan darurat yang kondisinya bisa dipahami oleh orang cerdas, karena rahasia adalah bentuk pengecualian dan bukan dasar utama.”

Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengambil beberapa pelajaran di antaranya;

  1. Allah tidak membebani seseorang, kecauli sesuai kemampuannya, maka apabila ada perintah untuk melakukan amaliah dakwah, lakukanlah sesuai dengan kemampuan dan sejalan dengan manhaj yang benar.
  2. Tidak tergesa-gesa untuk memetik hasil, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang diperintahkan untuk memikul kewajiban dakwah ini, karena sangat mencintai dakwah, antusias, dan responsif, sangat berambisi agar manusia menerima dakwahnya, seharusnya beliau mengajak siapa saja yang dia temui di jalan atau yang ditemuinya di Ka’bah ataupun dalam perkumpulan-perkempulan. Namun, ternyata dia tidak menceritakan dakwah itu, kecuali kepada orang-orang tertentu. Beliau menahan diri, menanti masa berdakwah secara terbuka tiba, yang akan mampu memberikan hasil yang lebih dan cepat, menunggu waktu yang tepat.

Seorang da’i mesti mengetahui bahwa setiap manusia memiliki sisi fitrah dan kebaikan, itu dipahami berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak manusia yang dilahirkan, lahir dalam keadaan fitrah (Islam).” Namun, fitrah itu tertutupi oleh dosa dan noda dan untuk bisa sampai kepada fitrah itu, perlu menanti dengan kesabaran. Beberapa masyayikh memberikan perumpamaan dengan berkata, “Sesungguhnya bagi siapa saja yang menyalakan api kemudian membiarkan kayu bakarnya hangus dan menyisakan abu dan arang, maka setelah seorang bisa saja mengeluarkan dari gundukan abu yang sudah dingin itu sebuah bara api kecil yang menjadi cikal api yang menyala, yaitu dengan cara meniup debu yang mengelilinginya hingga debu-debu dan sisa bakaran hilang kemudian meniup kembali hingga muncul bara api yang bisa menyala tatkala diletakkan di atasnya daun kering atau kertas.”

Akan tetapi, kenyataannya banyak manusia yang terlalu tergesa-gesa dalam mengeluarkan bara kecil itu dari tumpukan abu, dia langsung dengan cepat meniup tumpukan abu tersebut, yang menyebabkan abu itu bertebaran di wajahnya, dan cikal bara itu berserakan tanpa bisa dimanfaatkan lagi. Begitulah perumpamaan berdakwah di jalan Allah. Siapa saja yang tergesa-gesa dalam memetik hasil, maka mudharatnya akan lebih banyak daripada manfaatnya. Namun, bagi yang berhati-hati dan bersabar dalam bekerja untuk menghilangkan karat yang melekat di hati yang ibaratnya bagaikan debu hingga dia berhasil menembus hati, hingga meraih cahaya kebenaran dan menerangi sekelilingnya, objek dakwahnya menerima ajakannya, maka dia telah berhasil karena menghindari tergesa-gesa dalam memetik hasil.”

Kisah Syaikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil tindakan tatkala melihat manusia berthawaf di sekitar kuburan Zaid bin al-Khatthab dekat kota Riyadh, beliau hanya mencukupkan dengan berkata, “Allah lebih mulia daripada Zaid.” Hal itu terjadi pada awal dakwahnya dan itu muncul karena kearifan beliau dalam berdakwah. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas.”

Hikmah Kedua, kita menyaksikan bahwa yang pertama kali menjadi sasaran dalam berdakwah adalah seorang wanita, yaitu Khadijah Radliyallahu ‘anhaa. Kemudian dia menerimanya dan masuk ke dalam agama Islam. Ini berarti bahwa manusia yang paling pertama masuk Islam adalah wanita. Beliau juga menjadi penolong pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghibur beliau dan menentramkan hati beliau dari apa yang terjadi di gua Hira, kemudian membawanya ke anak pamannya, Waraqah bin Naufal.

Kemuliaan berikutnya bagi wanita dalam islam adalah, keutamaan syahid di jalan Allah, karena manusia pertama yang meninggal di jalan Allah adalah Sumayyah binti Khayyath, Ibunda Ammar Radliyallahu ‘anhu karena keimanannya, beliau disiksa hingga mati di tangan musuh Allah, Abu Jahal. Beliau tercatat sebagai manusia pertama yang mati syahid dalam agama Islam.

Kemudian apa yang tersisi untuk kaum laki-laki setelah itu? Apakah setelah itu, kita masih saja terpengaruh dengan ungkapan bahwa agama Islam adalah agama yang tidak menghargai wanita, sementara kaum wanitalah yang paling pertama memeluk Islam. Bukankah dengan memulai dari wanita menunjukkan keutamaan wanita itu sendiri? Bukankah karena orang pertama yang menjadi mukmin adalah wanita mengukuhkan kemuliaan itu bagi kaum wanita? Selain itu, mengukuhkan bahwa memang wanita pantas untuk didahulukan?

Hikmah Ketiga, Keseriusan Abu Bakar Radliyallahu ‘anhu dalam berdakwah. Abu Bakar ash-Shiddiq Radliyallahu ‘anhu yang dari tangan beliau telah memeluk Islam lima orang yang tergolong sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira sebagai ahli surga. Beliau hanyalah seorang diri, namun gencar dalam mengajak ke jalan dakwah.

Dialah manusia pertama yang mengajak ke jalan dakwah dari umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal yang menunjukkan bahwa satu jiwa bisa berbuat banyak, itulah yang dikenal dengan dakwah fardiyyah (dakwah personal) yang bahkan dilalaikan oleh banyak manusia.

Landasan dan awal dari sebuah dakwah adalah dakwah fardiyyah, dan cara itu tidak membebankan, hanya memanfaatkan metode pertemuan, ziarah dan kunjungan, yaitu seseorang bia melakukan komunikasi secara pribadi dan mendiskusikan agama dan kebenaran dengan santai dan komunikatif, memberi dan menerima masukan, jauh dari pengaruh-pengaruh atau rintangan-rintangan lain.

Itulah dakwah fardiyyah yang bisa dilakukan oleh anak kecil maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan, bisa dilakukan di rumah atau pun di jalan, di pertokoan ataupun di tempat menjual roti, melalui surat ataupun pesawat telepon.

pada suatu hari, seorang pejabar Perancis ketika masa penjajahan di Aljazair memanggil seorang ulama kharismatik bernama Syaikh Abdul Hamid al-Jazairi, Dia (sang pejabat) berkata kepada Syaikh Abdul Hamid, “Hanya ada dua pilihan bagi kamu, yaitu kamu tanggalkan pemikiran-pemikiran yang kamu ajarkan kepada murid-murid kamu atau saya kirim tentara-tentara untuk menutupi masjid yang kamu jadikan tempat untuk meracuni mereka dengan semangat perlawanan terhadap kami.”

Syaikh Abdul Hamid menjawab, “Wahai sang penguasa, itu tidak mungkin kamu lakukan.” Sang penguasa marah dan berkata, “Kenapa saya tidak bisa melakukannya?” Syaikh Abdul Hamid berkata, “Jika aku berada di tempat pesta, maka aku akan ajari peserta pesta itu. Jika aku berada di sebuah perkumpulan, maka aku akan ajari siapapun yang hadir di situ. Jika aku berada di kereta, maka aku akan ajari penumpang kereta itu. Dan jika aku masuk penjara, maka aku akan jadikan para napi sebagai murid-murid saya, dan jika kamu membunuhku, maka kamu telah menanam bara api di hati para penduduk negeri ini. Hal terbaik bagimu, wahai penguasa, adalah berdiam diri dari mengganggu penduduk dalam agama dan bahasa mereka.”

Sumber: Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, “Fiqh Sirah Nabawiyyah”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016