Surah Al-Fatihah Bag. 5

Cover Tafsir

Keutamaan Basmalah

Basmalah disunnahkan pada saat mengawali setiap pekerjaan. Disunnah-kan juga pada saat hendak masuk ke kamar kecil (toilet). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudhu’, sebagaimana dinyatakan oleh hadits marfu’ dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan, dari Abu Hurairah, Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْ كُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ )

“Tidak sempurna wudhu’ bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya.(Hadits ini hasan)

Juga disunnahkan dibaca pada saat hendak makan, berdasarkan hadits dalam shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Umar bin Abi Salamah:

( قُلْ بِاسْمِ اللهِ، وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ )

“Ucapkan “بِسْمِ اللهِ”, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu.

Meski demikian, di antara ulama ada yang mewajibkannya. Disunnah-kan pula membaca ketika hendak berjima’ (melakukan hubungan badan), berdasarkan hadits dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

( لَوْ أَنَّ أَحَدُ كَمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِـى أَهْلَهُ قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّـبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقْدَرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا.)

“Seandainya seseorang di antara kalian apabila hendak mencampuri isterinya, membaca, Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami, jika Allah menakdir-kan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu syaitan selamanya.

Kata ( الله ) merupakan nama untuk Rabb. Dikatakan bahwa Allah adalah al-Ismul-a’zham (nama yang paling agung), karena nama itu menyandang segala macam sifat. Sebagaimana firman Allah:

Î هُوَ اللهُ الَّذِي لآَإِلَهَ إِلاَّهُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ Ï

“Dialah Allah yang tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Dia-lah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Hasyr: 22)

Dengan demikian, semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

( إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ إِسْمًا، مِائَةٌ إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ.)

“Sesungguhnya Allah itu mempunyai 99 (sembilan puluh sembilan) nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menguasainya, maka ia akan masuk surga.

Mengenai daftar nama yang sesuai dengan jumlah bilangan ini diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Namun, antara kedua riwayat itu terdapat perbedaan tambahan dan pengurangan.

Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapa pun selain diri-Nya, yang Mahasuci dan Mahatinggi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka di antara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (Allah) adalah ismun jamid, yaitu nama yang tidak mempunyai kata dasar.

Al-Qurthubi mengutip hal itu dari sejumlah ulama yang di antaranya adalah Imam Syafi’i, al-Khathabi, Imamul Haramain, al-Ghazali, dan lain-lainnya.

Dari al-Khalil dan Sibawaih diriwayatkan bahwa “ا” dan “ل” dalam kata “اللهُ” merupakan suatu yang lazim (tak terpisahkan). Al-Khathabi mengatakan, tidakkah anda menyadari bahwa anda dapat menyerukan, “يَا أَللهُ” dan tidak dapat menyerukan, “يَا أَلرَّحْمَنُ”. Kalau hal itu bukan dari asal kata, maka tidak boleh memasukkan huruf nida’ (seruan) terhadap “ا” dan “ل”. Ada juga yang ber-pendapat bahwa kata Allah itu mempunyai kata dasar.

Î الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Ï merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-Rahmah. Ar-Rahman lebih me-nunjukkan makna yang lebih daripada kata ar-Rahim.

Dalam penyataan Ibnu Jarir, dapat dipahami adanya keterangan me-ngenai hal ini. Sedangkan dalam tafsir sebagian ulama salaf terdapat ungkapan yang menunjukkan hal tersebut.

Al-Qurthubi mengatakan, dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq adalah hadits riwayat at-Tirmidzi, dari Abdurrahman bin Auf t, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( قَالَ اللهُ تَعَالَى أَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا إِسْمَا مِنْ إِسْمِى فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ.)

“Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim (rahim-kerabat). Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barang-siapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Aku pun akan memutuskannya.’”

Ini merupakan nash bahwa nama tersebut adalah musytaq, karena itu tidak diterima pendapat yang menyalahi yang menentang.

Abu Ali al-Farisi mengatakan, ar-Rahman merupakan nama yang bersifat umum dalam segala macam bentuk rahmat, dikhususkan bagi Allah Ta’ala semata. Sedangkan ar-Rahim, dimaksudkan bagi orang-orang yang beriman. Berkenaan dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman, Î وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا Ï “Dan Dia-lah yang Mahapenyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)

Ibnu al-Mubarak mengatakan, ar-Rahman yaitu jika dimintai, maka Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu, jika permohonan tidak diajukan ke-pada-Nya, maka Dia akan murka. Sebagaimana dalam hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih al-Farisi al-Khuzi, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ )

“Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka ke-padanya.

Nama “الرَّحْمَنُ” hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya:

Î قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِادْعُوا الرَّحْمَنَ أ‍يًّامَّاتَدْعُوا فَلَهُ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى Ï

“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai al-Asmau’ul Husna (nama-nama yang terbaik).’” (QS. Al-Israa’: 110)

Oleh karena itu ketika dengan sombongnya, Musailamah al-Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan Rahman al-Yamamah, maka Allah pun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah si pendusta).

Sedangkan mengenai “الرَّحِيْـمُ”, Allah Ta’ala pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya, di mana dalam firman-Nya, Allah Ta’ala menyebutkan, Î لَقَدْ جَآءَ كُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُ وفٌ رَّحِيمٌ Ï “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)

Sebagaimana Dia juga pernah menyebut selain diri-Nya dengan salah satu dari nama-nama-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

Î إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا Ï

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia sami’an (mendengar) dan bashiran (melihat).(QS. Al-Insan: 2)

Dapat disimpulkan bahwa di antara nama-nama Allah itu ada yang di-sebutkan untuk selain diri-Nya, tetapi ada juga yang tidak disebutkan untuk selain diri-Nya, misalnya nama Allah, ar-Rahman, al-Khaliq, ar-Razzaq, dan lain-lainnya.

Oleh karena itu Dia memulai dengan nama Allah, dan menyifati-Nya dengan ar-Rahman, karena ar-Rahman itu lebih khusus daripada ar-Rahim.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)