Pembahasan Kesebelas: Asma’ Allah dan Sifat-Sifat-Nya Hanya Untuk-Nya, dan Persamaan Nama Tidak Menunjukkan Persamaan Yang Diberi Nama

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Allah menamakan diri-Nya dengan beberapa nama dan menamai sifat-sifat-Nya dengan beberapa nama. Apabila asma tersebut disandarkan kepada-Nya, berarti asma itu hanya untuk-Nya, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya pada sifat tersebut. Dia juga memberi nama sebagian makhluk-Nya dengan beberapa nama yang hanya untuk mereka, yang disandarkan kepada mereka sesuai dengan nama-nama tersebut apabila diputuskan dari sandaran dan pengkhususan. Persamaan nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi nama. Bersatunya nama ketika kosong dari sandaran dan pengkhususan tidak menunjukkan persamaan keduanya, juga tidak menunjukkan persamaan yang dinamai ketika sandaran dan pengkhususan. Allah menamai diri-Nya al-Hayy (Yang Maha Hidup). Allah berfirman, “Allah tidak ada Ilah (yang berhak diibadhi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya)…” (Al-Baqarah: 255)

Dia pun memberi nama sebagian hamba-Nya hay(yang hidup) dalam firman-Nya, “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup….” (Ar-Ruum: 19)

Bukanlah al-hayy dalam ayat ini seperti al-Hayy pada ayat yang di atas, karena firman-Nya “al-Hayy” adalah nama Allah yang khusus bagi-Nya, dan firman-Nya, “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup….” (Ar-Ruum: 19)

Nama bagi makhluk hidup yang khusus baginya. Keduanya sama apabila disebutkan secara mutlak (dalam kalimat yang tidak terikat) dan kosong dari pengkhususan. Namun, penyebutan secara mutlak tidak ada kenyataannya. Tetapi, akal bisa memahami adanya persamaan yang disebutkan dalam dua hal yang disebutkan secara mutlak. Ketika disebutkan secara khusus, hal ini dibatasi dengan perbedaan yang membedakan antara Khaaliq (pencipta) dari makhluk (yang diciptakan) dan antara makhluk dari Khaaliq.

Semua asma dan sifat Allah harus diberlakukan seperti ini, di samping kesamaan dalam penyebutan. Namun, karena yang satu dikhususkan dan disandarkan kepada Allah, itulah yang menghalangi adanya kesamaan antara makhluk dan Khaaliq (yang menciptakan) sebagai keistimewaan-Nya.

Sebagaimana Allah menamakan diri-Nya ‘Aliim, Haliim (Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun), Dia juga memberikan kepada sebagian hamba-Nya dengan nama ‘aliim. Allah ta’alaa berfirman, “…. Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang ‘aliim.” (Adz-Dzariyaat: 28)

Maksud dari ayat di atas adalah Nabi Ishaq ‘Alaihissalaam. Adapun anak Ibrahim yang lain disebut “Haliim”, Allah ta’alaa berfirman, “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang haliim (amat sabar).” (Ash-Shaffaat: 101)

Maksud ayat ini adalah Ismail ‘Alaihissalaam. Al-‘Aliim (di sini) bukan seperti al-‘Aliim (nama Allah) begitu juga dengan al-Haliim.

Dia juga menyifati diri-Nya dengan sifat mengajar dan mensifati hamba-Nya dengan sifat yang sama dalam firman-Nya,
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur’an Dia Menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahmaan: 1-4)

Firman-Nya juga, “…Kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu…” (Al-Maaidah: 4)

Allah ta’alaa juga berfirman,“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah…” (Ali ‘Imran: 164).

Dia juga mensifati diri-Nya denga membuka kedua tangan-Nya, seperti firman-Nya, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakana itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Al-Maaidah: 64)

Dia juga mensifati sebagian hamba-Nya denga membuka kedua tangan dalam firman-Nya,“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya..” (Al-Israa: 29)

Bukanlah tangan Allah seperti tangan makhluk. Dia membuka tangan-Nya juga bukan seperti makhluk membuka tangan mereka. Apabila yang dimaksud dengan membuka adalah memberi dan pemurah, maka tidaklah pemberian Allah seperti pemberian makhluk-Nya dan tidaklah sifat pemurah-Nya seperti sifat pemurah mereka. Perbandingan seperti telah disebutkan.

Sudah menjadi suatu keharusan untuk menetapkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dan menolak penyerupaan-Nya dengan makhluk-Nya. Siapa yang berkata, ‘Allah tidak memiliki ilmu, kekuatan, rahmat, dan perkataan. Dia tiada mencintai dan meridhai, tidak memanggil dan menyeru, tidak pula bersemayam.’ Orang itu adalah orang yang meniadakan sifat Allah. Dan mengingkari sifat Allah, karena dia menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tiada dan benda-benda mati.

Siapa yang berkata, ‘Allah memiliki ilmu seperti ilmu saya, atau kekuatan seperti kekuatan saya, atau memiliki cinta seperti cinta saya, atau keridhaan seperti keridhaan saya, atau dua tangan seperti dua tangan saya, atau bersemayam seperti bersemayam saya.’ Dia adalah orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, menyamakan Allah dengan hewan. Akan tetapi kita harus menetapkan sifat tanpa menyamakan dan mensucikan tanpa meniadakan maknanya.

Ibnul-Qayyim Rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya nama dan sifat dari jenis ini dapat dilihat dari tiga sudut pandangan;
1. Memandang sifat dan nama apa adanya, tanpat terikat dengan Rabb atau hamba.
2. Memandang dengan mengaitkannya kepada Rabb yang khusus bagi-Nya.
3. Memandang dengan mengaitkannya kepada hamba yang terikat dengannya.

Maka nama yang lazim bagi Dzat dan hakikat-Nya, nama itu ditetapkan untuk Rabb dan untuk hamba, bagi Rabb dari nama itu yang pantas dengan kesempurnaan-Nya dan bagi hamba dari nama itu yang pantas dengannya. Misalnya, nama as-Samii’, yang konsekuensinya adalah dapat mendengar segala yang didengar. Seperti juga nama al-Bashiir, yang konsekuensinya adalah melihat segala yang dapat dilihat. Begitu pula al-‘Aliim, al-Qadiir dan seluruh asma’.

Sesungguhnya syarat benarnya pemakaian nama tersebut adalah adanya makna dan hakikat bagi yang diberi sifat. Selama nama in lazim (tetap), sesungguhnya syarat pemakaiannya adalah adanya makna dan hakikatnya bagi yang disifatkan dengannya. Selama asma’ ini tetap bagi dzatnya, maka menetapkannya bagi Rabb tanpa diragukan lagi, bahkan sifat itu tetap bagi-Nya dari sisi yang tidak ada makhluk yang menyerupai-Nya pada sifat itu dan Dia tidak menyerupai mereka. Siapa yang menafikannya dari-Nya dengan alasan nama itu juga dipakai oleh makhluk, berarti ia telah berbuat ilhad pada asma’-Nya dan meningkari sifat kesempurnaan-Nya.

Siapa yang menetapkannya bagi-Nya atas sisi yang diserupai oleh makhluk-Nya padanya, sungguh ia telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya. Maka siapa yang menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya, niscaya ia telah kafir. Siapa yang menetapkannya bagi-Nya atas sisi yang tidak ada yang menyerupai-Nya dari makhluk-Nya, sebagaimana yang pantas dengan kebesaran dan keagungan-Nya, sungguh ia telah berlepas dari tasybih dan ta’thil. Inilah jalan Ahlus-Sunnah.

Apa pun yang melazimi sifat karena disandarkan kepada hamba, sifat itu harus dinafikan dari Allah, seperti tidur, ngantuk, ingin makan, dan lainnya yang selalu menyertai kehidupan hamba. Demikian juga apa yang menyertai kehendaknya, seperti gerakan jiwa dalam mencari yang bermanfaat dan mengindari dari yang membawa kepada kemudharatan. Demikian pula yang menyertai ‘uluww-nya, seperti berhajat (memerlukan) kepada yang lebih tinggi di atasnya, keadaannya yang dipikul, yang memerlukan, serta diliputi dengannya. Semua ini harus ditolak dari Allah al-Qudduus as-Salaam (Yang Maha Suci dan Maha Sejahtera). Apa pun yang selalu menyertai sifat dari sisi khusus Allah dengan sifat tersebut, sesungguhnya hal itu tidak ditetapkannya untuk makhluk dengan sisi seperti ilmu-Nya yang selalu melaziminya (menyertainya) al-Qidaam (dahulu), al-wujub, dan meliputi dengan segala sesuatu. Qudrat dan Iradat-Nya, dan semua sifat-Nya, sesungguhnya yang khusus bagi-Nya dari sifat tersebut, tidak boleh diterapkan untuk makhluk.

Apabila kaidah ini sebagai sebuah kabar dan memahaminya sebagaimana mestinya, niscaya telah selamat dari dua penyakit yan merupakan sumber bencana para ahli kalam, yaitu penyakit ta’thil (peniadaan) dan penyakit tasybiih (penyerupaan). Apabila anda telah menyempurnakan keududkan ini sebagaimana mestinya sebagai tashawwur (gambaran), berarti menetapkan hakikat bagi Allah asma’ Yang Maha Indah dan sifat Yang Maha Tinggi. Maka telah selamat dari ta’thil. Dan jika menolak darinya keistimewaan (yang hanya ada) pada makhluk dan menyerupai mereka, maka telah selamat dari tasybiih.

Ibnul Qayyim Rahimahullah juga berkata, Pandangan (para ulama) berbeda pada masalah asma’ yang dipakaikan kepada Allah dan makhluk seperti al-Hayy, as-Samii’, al-Bashiir, al-‘Aliim, al-Qadiir, al-Malik, dan yang seumpamanya.

Pendapat yang pertama, segolongan dari ahli kalam berkata, ‘Ia adalah hakikat pada hamba dan majaz pada Rabb.’ Ini adalah pendapat ghulaat al-Jahmiyyah, yang merupakan perkataan yang paling keji dan paling rusak.

Yang kedua, lawannya, bahwasanya sifat itu hakikat pada Rabb dan majaz pada makhluk. Ini adalah pendapat Abul ‘Abbas an-Naasyi.

Yang ketiga, semua adalah hakikat pada keduanya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah, dan inilah yang benar. Perbedaan hakikat keduanya tidak mengeluarkannya sebagai hakikat pada keduanya. Bagi Rabb, yang pantas dengan kebesaran-Nya dari sifat tersebut dan bagi hamba, yang pantas baginya dari sifat tersebut pula.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asmaul Husna. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.