Larangan Berfatwa Tanpa Ilmu

Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini karam', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung," (An-Nahl: 116).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa diberi fatwa tanpa ilmu maka dosanya adalah atas orang yang memberi fatwa tersebut. Barangsiapa menganjurkan satu perkara kepada saudaranya seagama sementara ia tahu bahwa ada perkara lain yang lebih baik berarti ia telah mengkhianatinya." (Hasan, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [59], Abu Dawud [3657], Ibnu Majah [53], Ahmad [321 dan 365], ad-Darimi [1/57], al-Hakim [1/102-103], al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiib wal Mutafaqqih [11/155]).

Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, "Aku mendengar Ibnu 'Abbas r.a. menceritakan tentang seorang laki-laki di zaman Nabi saw. yang terluka pada bagian kepalanya, kemudian malamnya ia mimpi basah. Lalu ia disuruh mandi. Maka ia pun mandi. Selesai mandi tubuhnya kejang-kejang lalu mati. Sampailah beritanya kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Bukankah bertanya merupakan obat kebodohan’?” (Shahih, HR Ibnu Majah [572], ad-Daraquthni [1/190/4], al-Hakim [1/178], ath-Thabrani [11472], Abu Nu'aim dalam al-Hilyab [111/317-318]).

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Bagi yang tahu hendaklah mengatakan apa yang ia ketahui. Dan bagi yang tidak tahu hendaklah mengatakan, Allaahu a’lam. Sebab termasuk ilmu adalah mengatakan, 'Aku tidak tahu' dalam perkara yang tidak ia ketahui ilmunya." Sebab Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya, "Katakanlah (hai Muhammad), (Aku tidak meminta upab sedikitpun ke-padamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan," (Shaad: 86).

Kandungan Bab:

  1. Seorang mufti berbicara atas nama Allah, maka hendaklah ia berhati-hati agar tidak berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Oleh sebab itu Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin 'an Rabbil 'Aalamiin [1/7-8], "Apabila kedudukan sebagai juru bicara raja merupakan kedudukan yang sangat terhormat, semua orang tahu kemuliaannya dan merupakan kedudukan yang paling tinggi, lalu bagaimanakah pula kedudukan (sebagai) juru bicara Raja langit dan bumi SWT? Orang yang diangkat sebagai juru bicara Allah haruslah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, ia harus menyadari betapa agung kedudukannya tersebut. Janganlah dadanya merasa berat untuk mengatakan kebenaran dan menyatakannya. Karena sesungguhnya Allah menolongnya dan menunjukinya. Bagaimana tidak, itulah kedudukan yang Allah sendirilah yang menanganinya, Dia berfirman, "Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an’," (An-Nisaa': 127).

    Cukuplah sebagai bukti kehormatan dan kemuliaan tugas tersebut bahwa Allah SWT sendirilah yang menanganinya. Allah SWT berfirman, "Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah, Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah’,” (An-Nisaa': 176).

    Hendaklah seorang mufti mengetahui siapakah yang ia wakili dalam fatwanya. Dan hendaklah ia sadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah SWT.

    Oleh sebab itu para ulama Salaf sangat takut mengeluarkan fatwa. Mereka sadar betul kedudukannya serta bahayanya bila memang tidak mampu. Mereka tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidak mau mengeluarkan fatwa hingga mereka anggap sudah layak untuk berfatwa. Namun mereka lebih suka dilepaskan dari tugas tersebut.

    Diriwayatkan dari 'Abdurrahman bin Abi Laila berkata, "Aku telah bertemu dengan seratus dua puluh orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya yang lainlah yang menjawabnya," (HR Ad-Daarimi [53], Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqaat [VI/110], Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [58], al-Fasawi dalam kitab al-Ma'rifah wat Taariikh [II/817-818]). 

  2. Oleh karena itu hendaklah orang-orang jahil menjauhi kedudukan ini, khususnya dari kalangan fuqaha dan orang-orang yang mengaku berilmu, namun sebenarnya tidak punya ilmu; yang cepat sekali mengeluarkan fatwa karena takut dibilang bodoh atau karena ingin mendapat perhatian dalam majelis. 
  3. Ketahuilah wahai hamba Allah, mengeluarkan fatwa berarti engkau telah berbicara atas nama Allah tentang perintah dan larangan-Nya. Dan engkau akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya. Oleh sebab itu, bila engkau ditanya tentang suatu masalah maka jangan pikirkan keselamatan si penanya, namun pikirkanlah dulu keselamatan dirimu. Jika engkau mampu menjawabnya, maka jawablah! Jika tidak mampu, maka lebih baik diam. Sebab, menahan diri dalam kondisi seperti itu lebih selamat, lebih bijaksana dan lebih menunjukkan kedalaman ilmumu!

Wahai para mufti, periksalah benar-benar fatwa yang engkau keluarkan. Engkau telah membawa dirimu kepada perkara yang sangat berbahaya, janganlah engkau keluarkan fatwa kecuali bila keadaan sangat darurat.

Suatu hari, al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya lalu ia menjawab, "Allahu a'lam." Kemudian ia berkata, "Demi Allah, lebih bagus seseorang itu hidup jahil, setelah mengetahui hak-hak Allah atas dirinya, daripada mengatakan apa yang tidak ia ketahui," (Shahih, HR ad-Darimi [1/48], Abu Khaitsamah dalam kitab al'llmu [90], al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqaih [11/173], dan al-Fasawi dalam kitab al-Ma'rifab Taariikb [1/546-547]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/234-238.