Larangan Berbuat Kefasikan dan Berdebat Saat Melaksanakan Ibadah Haji

“Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji,” (Al-Baqarah: 197).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mengerjakan haji dan ia tidak berbuat rafats dan berbuat fasik, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya’,” 

Kandungan Bab:

  1. Larangan keras berbuat maksiat di masa melaksanakan ibadah haji. Walaupun perbuatan maksiat diharamkan saat melaksanakan ibadah haji maupun di luar ibadah haji namun maksiat yang dilakukan saat ibadah haji lebih berat lagi.

    Ibnu Katsir berkata dalam kitab Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim (1/244-245), “Orang-orang mengatakan bahwa perbuatan fasik yang dimaksud dalam ayat adalah seluruh perbuatan maksiat. Perkataan mereka ini benar. Sebagaimana halnya Allah melarang perbuatan zhalim pada bulan-bulan haram, meskipun pada hakikatnya perbuatan zhalim dilarang pada bulan-bulan lainnya. Hanya saja perbuatan zhalim yang dilakukan pada bulan haram lebih berat lagi. Oleh sebab itu Allah mengatakan, “Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu…” (At-Taubah: 36).

    Berkaitan dengan tanah haram Allah SWT berfirman, “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya malakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih,” (Al-Hajj: 25). 

  2. Larangan bertengkar dan bersitegang urat leher hingga membuat marah temanmu. Sejumah ulama Salaf berpendapat demikian. Adapun jidal (berdebat) dengan cara yang baik sesuai dengan tuntutan dakwah dan pengajaran kepada orang-orang jahil, maka hal tersebut tidaklah terlarang. Bahkan bisa jadi wajib. Oleh karena itu, termasuk kejahilan mengartikan firman Allah, “Dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” dengan tafsiran seperti itu. Jidal yang dimaksud dalam ayat ini adalah bertengkar, mencaci maki dan bersitegang urat leher, wallaahu a’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/601-602.