Pertanyaan:
Saat ini saya sedang membangun sebuah rumah, saya dengar bahwa membangun kamar mandi tidak boleh menghadap ke arah qiblat, apakah hal ini shahih? Walaupun terdapat tembok di depannya.
Jawaban:
Alhamdulillah, dishahihkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menghadap dan membelakangi qiblat ketika sedang menunaikan hajat.
Mayoritas ulama berpendapat (di antara mereka Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad Rahimahullah) bahwasanya larangan ini untuk siapa pun yang menunaikan hajat di tempat yang tidak ada pembatas antaranya dengan qiblat. Adapun di dalam bangunan, maka diperbolehkan menghadap atau membelakangi qiblat.
Adapun yang lainnya, mereka berpendapat (di antaranya Abu Hanifah, dan pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah) melarang secara mutlak menghadap ataupun membelakanginya ketika menuntaskan hajat, baik di dalam toilet ataupun di dalam bangunan.
Maka ketika masih dalam tahap pembangunan, sebaiknya anda membangun toilet atau kamar mandi yang tidak menghadap qiblat atau membelakanginya ketika hendak menuntaskan hajat di dalamnya. Pendapat ini lebih baik, karena keluar dari persilihan.
Lajnah Daimah lil-Iftaa’ pernah ditanya tentang hukum menghadap atau membelakangi qiblat ketika melaksanakan hajat di dalam bangunan atau toilet.
Pertanyaan:
Kemudian apa hukum bangunan permanen yang telah digunakan, jika di dalamnya ditemukan kamar mandi/toilet yang menghadap atau membelakangi qiblat dan tidak mungkin mengubahnya kecuali dengan menghancurkan keseluruhan kamar mandi tersebut atau sebagian sisinya agar kita dapat membenahi letaknya. Dan yang terakhir ditemukan di sekitar kita skema bangunan yang belum diselesaikan sepenuhnya, dan sebagian kamar mandinya menghadap atau membelakangi qiblat, bagaimana sebaiknya, apakah harus segera dibenahi sebelum menyelesaikan bangunan tersebut, atau menyelesaikannya saja tanpa membenahi letak kamar mandinya?
Jawaban:
Pertama,
Yang benar mengenai pendapat para ulama, bahwasanya dilarang menghadap kiblat atau membelakanginya ketika sedang menunaikan hajat, baik itu buang air kecil atau buang air besar. Dan diperbolehkan hal tersebut jika berada di dalam bangunan atau di suatu tempat yang terdapat penghalang (dalam lingkup yang dekat) antara kita dan kiblat, baik itu di depan bila sedang menghadap kiblat atau di belakang ketika sedang membelakanginya, seperti kendaraan, pohon, atau gunung dan semisalnya. Dan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu yang di tetapkan dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian duduk untuk menunaikan hajatnya maka janganlah ia menghadap qiblat atau membelakanginya.” (Riwayat Imam Ahmad, Imam Muslim)
Juga yang diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
“Jika kalian sedang buang air besar maka janganlah kalian menghadap qiblat atau membelakanginya, namun menghadaplah kalian ke timur atau ke barat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
hal ini karena letak madinah ada di selatan Mekkah. adapun kita yang berada di Indonesia, maka sebaiknya menghadap ke selatan atau utara.
Dan juga sebagaimana yang ditetapkan dari hadits Ibnu Umar Radliyallahu ‘anhumaa, bahwasanya beliau berkata,
“Suatu hari aku memanjat rumah Hafshah, maka aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menunaikan hajatnya dan beliau menghadap ke arah Syam, membelakangi Ka’bah.” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Serta diriwayatkan dari Abu Dawud, dan al-Hakim, bahwasanya Marwan al-Ashfar berkata, “Aku melihat Ibnu Umar Radliyallahu ‘anhumaa menambatkan tungganggannya ke arah kiblat, kemudian ia buang air kecil menghadap tunggangannya. Maka aku berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, bukankah hal ini telah dilarang?’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya yang dilarang (buang air kecil menghadap qiblat) adalah di ruang terbuka. Maka jika antara dirimu dan qiblat terdapat sesuatu yang menghalangi maka tidak apa-apa.’” (Abu Dawud mendiamkan hadits ini, dan al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab beliau Fathul-Baari, “Sanad riwayat ini hasan.’)
Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin ‘Abdullah Radliyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghadap qiblat ketika buang air kecil, maka setahun sebelum beliau wafat aku melihat beliau menghadap kiblat (ketika buang air kecil).” Mengenai hal ini, mayoritas ahli ilmu berpendapat dengan mengumpulkan dalil-dalil dan merujuk kepada hadits Abu Hurairah dan yang semisalnya, jika menunaikan hajat di tempat yang tidak ada penghalang. Dan hadits Jabir bin Abdullah dan Ibnu Umar Radliyallahu ‘anhum menunjukkan kebolehan menghadap qiblat (saat menunaikan hajat) jika sedang berada di dalam bangunan atau dengan penghalang, yang menghalangi antara dirinya dengan qiblat.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwasanya boleh menghadap qiblat atau membelakanginya ketika menunaikan hajat jika sedang berada di dalam bangunan.
Kedua,
Jika terdapat desain bangunan yang belum jadi, dan di dalamnya terdapat letak toilet yang menghadap qiblat atau membelakanginya, maka sebaiknya dibenahi posisinya sehingga tidak menghadap qiblat atau membelakanginya ketika ada yang menunaikan hajat di dalamnya, pendapat ini dipilih karena keluar dari perselisihan. Dan jika tidak dapat dibenahi maka tidak berdosa sebagaimana yang terdapat pada hadits-hadits tersebut.” Wallahu a’lam.