Bangunan-Bangunan di Surga

Dalam Shahihain dari Abu Sa’id al-Khudri Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya para penghuni surga benar-benar saling melihat dalam tempat-tempat yang tinggi dengan orang-orang yang ada di atas mereka, sebagaimana kamu saling melihat –atau memandang—bintang yang tenggelam di ufuk timur atau barat, karena perbedaan tingkat mereka masing-masing.” Para shahabat berkata, “Ya Rasulullah, itu adalah tempat tinggal para nabi yang tidak bisa dicapai oleh selain mereka.” Rasul bersabda, “Tidak, demi Allah Yang Menggengam jiwaku, sesungguhnya itu adalah tempat tinggal para nabi, dan juga tempat tinggal orang-orang yang beriman kepada Allah dan mempercayai para utusan Allah.”

At-Thabrani meriwayatkan dari Fatimah Radliyallahu ‘anhaa, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dimanakah ibu kami, Khadijah?”

Nabi menjawab, “Di sebuah rumah dari bambu, di mana tidak ada perkataan yang sia-sia maupun susah-payah, bersama Maryam dan Asiyah (mantan) istri Fir’aun.”

“Apakah seperti bambu ini?” Tanya Fatimah. Beliau menjawab, “Bukan, tapi dari bambu yang tersusun dengan mutiara besar, mutiara kecil dan permata yaquut.”

Ath-Thabrani mengatakan, hadits ini diriwayatkan dari Fatimah hanya dengan sanad ini, yakni hanya lewat Shafwan bin Amr sendiri.

Namun ternyata, hadits ini gharib dan tidak ada syahidnya, dalam sebuah hadits shahih, yaitu,

Sesungguhnya Allah memerintahkan aku memberi kabar gembira kepada Khadijah, bahwa dia akan memperoleh sebuah rumah dari bambu di surga, di mana tidak ada kebisingan maupun susah payah.”

Sebagian ulama mengatakan, jika rumah Khadijah terbuat dari bambu mutiara (Qashab al-Lu’lu’) itu tidak lain karena dia telah meraih predikat pendahulu (Qashab as-Sabaq) dalam beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan dengan disebutkannya Maryam dan Asiyah dalam hadits ini, terkandung suatu isyarat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak akan menikahi mereka berdua di akhirat. Bahkan sebagian ulama berupaya mengaitkan hal ini dengan pernyataan al-Qur’an pada surat at-Tahrim, pada firman Allah ta’alaa,

……yang janda dan yang perawan.” (At-Tahrim: 5). Dimana pada akhir surat ini diceritakan tentang Asiyah dan Maryam. Upaya seperti ini diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib, atau dari para ulama salaf lainnya. Wallahu a’lam.

Selanjutnya Allah ta’alaa berfirman,
Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah-kemah. Maka, nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 72-73)

Dalam Shahihain, lafadz hadits ini menurut Muslim, dari Abu Bakrah bin Abu Musa al-Asy’ari, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya orang mukmin dalam surga benar-benar mempunyai kemah dari sebutir mutiara berongga, panjangnya 60 mil. Dalam kemah itu ada keluarga-keluarga yang dia kelilingi tanpa saling melihat.”

Sedang menurut riwayat al-Bukhari, 30 mil, dan dalam riwayat shahih lainnya, 60 mil.

Dalam Shahihain terdapat riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari Radliyallahu ‘anhu, dalam hadits Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Aku dimasukkan ke dalam surga, ternyata di sana banyak batu-batu mutiara besar, dan ternyata tanahnya adalah kesturi.”

Dan menurut riwayat Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Ibnu Shayyad bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanah surga, maka beliau menjawab,

Tanahnya debu lembut yang putih, kesturi murni.”

Sedangkan Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang Yahudi,

“Aku pernah bertanya kepada mereka tentang tanah surga.” –maksudnya, benarkah berupa debu lembut yang putih–.”
Beliau menanyai mereka, maka mereka menjawab, “Tanahnya berupa roti, hai Abul Qasim.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Roti dari debu lembut yang putih.” Melengkapi pernyataan mereka.

Sumber: Ibnu Katsir. Huru-Hara Hari Kiamat “An-Nihayah: Fitan wa Ahwaalu Akhiruz-Zamaan”. Terj. Anshari Umar Sitanggal, H. Imron Hasan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002.