Larangan dalam Busana Haji dan Umrah

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, busana apakah yang boleh dikenakan oleh seorang muhrim?” Rasulullah saw. berkata, “Janganlah ia mengenakan gamis, sorban, celana, topi, dan khuf (sepatu) kecuali yang tidak punya sandal ia boleh memakai khuf dan hendaklah ia memotong khufnya sehingga lebih rendah dari mata kaki. Dan janganlah ia mengenakan pakaian yang dicelup dengan za’faran dan wars,” (HR Bukhari [1542] dan Muslim [1177]).

Masih dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah wanita yang berihram mengenakan niqab (cadar) dan jangan pula mengenakan quffazain (kaus tangan),” (HR Bukhari [1838].

Kandungan Bab:

  1. Seorang muhrim (mengenakan kain ihram) tidak boleh memakai pakaian-pakaian tersebut di atas. 
  2. Rasulullah menyebutkan burnus setelah menyebutkan sorban, hal itumenunjukkan bahwa seorang muhrim tidak boleh menutup kepalanya dengan apapun baik dengan sesuatu yang biasa dipakainya ataupun yang tidak biasa dipakainya. 
  3. Ihram kaum wanita pada wajahnya, ia tidak boleh menutup wajahnya dan tidak boleh pula membuka kerudung penutup kepalanya. Jika ia harus menutupi wajah karena udara panas atau dingin atau untuk mencegah pandangan mata laki-laki ajaanib (bukan mahram) terhadap dirinya, maka ia boleh menutupi wajahnya dengan kerudungnya. Seperti yang dituturkan oleh ‘Aisyah ra berikut ini, “Pernah sekali waktu rombongan jama’ah haji melewati kami, saat itu kami berihram bersama Rasulullah saw. Apabila kami berpapasan dengan mereka, maka kami menutupi wajah dengan jilbab. Dan apabila rombongan telah lewat kami menyingkapnya kembali,” (Hasan lighairihi, HR Abu Dawud [1833], Ibnu Majah [2935], Ahmad [VI/30]).

    Sadl yang dimaksud adalah menutupi wajah dengan kain jilbab tanpa mengikatnya. Oleh karena itu, ‘Aisyah ra berkata, “Janganlah menutup wajah (talatstsum) dan jangan mengenakan burqa’ (cadar),” (HR Bukhari secara mu’allaq [III/405] dan diriwayatkan secara maushul oleh al-Baihaqi [V/47]). 

  4. Adapun mengenakan kaus tangan masih diperselisihkan, kelompok ulama yang membolehkan mengatakan bahwa penyebutan kaus tangan dalam hadits itu merupakan perkataan Ibnu ‘Umar, itulah pendapat yang kuat seperti yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (IV/53-54). 
  5. Kaum wanita boleh mengenakan busana manapun yang disukainya kecuali beberapa hal yang disebutkan di atas. 
  6. Seorang muhrim boleh memakai khuf jika ia tidak punya sandal. Akan tetapi hendaklah ia memotong khufnya sehingga lebih rendah dari mata kaki berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak punya sandal hendaklah ia memakai (sepatu), barangsiapa yang tidak punya kain hendaklah ia memakai sirwal (celana)’,” (HR Muslim (1179).

    Dan berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. baru lalu, “Kecuali jika ia tidak punya sandal, hendaklah ia memotong khufnya sehingga lebih rendah dari mata kaki.” 

  7. Bagi yang tidak punya kain boleh mengenakan sirwal berdasarkan hadits Jabir di atas. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa hendaklah ia membuka jahitan sirwalnya (celananya) diqiyaskan dengan perintah memotong khuff. Namun qiyas ini fasid (bathil), karena sudah ada nash dalam masalah ini (tidak dibutuhkan qiyas lagi). 
  8. Seorang muhrim boleh berteduh dalam kemah, menggunakan payung dan naik mobil. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar mendirikan tenda bagi beliau di Namirah kemudian beliau berteduh di situ.

    Dari Ummul Hushain r.a, ia berkata, “Aku pergi haji bersama Rasulullah saw. pada haji Wada’. Aku melihat Usamah dan Bilal r.a, salah seorang dari keduanya memegang tali kekang unta Rasulullah saw. dan seorang lagi mengembangkan kainnya untuk menutupi beliau dari sengatan panas matahari. Demikianlah hingga beliau melempar jumrah ‘Aqabah,” (HR Muslim [1298]).

    Adapun yang dilakukan oleh kaum Syi’ah Rafidhah dengan mencopot atap mobil adalah perbuatan berlebih-lebihan dalam agama yang tidak ada dasarnya.

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/241), “Seorang muhrim boleh berteduh…ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu.” 

  9. Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/241), “Sekirinya seorang muhrim meletakkan tangannya di atas kepala atau seorang wanita muhrimah menutup wajahnya dengan tangan, maka tidak ada dam atasnya.” 
  10. Guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitab Hajjatun Nabi saw, (hal. 30), “Ia boleh mengencangkan kainnya dengan sabuk atau tali pinggang. Ia boleh mengikatnya jika diperlukan. la boleh mengenakan cincin, jam tangan dan kaca mata karena tidak ada dalil yang melarangnya. Bahkan telah diriwayatkan sejumlah atsar yang membolehkan sebagian daripadanya. Dari ‘Aisyah r.a. bahwa ia pernah ditanya tentang hamyan bagi seorang muhrim. Ia menjawab, “Tidak mengapa, hendaklah ia mengencangkan ikatannya.” Sanadnya shahih.

    Dari Atha’, “Ia -yakni seorang muhrim- boleh memakai cincin dan ikat pinggang.” Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq.

    Tidak ada keraguan lagi, jam tangan dan kaca mata masuk dalam kategori cincin dan ikat pinggang, apalagi tidak ada dalil yang melarangnya.

    “Dan tidaklah Rabb-mu lupa,” (Maryam: 64)

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.