Surah Al-Fatihah Bag. 8

Cover Tafsir

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5)

Para ahli qira’at sab’ah dan jumhurul ulama membacanya dengan mem-berikan tasydid pada huruf ya’ pada kata “إِيَّاكَ”. Sedangkan kata “نَسْتَعِيْنُ” dibaca dengan memfathahkan huruf “ن” yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira’at. Menurut bahasa, kata ibadah berarti tunduk patuh. Sedangkan menurut syari’at, ibadah berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.

Didahulukannya maf’ul (objek), yaitu kata Iyyaka, dan (setelah itu) di-ulangi lagi, adalah dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan juga sebagai pembatasan. Artinya, “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu.” Dan inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan dien (agama) itu secara keseluruhan kembali kepada kedua makna di atas.

Yang demikian itu seperti kata sebagian ulama salaf, bahwa surat al-Fatihah adalah rahasia al-Qur’an, dan rahasia al-Fatihah terletak pada ayat, Î إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Ï “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan.”

Penggalan pertama, yakni “Hanya kepada-Mu kami beribadah” me-rupakan pernyataan lepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yaitu “Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” merupakan sikap ber-lepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Ta’ala.

Makna seperti ini tidak hanya terdapat dalam satu ayat al-Qur’an saja, seperti firman-Nya:

Î فَاعْبُدْهُ وَ تَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ Ï

“Maka beribadah-lah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 123)

Dalam ayat tersebut (al-Fatihah: 5) terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhathab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai de-ngan huruf “ك” pada kata “إِيَّاكَ”. Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman, Î إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Ï.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pada awal-awal surat al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah Ta’ala yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.

Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bin Abdur Rahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

يَقُولُ اللهُ تَعَالَى، قَسَمْتُ الصَّـلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُـهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، إِذَا قَالَ الْعَبْدُ Ï الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ Î قَالَ اللهُ حَمِدَنِى عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ Ïالرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Î، قَالَ اللهُ أَثْنِى عَلَّى عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ Ï مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ Î، قَالَ اللهُ مَجَّدَنِى عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ Ï إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Î، قَالَ هَذَا بِيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ Ï اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْـرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ Î قَالَ هَذَا لِعَبْدِي، وَلِعَبْنِي مَا سَأَلَ.

“Aku telah membagi shalat dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika ia mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesa alam”, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Dan jika ia mengucapkan: “Mahapemurah lagi Mahapenyayang”, maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Jika ia mengucapkan: “Yang menguasai hari pembalasan”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.” Jika ia mengucapkan: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”, maka Allah berfirman: “Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Dan jika ia mengucapkan: “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani)”, maka Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta.”

Î إِيَّاكَ نَعْبُدُ Ï didahulukan dari Î وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Ï, karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahulukan dari yang sekedar penting. Wallahu a’lam.

Jika ditanyakan, “Lalu apa makna huruf “نَ” pada firman Allah I, Î إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Ï Jika nun itu dimaksudkan sebagai bentuk jama’, padahal orang yang mengucapkan hanya satu orang, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan kondisi?

Pertanyaan di atas dapat dijawab, bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun (kami) itu adalah, untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang yang shalat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara berjama’ah. Atau imam dalam shalat, memberitahukan tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang “ibadah” yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.

Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengan-nya seorang hamba menjadi mulia, karena keberpihakannya kepada Allah Ta’ala saja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya e sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang paling mulia. Firman Allah: Î سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً Ï “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (QS. Al-Isra’: 1)

Allah telah menyebutkan Muhammad e sebagai seorang hamba ketika menurunkan al-Qur’an kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya, Dia berfirman:

Ïوَ لَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيـقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ فَسَـبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ كُن مِّنَ السَّاجِدِينَ وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّـى يَأْتِيَكَ الْيَقِيـنُ Î

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebab-kan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (QS. Al-Hijr: 97-99)

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)