Pembahasan Ketiga Belas & Keempat Belas

Urutan Ihshaa’ (Menghafal, Memahami, dan Mengamalkan) Asma’ Allah yang Maha Indah. Barang Siapa Mengamalkannya, Niscaya Masuk Surga

Ini adalah keterangan mengenai tingkatan-tingkatan ihshaa’ asma’-Nya. Barang siapa mengamalkannya, niscaya masuk Surga. Ini adalah puncak keberuntungan, tempat keberuntungan, dan keselamatan.
• Tingkatan pertama: menghafal lafazhnya dan bilangannya,
• Tingkatan kedua: memahami makna dan yang diindikasikannya.
• Tingkatan ketiga: berdoa dengannya, seperti firman-Nya, “Hanya milik Allah Asma’ul-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul-Husna itu.” (Al-A’raaf: 180)

Dalam hal ini terdapat dua martabat. Pertama, memuji dan beribadah. Kedua, doa meminta dan memohon. Dia tidak dipuji, kecuali dengan asma’-Nya yang husna dan sifat-Nya yang Maha Tinggi. Demikian pula Dia tidak meminta, kecuali dengannya. Tidak boleh berdoa dengan kalimat, “Hai yang ada (maujud); hai sesuatu, hai Dzat, ampuni dan kasihilah saya. Akan tetapi, Dia diminta terhadap setiap yang diharapkan dengan menyebutkan nama yang sesuai dengan permintaan sehingga orang berdoa sambil bertawassul kepada-Nya dengan nama itu. Siapa yang memikirkan doa para Rasul, terlebih lagi penutup dan imam mereka (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ia akan mendapatkan doa-doa tersebut sesuai dengan penjelasan di atas. Ungkapan ini lebih baik daripada ungkapan orang yang berkata, “Dia berakhlak dengan asma’ Allah.” Hal itu bukan sebuah ungkapan yang benar, ungkapan seperti itu diambil dari perkataan filosof untuk menyerupakan diri kepada Tuhan (Ilah) sebatas kemampuan. Yang lebih baik adalah ungkapan Abul-Hakam bin Burhan, yaitu beribadah. Adapun ungkapan yang lebih baik lagi adalah yang sesuai dengan al-Qur’an, yaitu doa yang mengandung ibadah dan permohonan.

Urutannya ada empat. Yang paling jauh dari kebenaran adalah ungkapan filosof yaitu menyerupai, yang lebih baik lagi ungkapan berakhlak, dan yang lebih baik lagi adalah beribadah. Mengenai pendapat yang terbaik dari semuanya, pendapat itu adalah doa dan ini adalah lafazh al-Qur’an.

Asmaul Husna Tidak Dibatasi dengan Bilangan

Asmaul Husna tidak terhitung dan tidak dibatasi dengan bilangan. Sesungguhnya Allah memiliki asma’ dan sifat yang hanya Dia sendiri yang mengetahui dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Nya; malaikat yang dekat dan nabi yang diutus tidak ada yang mengetahuinya, sebagaimana dalam hadits yang shahih, “Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma’-Mu, yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang di antara makhluk-Mu, atau masih dalam rahasia ghaib pada-Mu yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya.”

Dia menjadikan asma’-Nya menjadi tiga bagian;

1. Nama yang dia berikan untuk diri-Nya dan Dia beritahukan kepada para malaikat-Nya atau yang lainnya, namun nama-Nya tidak disebutkan dalam kitab-Nya.
2. Dia menurunkan nama itu dalam kitab-Nya dan memberitahukannya kepada hamba-hamba-Nya.
3. Yang menjadi rahasia ghaib pada-Nya dan hanya Dia sendiri yang mengetahuinya, tidak ada seorang pun di antara makhluk-Nya yang mengetahuinya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ista’tsarta bihi”, artinya hanya Engkau yang mengetahuinya. Bukan yang dimaksud kesendirian-Nya dengan nama itu karena kesendirian ini tetap dalam asma’ yang diturunkan-Nya dalam kitab-Nya. Berdasarkan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Maka dibuka kepdaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepada-Nya dengan pujian yang tidak bisa saya ungkapkan dengan baik di sini (di dunia).”

Sebagian dari sabdanya, “Saya tidak bisa memperkirakan pujian kepada-Mu seperti Kamu memuji terhadap diri-Mu.”

Adapun sabdanya, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barang siapa yang dapat menghitungnya (Ahshaa haa), niscaya ia masuk ke dalam Surga.”

Hadits ini adalah satu kalimat yang utuh, dan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barang siapa yang dapat menghitungnya, niscaya ia masuk ke dalam Surga.”

Ini adalah sifat, bukan kalimat yang menunjukkan masa yang akan datang. Maksudnya adalah Dia memiliki asma’ yang terhitung, barang siapa yang dapat menghafalnya, niscaya dia akan masuk Surga. Ini tidak menafikan jika Dia memiliki asma’ yang lainnya. Seperti jika dikatakan, “Si fulan memiliki seratus orang budak yang dia persiapkan untuk berjihad.” Ini tidak menafikan jika orang itu memiliki budak lainnya yang dia persiapkan untuk keperluan yang lain. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani, Syarah Asma’ul Husna, Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.