Larangan Bersafar Bagi Wanita kecuali Disertai Mahram atau Suaminya

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat bersafar selama tiga hari atau lebih kecuali disertai ayahnya atau puteranya atau suaminya atau saudara laki-lakinya atau mahramnya’,” (HR Muslim [1340]).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Janganlah seorang wanita bersafar selama dua hari kecuali disertai suaminya atau mahramnya,” (Shahih, HR Ibnu Khuzaimah [2522]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang wanita Muslimah bersafar selama semalam kecuali disertai oleh laki-laki yang merupakan mahram baginya’,” (HR Muslim [1339]).

Masih dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat bersafar sehari semalam tanpa disertai mahramnya’,” (HR Bukhari [1088] dan Muslim [1339]).

Dan masih dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang wanita bersafar sejauh satu bariid kecuali disertai oleh mahramnya,” (Shahih, HR Abu Dawud [1725] dan Ibnu Khuzaimah [2526]).

Kandungan Bab:

  1. Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar secara mutlak kecuali disertai suami atau mahramnya, seperti ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki atau laki-laki yang merupakan mahram baginya secara abadi.

    Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa bilangan hari yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas bukanlah pembatasan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. dan Ibnu Hibban yang telah membuat judul bab dalam kitab Shahihnya [2732] berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. yang menyebutkan safar secara mutlak (tanpa pembatasan waktu). Beliau berkata, “Penjelasan bahwa wanita dilarang bersafar, baik safar yang memakan waktu lama ataupun sebentar kecuali disertai oleh mahramnya.”

    Saya katakan, “Dikuatkan lagi oleh hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali disertai oleh mahramnya dan janganlah seorang wanita berpergian (bersafar) melainkan bersama mahramnya.”

    Seorang laki-laki bangkit lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak berangkat menunaikan haji, sementara aku telah ditunjuk untuk mengikuti perang ini dan ini.” Rasul berkata kepadanya, “Pergilah dan berhajilah bersama isterimu,” (HR Bukhari [3006] dan Muslim [1341]).

    Oleh sebab itu Ibnu Hibban menulis judul bab untuk hadits ini (2731), “Larangan Bersafar Bagi Wanita Tanpa Disertai oleh Mahramnya, Baik Safar Tersebut Panjang Maupun Pendek.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (IV/75), “Mayoritas ulama berpegang kepada safar secara mutlak karena pembatasan yang disebutkan berbeda-beda. An-Nawawi berkata, ‘Yang dimaksud dengan pembatasan tersebut bukanlah makna zhahirnya. Namun, setiap perjalanan yang disebut safar, maka kaum wanita dilarang menempuhnya kecuali disertai oleh mahramnya.’ Disebutkannya pembatasan tersebut berdasarkan kepada kebiasaan yang berlaku, jadi tidak dapat diambil mafhum (makna implisit) darinya.” 

  2. Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VII/20), “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak wajib haji bila tidak ada mahrami laki-laki yang menyertainya. Ini merupakan pendapat an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri. Dan juga merupakan pendapat yang dipilih oleh ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan Ashabur ra’yi. Sebagian orang mengatakan bahwa ia wajib menunaikan haji bersama rombongan wanita, ini merupakan pendapat Malik dan asy-Syafi’i. Namun pendapat pertama lebih mendekati kebenaran berdasarkan zhahir hadits tersebut.” 
  3. Imam al-Baghawi berkata (VII/21), “Seorang wanita kafir bila masuk Islam di

    darul harb (negara kafir) atau muslimah yang berhasil melepas kan diri dari tawanan orang-orang kafir, maka ia harus melarikan diri dari mereka tanpa harus mencari mahram meskipun ia harus berjalan seorang diri jika ia berani dan tidak takut sendiri.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (IV/76), “Sebagian orang lain menambahkan, ‘Atau wanita yang terlepas dari rombongan lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang terpercaya (baik-baik), maka ia boleh menemaninya hingga bertemu dengan rombongan’.”

    Saya katakan, “Hal itu merupakan safar darurat, barangsiapa terdesak kepada kondisi darurat, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi kondisi darurat ada batas dan ukurannya.” 

  4. Sebagian orang yang membolehkan wanita bersafar tanpa suami atau tanpa mahram berdalil dengan beberapa perkara yang harus diingatkan di sini agar orang-orang awam tidak tertipu:
    1. Mereka menyamakan safar seorang wanita untuk menunaikan haji wajib bersama rombongan atau wanita yang terpercaya dengan wanita kafir yang masuk Islam kemudian melarikan diri dari darul harb ke darul Islam atau wanita-wanita yang keadaannya seperti itu.

      Para ahli ilmu memberi jawaban, Bahwa safar tersebut adalah bentuk safar dalam kondisi darurat, tidak bisa disamakan dengan safar dalam kondisi lapang. Sebab seorang wanita kafir yang masuk Islam lalu pergi melarikan diri, ia berusaha menolak bahaya yang pasti dengan menanggung bahaya yang masih dalam perkiraan. Tidak demikian halnya dengan wanita yang pergi untuk haji. 

    2. Mereka mengatakan: Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab ra mengizinkan isteri-isteri Nabi saw dalam perjalanan terakhir mereka menunaikan haji dengan disertai oleh ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdurrahman.

      Jawabnya dari dua sisi, Pertama: Perbuatan ‘Umar statusnya adalah mauquf, tidak boleh dipertentangkan dengan hadits marfu’. Kedua: Ummahatul Mukminin diharamkan atas segenap kaum Mukminin (yakni haram dinikahi). 

    3. Sebagian orang berdalil dengan hadits marfu’ dari Adi bin Hatim r.a, “Andaikata engkau diberi umur panjang niscaya engkau akan melihat wanita yang bersafar dari Herat sampai ia thawaf di Ka’bah, tidak ada yang ditakutkannya kecuali Allah,” (HR Bukhari (3595).

      Ahli ilmu memberi jawaban, Hadits itu menunjukkan bahwa hal tersebut akan terjadi, bukan menunjukkan hal itu dibolehkan. Lalu mereka menampiknya dengan mengatakan, “Hadits ini disebutkan dalam konteks pujian dan menunjukkan terangkatnya menara Islam, artinya hal tersebut dibolehkan.”

      Asy-Syaukani menengahi masalah ini dalam Nailul Authaar (V/17), “Yang benar adalah yang dikatakan oleh pihak pembantah (yaitu hadits itu menunjukkan terjadinya hal tersebut bukan menunjukkan dibolehkannya), untuk menggabungkan antara hadits tersebut dengan hadits-hadits dalam bab ini.”

  5. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari [IV/77], “Ketentuan mahram bagi seorang wanita yang disebutkan oleh para ulama adalah setiap laki-laki yang diharamkan (dilarang) menikahi seorang wanita untuk selama-lamanya karena sebab-sebab yang mubah dan karena keharaman wanita itu (atas dirinya).

    Keluar dari batasan ‘selama-lamanya’: Saudara perempuan isteri dan bibi isteri. Keluar dari batasan ‘sebab-sebab yang mubah’: Wanita yang statusnya masih diragukan sebagai isteri yang sah berikut anak gadisnya. Keluar dari batasan ‘dan karena keharaman wanita itu (atas dirinya)’, Wanita yang terlibat kasus li’an dengannya.

    Imam Ahmad juga mengecualikan ayah yang kafir, beliau berkata, “Ayah yang masih kafir tidak bisa menjadi mahram bagi anak wanitanya yang Muslimah. Karena dikhawatirkan ia akan mengganggu keimanan puterinya apabila hanya berdua dengannya.”

    Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/17) setelah menukil perkataan Ibnu Hajar di atas dan menyetujuinya, “Termasuk juga di dalamnya seluruh kerabat atau mahram yang kafir disamakan dengan ayah yang kafir karena ‘illat (alasan) yang sama.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.