Surah Al-Fatihah Bag. 9

Cover Tafsir

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ


Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1:6)

Para jumhurul ulama membacanya dengan memakai huruf “ص”. Ada pula yang membaca dengan huruf “ز” ( الزِّرَاطً ). Al-Farra’ mengatakan, “hal ini merupa-kan bahasa Bani Udzrah dan Bani Kalab.”

Setelah menyampaikan pujian kepada Allah Ta’ala, dan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya, “Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”

Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat sempurna bagi seorang yang mengajukan permintaan. Pertama ia memuji Rabb yang akan diajukan permintaan kepada-Nya dan kemudian memohon keperluannya sendiri dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang ber-iman, melalui ucapannya, Î اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ Ï “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.”

Karena yang demikian itu akan lebih memudahkan pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Untuk itu Allah Tabaraka wa Ta’ala membimbing kita agar senantiasa melakukannya, sebab yang demikian itu yang leibih sempurna.

Permohonan juga dapat diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa ‘alaihissalaam:

Î رَبِّ إِنِّي لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ Ï

“Ya Rabbku, sesung-guhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.(QS. Al-Qashash: 24)

Permintaan itu bisa didahului sebelumnya dengan menyebutkan sifat-sifat siapa yang akan dimintai, seperti ucapan Dzun Nun (Nabi Yunus ‘alaihissalaam):

Î لآإِلَهَ إِلآ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ Ï

“Tidak ada ilah selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Anbiya’: 87)

Tetapi terkadang hanya dengan memuji kepada-Nya, ketika meminta. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

أَ أَذْكُرُ حَاجَتِىْ أَمْ قَدْ كَفَانِىْ * حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيْمَتَكَ الْحَيَـاءُ

إِذَا أَثْنَـى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًا * كَفَـاهُ مَنْ تَعَرَضَّهُ الثَّـنَائُ

Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu.

Sesungguhnya rasa malu merupakan adat kebiasaanmu.

Jika suatu hari seseorang memberikan pujian kepadamu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan.

Kata hidayah pada ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata hidayah (muta’addi/transitif) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai pelengkapnya), seperti pada firman-Nya di sini, Î اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ Ï “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus”. Dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, berikan-lah rizki kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada kami.

Sebagaimana yang ada pada firman-Nya: Î وَ هَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ Ï “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. Al-Balad: 10) Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta’addi (transitif) dengan memakai kata “ila“, sebagaimana firman-Nya: Î اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ Ï “Allah telah memilihnya dan menunjukkan-nya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 121)

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah dengan pengertian bim-bingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya: Î وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ Ï “Dan sesungguhnya engkau (Rasulullah e) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura’ 52)

Terkadang ia (kata hidayah) menjadi muta’addi dengan memakai kata “li“, sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni surga: Î الْحَمْدُ للهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا Ï “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada surga ini.(QS. Al-A’raf: 43) Artinya, Allah memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami sebagai penghuninya.

Sedangkan mengenai firman-Nya, “الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ” Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, ahlut tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa ash-shirathal mustaqim itu adalah jalan yang terang dan lurus.

Kemudian terjadi perbedaan ungkapan para mufassir baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dalam manafsirkan kata ash-Shirath, meskipun pada prinsipnya kembali kepada satu makna, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya.

Jika ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan shalat maupun diluar shalat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikan itu termasuk tahshilul hashil (berusaha memperoleh sesuatu yang sudah ada)?

Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah Ta’ala tidak akan membimbing ke arah itu. Sebab seorang hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan situasi agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelangsungan hidayah, karena ia tidak kuasa memberikan manfaat atau mudharat kepada dirinya sendiri kecuali Allah menghendaki.

Oleh karena itu Allah Ta’ala selalu membimbingnya agar ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan pertolongan, keteguhan, dan taufik.

Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi Allah taufik untuk memohon kepada Allah. Sebab Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang jika ia memohon kepada-Nya, apalagi permohonan orang yang dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya, pada tengah malam dan siang hari. Firman Allah Ta’ala:

Î يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ءَامِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِنْ قَبْلُ Ï

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.(QS. An-Nisa’: 136)

Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tetap beriman. Dan hal itu bukan termasuk tahshilul hashil, karena maksudnya adalah ketetapan, kelangsungan, dan kesinambungan amal dapat yang membantu kepada hal tersebut.

Allah Ta’ala juga berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang ber-iman untuk mengucapkan (doa):

Î رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَـةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ Ï

“Ya Rabb kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri pentunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, ka-rena sesungguhnya Engkau Mahapemberi (karunia).(QS. Ali-Imran: 8)

Abu Bakar ash-Shiddiq pernah membaca ayat ini dalam rakaat ketiga pada shalat maghrib secara sirri (tidak keras), setelah selesai membaca al-Fatihah.

Dengan demikian, makna firman-Nya, Î اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ Ï adalah “Semoga Engkau terus berkenan menujuki kami di atas jalan yang lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya.”


Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)