Perkata Pertama:
Bahwasanya sesuatu yang masuk pada bab berita tentang Allah lebih luas daripada yang termasuk dalam bab asma’ dan sifat-Nya, seperti sesuatu, yang ada, yang berdiri sendiri, Dia memberitakan tentang diri-Nya dengan hal itu, dan itu semua tidak termasuk dalam asma’-Nya yang husna dan sifat-Nya yang tinggi.
Perkara Kedua:
Sesungguhnya apabila memiliki makna kesempurnaan dan kekurangan, sifat ini tidak termasuk dalam asma’-Nya secara mutlak, tetapi kesempurnaan dari sifat itu dipakaikan pada-Nya. Ini seperti al-Muriid, al-Faa’il, dan as-Shaani’. Sesungguhnya lafazh-lafazh ini bukan termasuk asma’-Nya. Oleh sebab itu, tidak benar orang yang menamakan-Nya ash-Shaani’ secara mutlak, tetapi Dialah yang berbuat apa yang dikehendaki-Nya karena al-Iradah, al-Fi’il, dan as-Shaani’ itu bisa terbagi. Oleh karena itu, apabila dipakaikan atas diri-Nya sifat yang demikian, niscaya Dia menisbatkan untuk Dzat-Nya dengan yang paling mulia, baik berupa perbuatan maupun berita.
Perkara Ketiga:
Tidak harus menjadikan sebuah nama dari berita dengan fi’il (kata kerja) yang muqayyad (terikat dengan kondisi tertentu) tentang-Nya, seperti kesalahan sebagian mutaakhiriin, mereka menjadikan sebagian dari Asma’ul-Husna, seperti al-Mudhill (yang menyesatkan), al-Faatin (yang membuat fitnah), al-Maakir (yang melakukan tipu daya). Maha Suci Allah dari perkataan mereka. Sesungguhnya asma’ ini tidak bisa dipakaikan kepada-Nya, kecuali af’al yang khusus dan tertentu. Tidak boleh nama-nama itu diberikan kepada Allah secara mutlak. Wallahu a’lam.
Perkara Keempat:
Asma’-Nya yang husna adalah nama dan sifat. Bersifat dengan-nya (asma’) tidak menafikan ‘alamiyyah (pemberian nama). Berbeda dengan sifat hamba, sifat mereka menafikan pemberian nama kepada mereka karena sifat mereka beragam dan bermacam-macam (ada yang positif dan ada yang negatif). Hal itu menafikan pemberian nama yang khusus, berbeda dengan sifat Allah.
Perkara Kelima:
Sesungguhnya asma’-Nya yang husna memiliki dua sudut pandangan, dipandang dari sisi Dzat dan dipandang dari sisi sifat. Sifat itu dipandang dari yang pertama merupakan kalimat sinonim, sedangkan dari yang kedua merupakan diferensial.
Perkara Keenam:
Sesungguhnya perkara-perkara yang berkaitan dengan asma’ dan sifat Allah adalah tauqifiiyyah (berdasarkan wahyu). Adapun yang dipakaikan atas-Nya berupa berita, tidak mesti tauqif (berdasarkan wahyu), seperti al-Qadiim (yang dahulu), asy-Syay-u (sesuatu), al-Maujuud (ada), dan al-Qaaim binafsih (yang berdiri sendiri). Ini adalah persoalan yang membedakan pada masalah asma’-Nya, apakah harus tauqifiyyah (berdasarkan wahyu) atau boleh dipakaikan sebagiannya selama tidak ada dalilnya?
Perkara Ketujuh:
Sesungguhnya nama apabila dipakaikan kepada-Nya, dari nama itu bisa diambil bentuk fi’il (kata kerja) dan mashdar (morfologis). Maka dari itu, dikabarkan tentang-Nya dalam bentuk kata kerja dan morfologis, seperti as-Samii’, al-Bashiir, dan al-Qadiir. Dari nama itu dipakaikan (dalam bentuk mashdar): as-Sam’ (pendengaran), al-Bashar (penglihatan), dan al-Qudrah (kekuasaan). Dari nama itu juga dipakaikan dalam bentuk kata kerja. Hal ini berlaku jika kata kerjanya transitif. Jika kata kerjanya intransitif, maka tidak bisa dijadikan kabar dari nama itu dengan kata kerja, seperti al-Hayy (Yang Maha Hidup), tetapi dipakaikan untuk nama dan morfologis saja, bukan kata kerjanya. Tidak boleh dikatakan hayya (Dia hidup).
Perkara Kedelapan:
Semua perbuatan-Nya berasal dari asma’ dan sifat-Nya, dan seluruh nama makhluk berasal dari perbuatan mereka. Maka ar-Rabb, semua perbuatan-Nya berasal dari kesempurnaan-Nya. Adapun makhluk, kesempurnaannya berasal dari perbuatannya, maka diberikan nama kepadanya setelah ia menyempurnakan perbuatannya. Ar-Rabb senantiasa sempurna, maka perbuatan-Nya terjadi dari kesempurnaan-Nya karena Dia sempurna Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya yang bersumber dari kesempurnaan-Nya. Dia sempurna lalu berbuat, sedangkan makhluk berbuat lalu menyempurnakan dengan kesempurnaan yang pantas dengannya.
Perkara Kesembilan:
Sesungguhnya sifat ada tiga bagian; sifat kesempurnaan, sifat kekurangan, dan sifat yang tidak kekurangan juga tidak sempurna. Jika ada pembagian lain yang menuntut bagian yang keempat, maka bagian itu adalah sifat kesempurnaan dan kekurangan dilihat dari dua sudut pandan yang berbeda. Ar-Rabb Maha Suci dari tiga sifat tersebut dan Dia hanya bersifat dengan bagian yang pertama. Semua sifat-Nya adalah sifat kesempurnaan yang mutlak. Dia disifati dengan semua sifat yang paling sempurna dan milik-Nya kesempurnaan yang paling lengkap. Seperti inilah asma’-Nya yang mengindikasikan kepada sifat-Nya, yang merupakan sebagus-bagus nama yang paling sempurna. Tidak ada nama yang lebih bagus darinya, dan tidak ada nama lainya yang menempati tempatnya, dan tidak pula menunaikan maknanya. Menjelaskan nama darinya (Asma’ul-Husna) dengan yang lainnya bukanlah penjelasan dengan sinonim yang mutlak, tetapi sekedar mendekatkan pengertian dan memberikan pemahaman.
Apabila Anda telah mengenal hal ini, maka milik-Nyalah semua sifat kesempurnaan, sebagus-bagus nama, yang paling sempurna dan yang paling lengkap secara makna. Selain itu, sejauh-jauh, sesuci-sucinya Dia dari adanya cela dan kekurangan. Milik-Nya sifat al-Idraakat al-‘Aliim al-Khaabir, bukan al-‘aaqil al-faqih, as-Samii’ al-Bashir, bukan as-saami’ al-baashir dan an-naazhir. Sesungguhnya milik-Nya sifat kebaikan, seperti al-Barru (Yang melimpahkan kebaikan), ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang), dan al-Waduud (Yang Maha Pengasih), bukan sifat asy-syufuuq dan semisalnya. Seperti itu pula sifat al-‘Aliyy (Yang Maha Tinggi), al-‘Azhiim (Yang Maha Agung) bukan ar-Rafii’ asy-Syariif. Demikian pula al-Kariim (Yang Maha Pemurah), bukan as-Sakhiiy; al-Khaaliq (Yang Menciptakan), al-Baari’ (Yang mengadakan), al-Mushawwir (Yang memberi bentuk dan rupa), bukan al-Faa’il as-Shaani’ al-musyakkil. Dia al-Ghafuur (Yang memberi ampunan), al-‘Afuww (Yang memberi maaf), bukan ash-Shafuuh as-Saatir. Demikian pula seluruh asma’-Nya berlaku atas diri-Nya dari asma’ itu yang paling sempurna dan paling bagus dan tidak ada yang lain, yang bisa menempati tempat-Nya. Semua asma’-Nya adalah yang terbaik, sebagaimana sifat-Nya adalah yang paling sempurna. Tidak mungkin berpaling dari nama yang Dia berikan untuk diri-Nya kepada yang lain, sebagaimana tidak melewati sifat yang disifati-Nya untuk diri-Nya dan disifati oleh Rasul-Nya, kepada sifat yang diberikan oleh mubthiluun dan mu’aththiluun (yang meniadakan sifat).
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani, Syarah Asma’ul Husna, Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.