Kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum masa nubuwwah adalah kehidupan yang mulia dan sejahtera. Namun, meski demikian, semenjak kecil, beliau hidup dalam aqidah yang benar, tidak terpengaruh dengan aqidah jahiliyyah.
Beliau tidak pernah menyembah berhala-berhala yang dijadikan sesembahan oleh kaumnya. Beliau mengetahui bahwa berhala-berhala tersebut tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudharat. Suatu hari, beliau bersama Zaid bin Haritsah berada di dekat patung bernama isaf dan nailah. Berhala-berhala itu diusap oleh orang-orang musyrik bila mereka thawaf. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawwaf, Zaid berkata, “Saya pun thawwaf bersama beliau, setelah saya melewatinya, maka saya pun mengusap patung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jangan sentuh.’ Saya berkata pada diri saya, ‘Saya akan tetap menyentuhnya hingga saya lihat apa yang terjadi.’ Kemudian saya tetap mengusapnya. Rasulullah bersabda, ‘Bukankah kamu telah saya larang?’ Demi Allah yang telah memuliakan beliau dan menurunkan risalah kepada beliau, beliau tidak pernah menyentuh patung hingga Allah memuliakan beliau dan menurunkan al-Kitab kepada beliau.”
Beliau sama sekali tidak pernah meminum khamr dan tidak pernah mendekati kemaksiatan, tidak terlibat dalam perjudian, atau permainan yang tidak berguna, walaupun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa bergaul bersama masyarakatnya, hidup dengan mereka, dan menemani mereka dalam aktivitas keseharian yang dibolehkan.
Ada kema’shuman yang menjaga beliau dari kesalahan-kesalahan aqidah. Dalam Shahih al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah sendiri ikut bersama-sama yang lain membangun Ka’bah. Beliau bergabung bersama paman beliau Abbas Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika beliau mengambil batu-batu, Abbas menyarankan kepada beliau untuk mengangkat jubah beliau hingga di atas lutut. Namun Allah menakdirkan agar aurat beliau senantiasa tertutup, sehingga belum sempat beliau mengangkat jubahnya, beliau jatuh terjerembab ke tanah. Beliau kemudian memandang ke atas langit sambil berkata, “Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku.” Setelah itu aurat beliau tidaklah pernah terlihat lagi.’”
Dari Ali bin Abi Thalib Radliyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saya tidak pernah berniat melakukan sesuatu pada aman jahiliyyah dari keinginan untuk mendengarkan hiburan nyanyian, kecuali pada dua malam yang kedua-duanya Allah menjaga saya dari menyaksikannya. Suatu malam, saya berkata kepada teman saya sesama penggembala kambing, ‘Tolong jaga kambing-kambing saya, saya ingin masuk ke kota Mekkah untuk menyaksikan hiburan seperti anak-anak muda lain menyaksikannya.’ Kawan saya berkata, ‘Silahkan.’ Maka aku memasuki kota Mekkah, hingga ketika aku sampai di rumah pertama dari rumah-rumah Mekkah, aku mendengar ada usara ‘azf (nyanyian dan musik). Aku bertanya, ‘Ada apa?’ Maka dikatakan kepadaku, ‘Fulan menikah dengan fulanah.’ Akhirnya aku duduk, maka Allah pun menutup pendengaranku dan membuatku tertidur dan tidak terjaga, kecuali setelah sinar matahari pagi menerpa diriku. Seseorang bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu saksikan?’ Aku berkata, ‘Aku tidak melakukan apa-apa.’ Kemudian aku ceritakan kejadiannya. Pada malam berikutnya, aku berkata lagi kepadanya, ‘Tolong jaga kambingku, aku ingin menyaksikan hiburan musik di Mekkah.’ Setelah aku tiba di Mekkah aku mendengar seperti apa yang aku dengar pada malam itu, lalu aku bertanya. Lalu dikatakan kepadaku, “Fulan menikah dengan fulanah.” Akhirnya aku duduk melihat dan Allah pun menutup pendengaranku. Demi Allah, aku tidak terjaga dari tidur, kecuali setelah sinar matahari pagi menyengat badaku. Kemudian aku kembali kepada temanku. Dia bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu telah lakukan?’ Aku berkata, ‘Aku tidak melakukan apa-apa.” Kemuian aku ceritakan kejadiannya. Demi Allah, setelah itu, aku tidak pernah lagi ingin menyaksikan pertunjukan dan aku tidak pernah lagi mengulanginya hingga Allah memuliakanku dengan kenabian.’”
Jubair bin Muth’im berkata, “Pada hari Arafah, untaku tersesat, maka aku mencarinya dan aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersama orang-orang di Arafah. Aku berkata, ‘Beliau dari kelompok Hims (Quraisy), mengapa beliau berkumpul di sini (di Arafah bersama orang-orang. Mengapa beliau tidak bersama Hums di Muzdalifah sana)? Yang demikian itu karena orang-orang Quraisy wuquf di Muzdalifah pada hari Arafah dan tidak mau keluar dari tanah haram menuju Arafah bergabung bersama jama’ah lainnya sebagai bentuk sikap tampil beda. Kejadian ini menunjukkan bimbingan Allah kepada Nabi-Nya dengan memberinya taufik untuk berdiri di tempat yang benar sebelum masa kenabian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal dengan kejujuran beliau, tidak pernah sekali pun didapati beliau berbohong. Hal itu dibenarkan tatkala beliau naik ke Shafa’ kemudian memanggil manusia, yaitu setelah mereka bertanya siapa yang mengumpulkan dan mengetahui bahwa dia adalah Muhammad, kemudian setelah semua orang berkumpul, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimanakah pandangan kalian jika aku berkata bahwa ada pasukan berkuda yang akan muncul dari lereng gunung sana, apakah kalian mempercayaiku?” mereka semua berkata, “Kami belum pernah menemukan engkau berbohong.” Beliau berkata, “Aku adalah pemberi peringatan yang diutus kepada kalian sebelum datnagnya hari pembalasan yang pedih.” Mereka di sini, di depan banyak manusia berkata, “Kami tidak pernah mendengar engkau berbohong, engkau dikenal sebagai orang yang terpercaya sejak kecil.”
Hikmah yang bisa diambil:
- Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik manusia yang sempurna. Beliau adalah anak muda seperti anak muda lainnya. Beliau bersosialisasi dengan masyarakat. Beliau merasakan seperti apa yang dirasakan anak muda lainnya, dan jiwanya memiliki kecenderungan seperti kecenderungan anak muda lainnya dalam masalah yang lumrah.
- Bahwa Allah ta’alaa telah menjaga beliau dari segala fenomena yang buruk. Selain ma’shum dengan cara mendapatkan wahyu, beliau juga telah dijaga dari kesalahan oleh Allah ta’alaa dari kehendak nafsunya atau dari tekanan masyarakatnya, hingga beliau terhindar dari pelanggaran itu sebelum terjadi.
- Beliau telah hidup pada masa mudanya dengan akhlaq yang terpuji, fitrah yang bersih, jauh dari sentuhan berhala, kemusyrikan, dan khurafat, hingga beliau tumbuh dan besar dengan suci dan bersih. Beliau terkenal dengan sifat jujur dan amanah. Semua itu sebagai pengantar menuju risalah kenabian yang akan diembannya.
- Adanya sifat-sifat terpuji itu dalam pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan Allah, dan eratnya kaitan sifat-sifat tersebut dengan kenabian beliau menunjukkan kepada kita tentang pentingnya akhlak tersebut bagi seorang da’i. Oleh karena itu, keistiqamahan da’i dan penjagaannya untuk selalu jujur dan berakhlak mulia adalah sangat penting dalam rangka menjadikan manusia simpati kepadanya. Sehingga tidak menemukan pendengki atau pengkritik yang mencibirnya dengan sesuatu dari masa lalunya.
- Sesungguhnya, mudah bagi Allah mengutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi tanpa adanya keinginan seperti kebiasan anak muda dari sendau gurau, menganggap enteng masalah aurat. Namun, jika hal ini terjadi, maka bisa saja dipahami bahwa itu adalah sebuah tindakan menjauh dari masyarakat dan termasuk sisi kelemahan sebagai manusia biasa. Lain halnya jika kecenderungan seperti itu memang ada dalam benak sanubarinya, tetapi terjaga dari melakukannya. Di situlah akan nampak keistimewaan kepribadian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ulama mengingkari kebenaran riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan pertunjukan-pertunjukan atau acara-acara orang musytik bersama mereka. Para ulama mengatakan itu tidak benar. Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah juga menolak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terlibat dalam kejahiliyyahan bersama dengan kaummnya melalui pendekatan dalil akal. Dia berkata, “Sesungguhnya Quraisy telah melemparkan segala bentuk rekayasa kepada Nabi kita, dan para umat sebelumnya telah mencemooh para Nabi-Nabi mereka dengan segala bentuk penghinaan yang mungkin mereka lakukan. Itu semua kita dapatkan berdasarkan nash dan riwayat yang telah sampai kepada kita. Namun, tidak satu pun dari bentuk penginaan yang mereka lemparkan berindikasi mengingatkan para Nabi itu tentang masa lalunya. Seandainya para Nabi mereka pernah melakukan itu kemudian setelah menjadi Nabi, mereka melarangnya, maka pastilah para kaum itu akan mengungkit kembali. Karena mereka berdiam dari hal itu, maka ini menujukkan bahwa para Nabi tidak pernah melakukannya. Karena jika mereka sendiri sebelum menjadi Nabi telah melakukannya, maka pastilah kaum mereka mengungkitnya dan tidak mendiamkannya, sebagaimana kaum Nabi Muhammad yang kafir mengungkit masa lalu mengenai perubahan kiblat, mereka berkata, “Apa yang menyebabkan mereka mengharap ke Ka’bah dan berpaling dari apa yang mereka telah lakukan?’”
Sumber: Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, “Fiqh Sirah Nabawiyyah”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016