Larangan Mencampuri Masalah Ughluuthah [1] (Pelik) Dan Masalah Araa-Iyah [2] (Andai-Andai)

Allah SWT berfirman, "Katakanlah (hai Muhammad): 'Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan," (Shaad: 86).

Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya terhadap kaum muslimin adalah yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan lalu menjadi haram gara-gara pertanyaannya." 

Diriwayatkan dari Sahal bin Sa'ad r.a. mengatakan, "Rasulullali saw. membenci banyak bertanya tentang masalah-masalah pelik dan beliau mencelanya," (HR Bukhari [4745] dan Muslim [492]).

Kandungan Bab:

  1. Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitabnya Jaami' Bayaanil 'llmi wa Fadhlih [11/1054], sebagai berikut, "Sikap yang dicela dalam hadits-hadits Rasulullah saw. dan atsar para Sahabat dan Tabi'in di atas adalah berbicara tentang hukum-hukum syari'at dan perkiraan-perkiraan hukum, menyibukkan diri menghafal masalah-masalah pelik dan rumit, menganalogikan masalah-masalah furu' dan masalah-masalah kontemporer satu sama lain tanpa mengembalikannya kepada nash-nash yang ada, mengorek-ngorek 'illat hukum (alasan hukum), menggunakan logika untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi, mengembangkan permasalahan tersebut dan membuat cabang-cabangnya sebelum terjadi, lalu membicarakannya atas dasar logika yang mirip dengan praduga padahal hal tersebut belum terjadi.”

    Para ulama mengatakan, "Menyibukkan diri dengan masalah-masalah seperti itu dan melarutkan diri ke dalamnya dapat menyebabkan terhapusnya sunnah-sunnah, mendorongnya untuk meninggalkannya dan menyebabkan ia meninggalkan sikap yang seharusnya ia ambil, yakni mendalami Kitabullah dan makna-maknanya." 

  2. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata dalam kitab Fat-hul Baari [XIII/267] sebagai berikut, "Sejumlah alim ulama mengatakan, 'Kesimpulannya adalah, pembahasan masalah-masalah yang belum ditemukan nash yang membicarakannya terbagi menjadi dua bagian:
    1. Pembahasan tentang kedudukan masalah tersebut ditinjau dari implikasi nash yang ada dengan berbagai bentuknya. Pembahasan seperti ini diperlukan dan tidaklah terlarang. Bahkan bisa jadi wajib bagi para alim mujtahid yang berkewajiban untuk itu. 
    2. Meneliti lebih dalam bentuk-bentuk persamaan dan perbedaan, sehingga membedakan dua perkara yang sejenis dengan alasan yang tidak mu'tabar dalam pandangan syariat padahal terdapat sifat yang menyamakan keduanya. Atau sebaliknya, menyamakan dua perkara yang berbeda dengan alasan adanya sifat yang tidak mu'tabar misalnya. Inilah yang dicela oleh ulama Salaf. Dan inilah yang dimaksud dalam hadits marfu' dari 'Abdullah bin Mas'ud r.a. yang berbunyi, "Celakalah orang-orang yang melewati batas," (HR Muslim).

    Para ulama menilai pembahasan seperti itu hanya membuang-buang waktu tanpa faidah. Contoh lainnya adalah mengembangkan sebuah permasalahan yang tidak ada asal usulnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak pula ijma', serta sangat jarang sekali terjadi. Lalu menghabiskan waktu untuk membahasnya yang sekiranya waktu tersebut digunakan untuk perkara lain tentu lebih baik. Terlebih lagi bila dapat membuatnya lupa menjelaskan masalah-masalah yang justru sering terjadi. Lebih parah dari itu adalah, banyak membahas perkara-perkara ghaib yang sebenarnya telah dianjurkan oleh syariat supaya mengimaninya dan tidak membahas kaifiyatnya. Banyak diantara perkara-perkara ghaib tersebut tidak didapatkan persamaannya dalam alam nyata. Misalnya pertanyaan tentang waktu terjadinya hari Kiamat, tentang ruh, tentang umur ummat ini dan masalah-masalah sejenisnya yang hanya dapat diketahui dengan wahyu semata. Kebanyakan dari perkara tersebut tidak disinggung dalam nash-nash, jadi wajib diimani tanpa harus membahasnya lebih lanjut. Yang lebih parah lagi dari itu adalah pembahasan yang apabila dapat digali lebih dalam dapat menumbuhkan keraguan dalam hati.” 

  3. Masalah-masalah yang tidak disinggung dalam syari'at merupakan kemudahan dari Allah SWT untuk ummat ini. Maka hendaklah menerima kemudahan dan kasih sayang dari Allah tersebut. Sebab Allah tidak menyinggungnya bukanlah karena lengah atau lupa atau tidak tahu. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah Rabb-mu lupa," (Maryam: 64). 
  4. Mengembangkan masalah dan membuat cabang-cabangnya dapat menyeret kepada sikap tidak mematuhi aturan syari'at, meremehkan kaidah-kaidahnya dan dari situ akan lahir perdebatan, membangkitkan pertengkaran dan kebencian antara dua pihak yang berlainan pendapat. Seperti yang menimpa juru dakwah yang fanatik kepada madzhab tertentu dari dulu sampai sekarang.

——————————————–

[1]Yakni masalah-masalah yang belum terjadi, yang biasanya si penanya berkata, "Bagaimana pendapatmu bila terjadi begini dan begini? Padahal masalah tersebut belum terjadi."

[2]HR Bukhari [7289] dan Muslim [2358]

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/2321-234.