Bagaimanakah Kedudukan Seorang Bibi?

Pertanyaan:

Bagaimana seharusnya, hubungan yang terjalin antara seseorang dengan bibinya? Apakah boleh bersalaman dengan bibinya? Lalu bagaimana kedudukan seorang bibi dan hak-haknya dalam islam? Bolehkah seorang wanita menampakkan wajahnya di hadapan keponakan laki-lakinya? Saya mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillah,

Pertama, seorang bibi memiliki kedudukan yang mulia dalam islam, sebagaimana kedudukan seorang ibu. Hal ini diriwayatakan oleh Abu Dawud (2278). Dari Ali Radliyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata,

Seorang bibi memiliki kedudukan sebagaimana seorang ibu.” (Dishahihkan oleh al-Albani)

Maksudnya adalah, memiliki kedudukan yang sama seperti ibu dalam pemenuhan hak-haknya dan hak asuh anak, sebagaimana yang tertera pada hadits tersebut. (Fathul-Baari, 7/506)

Pendapat yang lain mengatakan, kedudukannya sebagaimana ibu, dalam hak asuh anak dan yang lainnya.
Dalam kitab al-Kabaair, adz-Dzahabi berkata, “Maksudnya, dalam berbakti padanya, kemuliaan, dan hubungan kekerabatan.” (Juga dapat dilihat dalam Syarh Buluughul Maraam, Syaikh al-Utsaimin, 5/203)

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1904), dari ibnu Umar, bahwasanya seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar, apakah masih ada taubat untukku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Apakah kau masih memiliki ibu?” ia menjawab, “Tidak.”

Apakah kau masih memiliki seorang bibi?” ia menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Maka berbaktilah kepadanya.”

Hadits ini menunjukkan bahwa, berbakti dan berbuat baik kepada bibi, merupakan salah satu amalan yang utama, dan salah satu keutamaannya dapat menghapus dosa.

Dan diriwayatkan dari Abu Dawud (4970), dari Aisyah Radliyallahu ‘anhaa, bahwasanya ia berkata, “Wahai Rasulullah, semua sahabatku memiliki kunyah.” Beliau bersabda,

Maka aku memberimu kunyah dengan anakmu Abdullah.” Abdullah yang dimaksud adalah anak dari saudari Aisyah Radliyallahu ‘anhaa, Asma Radliyallahu ‘anhaa, yakni Abdullah bin Zubair. Maka sejak saat itu Aisyah Radliyallahu ‘anhaa memiliki kunyah Ummu Abdullah.

Hadits ini menjadi penguat hadits-hadits yang sebelumnya, bahwasanya kedudukan bibi sama dengan kedudukan ibu. Maka sudah seharusnya seorang muslim untuk berbakti dan berbuat baik kepada bibinya sebagaimana berinteraksi dengan ibu.

Yang kedua, semua bibi (baik itu saudari ayah atau saudari ibu) bagi seseorang, maka mereka adalah bibi bagi keturunan orang tersebut. Sehingga bibi dari ayah kita adalah bibi bagi kita. Begitu juga bibi dari ibu kita adalah bibi kita.

Yang ketiga, bibi merupakan salah satu mahram. Maka boleh berjabat tangan dengannya, berkhalwat dengannya, bepergian dengannya, dan boleh baginya untuk menampakkan wajah dihadapan keponakan-keponakannya. Sebagaimana yang dilakukan seorang ibu dihadapan anak-anaknya.

Dan bagi wanita muslimah, boleh baginya menampakkan aurat dihadapan mahramnya dan perempuan muslim lainnya, selama masih dalam koridor yang disepakati ulama, dan norma kesopanan yang berlaku, seperti wajah, kepala, leher, lengan hingga siku, dan sebagian betis.

Dan tidak boleh baginya untuk mengenakan pakaian yang minim dihadapan mahram dan wanita lain, juga pakaian yang transparan, dan ketat, yang menunjukkan aurat juga lekuk tubuh.

Allahu a’lam.

Sumber: http://islamqa.info/ar/229817